KOPI DI KANAN, KAMERA DI KIRI
Ketika menjelang sore, akhir Maret lalu, dua anak muda mengecat tembok sebuah rumah dengan cat hitam dari kuas yang tidak tebal. Perlahan, gambar-gambar mulai terbentuk dengan impresi yang nge-pop. Biji kopi, berikut gelas, adalah salah satu ornamennya. Mereka berdua sedang menggambari dinding sebuah rumah yang disulap menjadi kedai kopi. Nama kedainya adalah Kafe Rengganis.
Di belakang mereka, jalanan jalur utama Jember-Lumajang ramai kendaraan. Udara terasa lengket meski matahari tidak lagi terik. Lokasi kafe yang baru buka pertengahan 2017 ini memang berada di sisi jalur padat tersebut, tepatnya di Desa Tanggul, Kecamatan Tanggul. Sekitar 70 menit berkendara adalah waktu yang ditempuh untuk mencapai tempat ini dari Alun-alun Jember.
Seto (17) adalah salah satu pemuda yang menggambar tadi. Seto, yang masih duduk di kelas 10 SMA 1 Jember, beberapa bulan terakhir rajin nongkrong di kafe ini. ”Senang aja belajar kopi. Yang dulu tidak tahu jadi tahu ada kopi khas di sini,” ucap Seto sembari tetap menyapu kuas.
Seto yang memang senang menggambar semakin gembira punya saluran untuk bakatnya. Tidak hanya itu, dia seperti mendapatkan rumah baru tempat para pemuda berkumpul dan membincangkan hal kreatif. ”Kampung jadi menarik, potensi kampung dikenal. Orang tahu kalau ada kopi Tanggul, dan mereka datang,” tambahnya.
Di sebelahnya, Mohammad Saiin (23) mengamati dan berbincang bersama pemuda lain. Lulusan FISIP Universitas Jember ini sekaligus koordinator wirausaha (entrepreneur) muda di desa tersebut. Mereka membincangkan banyak hal yang bisa dikerjakan pemuda desa. Perbincangan mereka tidak jauh-jauh dari apa yang harus terus diperbuat untuk membangun kampung. Diselingi harum kopi, diskusi semakin cair dan menarik.
Adalah Ahmad Budi Santosa (26) yang mendirikan kafe di tempat yang jauh dari kota tersebut. Dia menyewa rumah yang lama kosong, lalu menyulapnya menjadi kafe. Meski berasal dari desa sebelah, Budi, nama panggilannya, membuka lebar-lebar kedai kopi tempatnya untuk anak-anak muda berkumpul.
Sejumlah pelajar SMA dan mahasiswa bergabung di kafe Rengganis ini. Mereka ada yang memang ingin belajar tentang kopi atau berdiskusi mencari dan merencanakan ide-ide lain yang bisa dikembangkan di kampungnya.
”Kami memang ingin kafe ini menjadi jendela agar orang tahu Tanggul, tahu kopinya, dan mengunjungi Jember. Sebab, kami ingin kampung kami maju dan Jember semakin dikenal orang. Tidak hanya itu, juga membawa manfaat ke masyarakat luas,” tuturnya.
Denyut kreatif
Apa yang dilakukan anak-anak muda di Desa Tanggul adalah rangkaian kecil dari denyut kegiatan kreatif di Jember secara umum. Sebagian besar orang merayakan kopi. Selain kopi Tanggul yang diperkenalkan Budi dan rekannya, di Jember telah lebih dulu dikenal beberapa jenis kopi, antara lain Aropuro dan Mumbulsari.
Kafe-kafe tumbuh subur di kabupaten ini. Dari kafe yang memang menyediakan berbagai jenis kopi asli Jember hingga kafe yang bercita rasa urban. Sebuah kafe bahkan menyulap kolong jembatan menjadi kafe yang ciamik. Dari ngopi di kafe, angkringan, dan beragam tempat dan ruang baru yang hadir, diskusi yang diikuti aksi terus lahir. Mereka merayakan kopi dan menjaring ide-ide besar. Denyut kreatif muda-mudi Jember terasa lekat.
Salah satu yang berkembang juga tanpa banyak sesumbar adalah ranah film. Sejumlah komunitas film lahir dan melangsungkan berbagai kegiatan. Dari nonton bareng, diskusi, hingga produksi film mengandalkan potensi lokal.
Fauzi Ramadhani, penggagas Layar Kemisan, menceritakan, dirinya dan komunitasnya berusaha mewadahi dan mempertemukan pegiat film dengan penontonnya. Dimulai tahun 2014, Fauzi memutar film-film di sejumlah tempat di Jember. Terkadang, bersama dengan komunitas lain, mereka membuat nonton bareng atau diskusi film.
”Bentuknya bisa misbar (gerimis bubar) atau pemutaran berbayar. Intinya, kami ingin mempertemukan penonton dengan film bagus yang sayangnya tidak mendapat kesempatan tayang di Jember,” ujar Fauzi.
Tidak hanya itu, tambah Fauzi, komunitasnya bersama rekan-rekannya juga giat mengirimkan film hasil karya anak muda Jember ke berbagai festival. Tahun lalu, sebuah film pendek karya mahasiswa mendapat juara di tingkat nasional. Film karya mahasiswa Program Studi Televisi dan Film Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember tersebut berjudul Ji Dulloh. Film pendek ini mengambil lokasi di Jember, bertema kekayaan khazanah Islam yang kental di daerah ini, dengan bahasa dan dialek Jember yang kental.
Menurut Fauzi, banyaknya komunitas dan kegiatan merupakan hal positif bagi perkembangan ranah film di Jember. Diskusi dan pemutaran film di kafe-kafe marak dilakukan. Beberapa pegiat film lain juga sudah mengarah ke industri. ”Itu positif menurut saya. Apalagi, selama ini kami di sini kekurangan wadah dan ruang untuk berkreasi,” lanjutnya.
Sebuah komunitas dan gerakan terkait film juga lahir dari tangan sejumlah pemuda. Bobby Rahadyan dari Masyarakat Film Jember (MFJ) menuturkan, dirinya dan sejumlah rekan menggagas tumbuhnya iklim industri film di Jember. Sebab, selama ini, ruang untuk eksis di dunia film sangat terbatas di daerah ini. Layar bioskop bisa dihitung dengan jari.
Kegelisahan akan terbatasnya ruang, ujar Bobby, membuat dirinya dan rekan-rekan termotivasi untuk membuka selubung industri film yang bisa menggandeng banyak pelaku. Dari pemain, videografer, make up, bahkan hingga katering.
”Awalnya dari proyek pesanan, lalu kami berpikir, kenapa tidak menumbuhkan industrinya sekalian. Jadi, pelaku film bukan cuma tukang video pernikahan, tetapi bisa jadi sineas. Kami ternyata bisa meski baru pada tahap memulai,” ucap Bobby.
Februari lalu, sebuah film panjang berhasil diproduksi. Film berjudul Frekwensi Mood tersebut 100 persen mengandalkan potensi lokal Jember, dari produser, pemain, hingga kru. Film bertema pop remaja itu diputar secara mandiri, juga dibawa berkeliling ke sejumlah kampus atau sekolah.
Meski begitu, pegiat ranah kreatif, termasuk Bobby, Fauzi, atau Budi, tahu bahwa masih banyak hal yang perlu diperbincangkan dan dikerjakan ke depan. Wadah dan ruang yang selama ini minim telah mereka usahakan. Saling mendukung antarelemen akan membuat gaung kreatif lebih berdenyut. Angkat gelas kopimu, kawan!