Anak Muda ”Nonton” Debat Kandidat
Anak muda dan partisipasi politik selalu menjadi perbincangan hangat. Mereka yang pesimistis bilang anak muda tidak peduli politik. Nyatanya, anak muda antusias dan ingin terlibat dalam proses demokrasi. Sejarah juga mencatat, kaum muda dari zaman ke zaman selalu memainkan peran penting dalam perjalanan politik Indonesia.
Alkisah, sebentar lagi akan diadakan pemilihan kepala daerah Provinsi Raja Buah tahun 2018. Proses pencoblosan yang diikuti sejumlah calon sebentar lagi berlangsung. Panitia mempersiapkan kertas dan bilik suara.
Ratusan pemilih, yang semuanya anak muda, berbaris, menunggu giliran untuk menyalurkan hak pilih. Satu per satu, mereka bergantian masuk ke dalam bilik suara yang disiapkan panitia pemilihan. Mereka mencoblos dan mengawal penyampaian hak pilih dengan tujuan mulia: ingin menciptakan iklim demokrasi yang lebih matang.
Wajah-wajah antusias terpancar dari wajah-wajah anak muda yang semuanya mahasiswa ini. Sebagian di antaranya pemilih pemula yang belum pernah masuk ke bilik suara. Beberapa anak muda lainnya mengaku baru kali ini ingin menyalurkan hak suara.
Pilkada Provinsi Raja Buah tersebut hanya simulasi dalam acara Rock the Vote, pertengahan Maret lalu. Pesertanya adalah mahasiswa dari sekitar 30 kampus yang ada di Jawa Barat. Rock the Vote adalah gerakan pendidikan pemilih pemula di bawah naungan Central for Election and Political Party (CEPP) FISIP Universitas Indonesia. Kegiatan yang berlangsung sejak 2012 ini bertujuan memberikan pendidikan politik dan demokrasi kepada generasi muda.
Nah, sebentar lagi sebagian besar wilayah di Indonesia akan menggelar pesta demokrasi. Pemilihan Kepala Daerah 2018 di 171 daerah yang akan berlangsung serentak pada 27 Juni 2018 menjadi tempat bagi anak muda memulai partisipasi aktif sebagai pemilih. Jumlah pemilih muda yang mendominasi daftar pemilih menjadi penentu arah demokrasi yang lebih baik.
Keinginan anak muda ”zaman now” untuk berpartisipasi dalam politik ternyata terhitung tinggi. Itulah yang terekam dalam jajak pendapat yang digelar Litbang Kompas pada awal April 2018. Mayoritas responden mengaku akan menggunakan hak pilihnya di pilkada. Dorongan keinginan pribadi untuk berpartisipasi dalam kancah politik lokal menjadi alasan utama yang diungkapkan sekitar delapan dari sepuluh warga muda.
Keinginan yang tinggi dalam berpartisipasi mendorong konstituen muda mencari berbagai sumber referensi atas sosok calon pemimpin. Salah satu topik pemberitaan terkait pilkada yang paling diminati para generasi muda adalah debat pasangan calon.
Ada dua faktor utama yang menjadi daya tarik menyaksikan debat terbuka. Sekitar 50 persen mengaku dapat melihat atau mengukur kualitas sosok pasangan calon dan 42 persen lainnya dapat menangkap visi dan misi pasangan calon.
Informasi di media sosial
Dari manakah konstituen muda memperoleh informasi mengenai kandidat kepala daerah? Sumber utama yang menjadi rujukan untuk hal itu adalah televisi. Menonton televisi, khususnya saat debat pasangan calon, seakan menjadi acara wajib.
Hampir dua pertiga responden muda mengaku melihat acara debat di televisi. Sepertiga pemilih muda lain juga memantau debat antarpasangan calon melalui media sosial, seperti Facebook, Instagram, Twitter, ataupun Youtube.
Devi Ratnadhani, mahasiswi Jurusan Akuntansi Universitas Prasetya Mulya, tetap antusias dengan segala perkembangan proses pilkada di daerah asalnya, Muntilan, Jawa Tengah. Sebagai mahasiswi perantau, Devi tidak pernah menonton debat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Tengah. Akan tetapi, dia kerap mendapatkan informasi tentang visi dan misi paslon dari koran, media sosial, dan obrolan di grup Whatsapp.
”Apalagi target pasar paslon menggunakan media sosial adalah anak muda, khususnya generasi milenial. Jadi, kontennya itu harusnya lebih ringan dan enak dibaca, serta mengedukasi biar enggak bosan aja, seperti polling,” kata Devi, Rabu (18/4/2018).
Menurut Devi, apabila generasi muda banyak terlibat dalam pilkada, antusiasme untuk mencoblos juga meningkat. Namun, ketika menggunakan media sosial, Devi tidak mengikuti akun-akun paslon tertentu. Pasalnya, informasi yang mereka paparkan tersebut adalah kampanye, bukan informasi yang netral.
Selaras dengan Devi, Belarmino James Bob Jonet dari Sekolah Tinggi Bahasa Asing (Stiba) Saraswati, Denpasar, juga antusias mengikuti proses pilkada di Bali. Bob pun semakin penasaran karena dua pasangan calon gubernur yang bersaing belum pernah memimpin Provinsi Bali sebelumnya.
Bob mengikuti debat dua paslon melalui televisi. Baginya, debat tersebut penting agar bisa mengenal program kerja kedua paslon.
”Kalau debat kan kita bisa melihat kelebihan dan kekurangan dua paslon. Sebagai pemilih, kita bisa mempertimbangkan paslon yang tepat juga lewat media sosial dengan bijaksana,” ungkapnya.
Peran generasi muda dalam proses pilkada sangat penting. Presiden Direktur CEPP UI Chusnul Mar’iyah menyatakan, peran anak muda dalam mewujudkan demokrasi yang diidamkan tentu sangat besar. Oleh karena itu, pendidikan politik yang diwujudkan dengan beragam metode dan strategi merupakan cara yang perlu untuk terus dilakukan.
Membangun kesadaran politik, kata Chusnul, bukan sesuatu yang instan dan dalam waktu singkat. Keterlibatan seluruh sektor, baik perangkat pemerintah, kampus, maupun lembaga independen, akan memberi pengaruh bagi kesuksesan pendidikan politik bagi anak muda.
”Kalau saya bilang, dibutuhkan upaya yang terus-menerus, bukan sekadar kegiatan tahunan atau lima tahunan, tetapi satu generasi, agar tercipta insan politik yang bermartabat. Karena itu, upaya tersebut harus diwujudkan dalam movement, dan menjadi kesadaran bersama,” ujar Chusnul. (JAL/*/Budiawan Sidik A/ Litbang Kompas)