Eksis di Dunia Nyata
Nama cewek ini: Leonika Sari Njoto Boedioetomo asal Surabaya. Dia menggagas gerakan donor darah di kalangan milenial. Ia menggunakan aplikasi Reblood yang dibuat bersama teman-temannya. Lewat aplikasi ini, Leonita menghubungkan antara anak muda yang mau mendonorkan darahnya dan Palang Merah Indonesia.
Leo, sapaan akrab Leonika, terinspirasi membuat Reblood lantaran pernah ditolak sampai lima kali saat akan mendonorkan darah. Dari pengalamannya, dia tahu, calon donor kerap ditolak lantaran tidak memenuhi syarat sebagai donor antara lain berat badan minimal 45 kilogram dengan tingkat hemoglobin tertentu. Nah, gara-gara enggak tahu persyaratan itulah, calon donor ditolak.
Aplikasi Reblood akan memberi tahu syarat untuk bisa donor darah. ”Ke mana dan kapan dia bisa datang untuk diambil darahnya sampai mengingatkan tiga hari sebelum hari pengambilan darah,” jelas Leo pada Selasa (16/1) di Jakarta.
Berkat informasi detail yang ada di aplikasi Reblood, tingkat keberhasilan calon donor menjadi donor rata-rata 80 persen. Sejauh ini sudah ribuan anak muda yang jadi donor darah gara-gara Reblood. Tahun 2016, kata Leo, ada sekitar 6.000 donor dan pada 2017 sekitar 12.000 orang.
Reblood didirikan Leo dan teman-temannya di Surabaya tahun 2015. Kantor Reblood juga di Surabaya. Tapi sejak November 2017, Leo yang jadi CEO Reblood harus bolak-balik ke Jakarta untuk menjalin kerja sama dengan BNVLabs (inkubator yang khusus menggarap start up fintech) dan PMI DKI Jakarta.
Ini adalah usaha kedua Leo dalam membuat aplikasi start up. Lulusan Jurusan Teknologi Informasi ITS Surabaya ini dua tahun sebelumnya tergabung dalam tim yang membangun sistem informasi untuk PMI dan rumah sakit. ”Namun, sistem itu tidak berhasil karena fokus aplikasi tidak solutif dan komitmen anggota tim tidak maksimal,” ujar Leo.
Belajar dari pengalaman itu, ia membuat Reblood. Niat itu diperkuat karena ia sering terenyuh mendengar terjadi kekurangan darah di PMI, terutama pada bulan puasa.
Tidak hanya berhenti membuat aplikasi, Leo aktif memperkenalkan diri ke kampus-kampus dan mal. Dari situ, Leo dan kawannya menjaring ”klien” anak muda. Gerakan ini memang sengaja untuk menjangkau anak muda yang kerap ingin beramal, tapi tak tahu bagaimana caranya. Leo juga mengajak PMI bekerja sama untuk mengadakan donor darah di kampus agar lebih mudah dijangkau oleh mahasiswa.
Di awal bergerak, langkah mengajak kerja sama lembaga itu ternyata tidak mudah karena persoalan birokrasi. Beruntung, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang mendengar keberadaan Reblood membantu sehingga Leo bisa bekerja sama dengan PMI Surabaya. Setelah Reblood mulai dikenal oleh kaum milenial di Surabaya dan sekitarnya, pada akhir 2017, Leo melebarkan sayap ke Jakarta.
Dengan memanfaatkan jaringan di dunia maya, Leo bisa mentas di dunia nyata. Berkat gerakan donor darahnya, Forbes memasukkan nama Leo di jajaran 30 pemuda berprestasi di bawah 30 tahun pada 2016.
Gerakan menulis
Nike Prima Dewi dan Miranti Andi Kasim juga memanfaatkan dunia maya untuk mentas di dunia nyata. Lima tahun lalu, kedua cewek cantik ini kesulitan mencari blog yang mengulas tema kesukaan mereka, yakni soal dekorasi rumah dan kerajinan tangan. Dari situ, mereka terinspirasi mendirikan wadah kreatif yang disebut Living Loving.
”Pendiriannya berawal dari sebuah ide, bagaimana kami membuat blog tentang dekorasi rumah, (produk) kreatif dan kerajinan tangan pada 2012,” kata Nike di Jakarta, Kamis (14/12/2017).
Awal 2013, Nike dan Miranti sepakat membangun Living Loving dari nol. Caranya dengan membuat blog. Waktu itu memang blog masih menjadi tren sebelum akhir-akhir ini berkembang menjadi vlog. Dari situ mereka mulai rutin menulis. Ternyata cukup banyak yang merespons positif terhadap Living Loving, terutama mereka yang memiliki minat sama. Para pembaca blog pun mulai meminta untuk membuatkan acara ngumpul atau kopi darat supaya bisa saling kenal.
Tahun 2014, Nike dan Miranti mulai melayani permintaan pembaca blog. Mereka menggelar workshop kreatif. Sejak saat itu, berbagai workshop lain mereka gelar di studio Living Loving atau di resto dan kafe. Kini keduanya tidak hanya membuat artikel, tapi juga konten video yang disebar lewat Youtube.
Sepatu pria
Keinginan untuk berbagi juga singgap di benak Yasa Paramita Singgih (21). Akhir September 2017, Yasa berbagi ilmu dalam sesi Indovidfest tentang pengalaman jatuh dan bangunnya memproduksi sepatu pria merek Men’s Republic sejak tahun 2014.
”Saya mulai bisnis sebenarnya sejak SMA. Tapi, saat itu belum ada yang jalan sampai sebesar ini,” kata Yasa, yang baru saja lulus dari Jurusan Komunikasi Universitas Bina Nusantara, Jakarta.
Yasa memanfaatkan teknologi internet dalam memasarkan produknya. Itu dia lakuan saat kuliah semester pertama. Ia ingin mandiri lewat usahanya agar tidak bergantung seterusnya kepada orangtua.
Penjualan pertamanya hanya sekitar lima lusin. Sebagian pembelinya teman-teman kampus sendiri dan mereka umumnya ngutang alias bayar belakangan. Sebagian lagi konsumen yang terjaring lewat media sosial. Harga jual sepasang sepatu pertama kali juga baru sekitar Rp 200.000. Saat ini, harga jualnya sudah mulai bervariasi, Rp 200.000 hingga Rp 750.000 per pasang.
Setelah melalui perjalanan yang berliku, usaha Yasa berkembang juga. Karyawannya tiap tahun terus bertambah. Namun, persaingannya pun lebih ketat karena semua kompetitor juga menggunakan media sosial. (TRI/OSA)