Menciptakan Gambar nan Indah
Saat ini, siapa saja bisa belajar memotret. Bidang fotografi bukan lagi hanya milik fotografer profesional. Apalagi, kamera-kamera digital berteknologi canggih semakin mudah ditemukan. Namun, banyak juga yang memilih memotret dengan kamera jadul yang masih menggunakan film, seperti Lomo dan Polaroid. Nah, mana yang kalian suka?
Bagi generasi muda, memotret menjadi hobi yang mengasyikkan. Apalagi, kalau bertemu dengan teman-teman yang memiliki minat yang sama. Saat ini, komunitas fotografi bermunculan bak jamur. Sebagian besar dari mereka yang berkumpul membentuk komunitas berdasarkan kamera yang dipakai.
Salah satu komunitas di Jakarta adalah komunitas lomografi yang diberi nama Lomonesia. Bentuk kamera Lomo boleh saja imut seperti mainan, dengan warna-warna nyentrik dan material dari plastik yang ringan. Namun, keunikan dan kemampuan kamera analog ini menghasilkan gambar dengan warna-warni cantik mampu memikat hati. Tak heran jika kamera old fashioned asal Austria ini tetap diminati di tengah popularitas kamera digital yang canggih.
Penggemar fotografi di Indonesia pun langsung jatuh hati pada kamera Lomo. Bahkan, mereka yang tidak ahli fotografi pun langsung berminat karena bentuknya unik dan kemudahan penggunaannya. Tahun 2004, dibentuklah komunitas Lomonesia.
”Sebulan sekali, kami rutin mengadakan gathering dan hunting. Nah, biar hobi motret dengan kamera Lomo lebih bermakna, kami juga sering membuat pameran,” kata Manajer Proyek Lomonesia Satria Ramadhan.
Yang lebih seru, kegiatan Lomonesia tidak terbatas di Indonesia saja. Tahun lalu, mereka pernah mengikuti pertemuan dengan komunitas lomografi Singapura dan Malaysia di Singapura. ”Kami memang komunitas resmi di Indonesia. Bahkan, kami juga ditunjuk mengelola Lomography Embassy Store yang menjual kamera dan perlengkapan kamera Lomo,” ujar Satria.
Kegiatan semacam itu memudahkan pengguna kamera ini bertukar ilmu dan tips mengeksplorasi kamera ini. Foto-foto hasil hunting bisa dipajang di situs Lomonesia, www.lomonesia.com. ”Biasanya kalau sudah ikut komunitas, kita bisa jadi lebih semangat motret. Sayang, kan, kalau hanya dijadikan pajangan,” cetusnya, antusias.
Hingga saat ini, Lomonesia sudah punya cabang di Bandung, Yogyakarta, Solo, Bali, Surabaya, dan Pontianak. Rentang usia anggotanya pun bervariasi, mulai dari 16 tahun hingga 35 tahun. ”Peminatnya makin banyak karena informasi makin mudah didapatkan, terutama untuk mencari tips penggunaan,” katanya.
Mengenang masa lalu
Kadang-kadang kita penasaran dengan tren masa lalu. Untuk yang generasi 1990-an pasti masih ingat dengan foto masa kecil saat rekreasi yang diambil dari tukang foto keliling. Dulu, tukang foto keliling memakai kamera instan atau sering disebut Polaroid.
Semua kamera sama-sama bisa merekam peristiwa. Namun, di mata penggemarnya, Polaroid istimewa karena biasanya hanya dipakai 1 kali untuk mengambil momen penting dari suatu peristiwa. Harga filmnya tergolong mahal satu kotak film berisi 10 lembar bisa mencapai Rp 300.000.
Namun, harga film yang mahal tidak membuat Polaroid ditinggalkan penggemarnya. Kesan nostalgia dan hasil foto yang antik membuat penggemarnya dari berbagai negara bergabung di komunitas, www.polanoid.net. Jangan coba cari komunitas Polaroid di Indonesia karena di komunitas Polaroid di seluruh dunia hanya dikumpulkan di situs web (website) itu.
”Hingga saat ini, hanya ada 36 polanoiders, sebutan untuk anggota komunitas ini, asal Indonesia,” ujar Yuan Reva, salah satu anggota komunitas Polanoid. Serunya, foto kalian bisa dilihat dan diapresiasi oleh ribuan polanoiders dari mancanegara.
Terpisah oleh jarak dan waktu tidak membuat komunitas ini sepi kegiatan. Bahkan, setiap bulan mereka rutin menggelar proyek memotret unik yang dilombakan. Di akhir proyek, satu pemenang dengan foto terunik akan dipilih.
Reva yang juga berprofesi sebagai fotografer ini pernah dua kali menjadi juara kompetisi yang diadakan Polaroid, dan mendapatkan 2 kamera Polaroid. Ia pun menyarankan para penggemar Polaroid bergabung di www.polanoid.net untuk meningkatkan kemampuan menggunakan kamera ini.
”Karena harga filmnya mahal, setiap lembarnya menjadi begitu berarti. Sayang sekali jika tidak digunakan dengan maksimal. Dengan rajin ikut proyek, kemampuan dan kepekaan estetika kita juga akan makin terasah,” katanya.
Kamera ”mirrorless”
Nah, ini dia generasi termuda dari kelompok kamera digital, yaitu kamera mirrorless yang mulai populer pada 2011. Ukurannya yang cukup mungil bisa membuatnya dikategorikan sebagai kamera digital saku, tetapi lensanya bisa diganti sejajar dengan kamera DSLR.
Popularitas kamera mirrorless makin meroket, baik di kalangan fotografer profesional maupun fotografer amatir. Bagi fotografer profesional, teknologinya dapat mengakomodasi kebutuhan pekerjaan. Adapun bagi fotografer amatir, teknologinya memudahkan mengambil gambar dengan maksimal.
Untuk melatih kemampuan, menambah ilmu, dan bereksperimen, cari infonya di forum fotografi ataupun komunitasnya, www.mirrorlesscam.com.
”Asyiknya bergabung dengan komunitas bagi fotografer amatir, kalian bisa memasang foto karya kalian dan meminta bantuan anggota lain me-review, serta memberikan tips teknis untuk memperbaiki hasil foto,” katanya.
Topik pembahasan foto di komunitas ini bermacam-macam, seperti galeri foto yang menampilkan berbagai jenis foto, mulai dari landscape, portrait, art photo, cityscape, alam, fesyen, hingga pernikahan. Di komunitas ini juga ada forum diskusi. Keseruan bergabung di komunitas adalah kegiatan hunting foto bareng, lokakarya fotografi, dan kompetisi foto.
Meski demikian, anggota komunitas bisa memajang foto di galeri situs komunitas ini. Siapa tahu, jika suatu hari komunitas ini menggelar pameran, foto kalian bisa dipajang di sana.
(Gabriella Noviyanti, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Kristen Indonesia, Jakarta)