Menguji Kekompakan Tim
Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Sehebat apa pun, kita tetap membutuhkan bantuan. Apalagi, untuk sebuah pekerjaan yang dikerjakan secara berkelompok atau tim. Idealnya, pekerjaan bisa lebih ringan apabila dikerjakan bersama-sama. Benarkah begitu?
Tugas kuliah terkadang harus dikerjakan bersama-sama, mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya. Saat membentuk tim, mau enggak mau semua anggota dipersatukan dalam tujuan yang sama, yaitu memperoleh nilai baik.
Sayangnya, kadang-kadang kita mendapat anggota tim yang tidak sesuai dengan keinginan. Perencanaan yang indah pun akhirnya menjadi kenyataan yang terasa pahit. Meski terasa sulit bekerja dalam tim, tugas tetaplah harus dikerjakan penuh rasa tanggung jawab. Nah, di sinilah, kekompakan sebuah tim diuji.
Salsabilla Marohan atau Sasa, mahasiswi semester II Universitas Budi Luhur, Jakarta, merasakan sulitnya kerja kelompok untuk mencapai hasil yang maksimal. Akhir tahun 2017, Sasa menggarap tugas mata kuliah Broadcast Jurnalis dengan membuat proyek film dokumenter kampus.
Kebetulan, Sasa ditunjuk sebagai penyelenggara lomba film dokumenter yang mengangkat tema ”Kearifan Lokal”. Total tim penyelenggara 30 orang. Untuk memudahkan mekanisme kerja, penyelenggara membagi lagi menjadi tiga tim kecil masing-masing beranggotakan 10 orang.
Sasa bertugas sebagai camera person. Sementara anggota kelompok lainnya memiliki tugas, antara lain mencari sponsor kegiatan, bikin spanduk, dan desain panggung.
”Ternyata, ada saja anggota kelompok yang kerjanya santai banget, sementara anggota lainnya pontang-panting urus tanggung jawabnya sesuai tugasnya. Mau bagaimana lagi mungkin memang karakter setiap orang beda-beda. Kami cuma bisa diam,” kata Sasa.
Benar saja, dari sekadar diam, akhirnya hasil rapat kelompok memutuskan untuk mengeluarkan anggota tim yang tidak mau bekerja. Untung saja, pekerjaan tim bisa diselesaikan dengan baik meski harus melewati ujian yang berat.
Bukan hanya tugas kampus yang membutuhkan kekompakan tim. Kerja tim di luar kampus yang bisa bikin nama harum kampus sesungguhnya perlu pengorbanan dari para anggotanya. Geraldus Vito, mahasiswa semester II Fakultas Teknik Mesin Universitas Tarumanegara, Jakarta, bergabung pada tim gokart kampus yang bernama Mechanical Engineering Racing Team (MeRT).
”Satu tim terdiri atas 20 orang yang berasal dari mahasiswa beberapa semester, seperti semester 1-8,” ujar Vito.
Tim gokart memiliki keseruan tersendiri. Vito merasakan bagaimana anggota tim gokart bukan hanya diajarkan menyetir di arena balapan, melainkan juga mulai dari hal kecil. Teknik memasang ban mobil-mobil gokart dilatih dan terukur waktunya sehingga menjalin kekompakan tim. Semua harus kompak.
Satu anggota saja yang lambat dalam mengerjakan tugas, seluruh tim bakal merasakan akibatnya. Apalagi, saat tim harus berjuang mewakili lomba balapan gokart yang sudah masuk kategori nasional. Tidak mudah kerja kelompok.
Bekerja sendiri
Apabila tim tidak kompak, kadang-kadang kita memutuskan bekerja sendiri merampungkan tugas. Kejadian ini pernah dialami Vanny Rahayu, mahasiswa Manajemen Komunikasi, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta.
”Aku tipe orang yang enggak bisa cuek sama tugas kuliah. Aku selesaikan walaupun temen kelompok malas mengerjakan,” ujar Vany.
Beberapa kali Vany mendapatkan teman kerja tim yang malas, sampai-sampai ia harus mengerjakan tugas sendiri dan maju untuk presentasi di depan kelas. Sebelumnya, memang ada kesepakatan untuk mengerjakan tugas bersama, tetapi banyak sekali yang melanggar dan menyepelekan aturan itu.
Jadi, Vany berinisiatif mengerjakannya sendiri. Ia tidak tega melaporkan temannya kepada dosen. Dengan banyaknya pengalaman bekerja tim untuk tugas kuliah, Vany merasakan kerja tim sangat melatih sikap kedewasaan.
Berbeda dengan Ari Singgih (20), mahasiswa Jurusan Farmasi, Akademi Farmasi IKIFA Jakarta. Ia mengaku menjadi biang kerok dalam kelompok. Kebiasaannya ini terbawa sejak ia awal kuliah. Ari yang kuliah sambil bekerja tidak mempunyai banyak waktu untuk mengerjakan tugas kuliah. Biasanya, ia langsung terima jadi dengan membayar ongkos cetak makalah tugas kuliahnya.
Sering sekali Ari menjadi sasaran kemarahan temannya yang lelah karena mengerjakan tugas tim. Jika sudah begitu, mau tidak mau Ari berubah rajin. ”Harus tahu diri juga, kalau sudah dipercaya sama teman harus melaksanakan dengan benar. Biasanya, aku dapat tugas merapikan makalah dan print. Uangnya aku yang tanggung,” kata Ari.
Dosen Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, Devi Rachmawati, mengatakan, penelitian tentang terbentuknya sebuah tim sudah jamak dilakukan. Kemampuan setiap individu untuk beradaptasi dengan individu lain menjadi penentu harmonisasi tim dan kesuksesan tim dalam mencapai tujuan bersama. Hal yang sangat alamiah, menurut Devie, di dalam tim akan ada individu yang berperilaku tidak selaras dan membuat anggota tim menjadi tidak nyaman.
Menurut sebuah penelitian, kata Devie, kemampuan pemimpin untuk memahami secara utuh siapa saja yang berada di dalam tim akan mampu mengurangi hambatan perilaku para anggotanya. Individu yang tak peduli dan malas tidak mengindikasikan bahwa individu tersebut tidak mampu atau tidak profesional.
”Pemimpin saat memulai kerja tim harus peka dan kemudian mengungkapkan secara terbuka tentang adanya perbedaan budaya yang mungkin mendorong gesekan di dalam tim,” kata Devie. (OSA/*)