MERASA ”DIKERJAIN” SOAL UN
”Pak, tadi saya ke sekolah niatnya mau ngerjain soal matematika. Kok, jadinya malah matematika yang ngerjain saya,” tulis Emil Fhanif dalam komentarnya di Instagram. Kehebohan sangat sulitnya soal ujian nasional yang berlangsung pekan lalu terjadi di media sosial.
Sejumlah siswa lalu mencurahkan perasaannya lewat media sosial. Akun Instagram Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) pun banjir dengan komentar dari siswa-siswi yang baru saja mengikuti UN. Para siswa pun berkomentar dan mengolok-olok Kemdikbud lewat media sosial, lalu memberikan komentar yang lucu, kecewa, dan sarkas.
”Waduh Pak, dadu dikocok 600 kali. Itu (yang mengocok) tangan apa blender,” tulis akun Umarhoudini. Atau, ”Pak, ngocok dadu 600 kali. Bukan dadu yang keluar, tapi tulang yang keluar,” ujar Arsita Rayhana.
”Alhamdulillah UN saya lancar. Di samping lancar, saya selalu menyebut nama Allah dalam setiap klik-an mouse saya. Enggak apa-apa nilai jelek karena Allah memandang manusia dari akhlaknya.” Begitu tulis Husen (18), siswa jurusan Biologi di salah satu SMA di Kudus, Jawa Tengah ini.
Husen menceritakan, soal-soal yang diujikan di UN kali ini melenceng jauh dari apa yang diajarkan di sekolah. Utamanya adalah soal mata pelajaran Matematika yang memerlukan tingkat penalaran yang kuat. Seperti juga teman- temannya, dia pun ampun-ampun mengerjakan soal matematika. Kesusahan, tegang, dan kecewa bercampur aduk.
”Teman saya yang pintar saja bilang, ’Dapat nilai 40 sudah bangga’,” kata Husen, Rabu (18/4/2018).
Menurut Husen, komentar dia dan teman- temannya adalah wujud kekecewaan terhadap soal UN yang sulitnya jauh dari perkiraan. ”Ini kecewa se-Indonesia. Ya kalau buat soal sih yang sesuai dengan kemampuan siswa. Bukan menurunkan kualitas,, melainkan menyetarakan,” ujar Husen yang sedang fokus pada seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) ini.
”HOTS”
Tidak ”membumi”-nya, soal-soal UN mengundang komentar para siswa sebagai sesuatu yang tidak masuk akal. ”Pak, tadi orang yang nyebur dari perahu siapa ya? Kok gak ditolong sih? Malah disuruh cari kecepatannya. Gapunya hati ya?” Atau, ”Pak, saya disuruh buat struktur solar. Mana saya tau pak, saya pakai Pertamax.”
Kekecewaan para murid ini adalah ekses dari diberlakukannya soal yang membutuhkan
daya bernalar tinggi atau disebut high order thinking skill (HOTS). Sebanyak 10 persen dari soal yang diujikan memiliki standar sesuai HOTS.
Peraih medali emas International Physic Olympiad (IPhO) 2017 Ferris Prima Nugraha (17), pelajar SMAK BPK Penabur Gading Serpong, mengatakan, ”Banyak siswa yang bilang soal ujian matematika setara SBMPTN. Tetapi, saya pikir masih lebih susah Detik-detik, buku buat belajar ujian nasional yang biasanya setiap tahun dijual bebas.”
Menurut Ferris, peningkatan kesulitan materi setiap tahun itu penting, tetapi perlu juga untuk memperhatikan silabus yang dijadikan acuan. ”Di lain sisi, siswa-siswi juga perlu membenahi diri. Tidak cuma belajar rumus-rumus, tetapi juga prinsip-prinsipnya,” ujarnya.
Siswa jurusan IPS SMA Kolose De Britto, Yogyakarta, Martinus Hendrawan Wijaya, menilai soal ujian mata pelajaran Matematika tidak sesuai dengan kisi-kisi yang diajarkan oleh gurunya.
”Ibarat urutan abjad, kisi-kisi yang diberikan mulai dari huruf A-Z, tetapi soal yang keluar malah mulai dari huruf H-Z,” ujar Hendra,
Ia mencontohkan, materi peluang merupakan salah satu soal Matematika yang tidak sesuai dengan kisi-kisi. Baginya, tingkat kemampuan soalnya pun berbeda, layaknya seperti mengerjakan soal SBMPTN. Dari enam soal peluang, ia hanya bisa menjawab satu.
”Soalnya enggak sesuai nalar, ini bukan level siswa. Tidak ketemu jawabannya, jadinya makan waktu banget ha-ha,” katanya.
Senada dengan Hendra, Muhammad Khairil Tsalsa, siswa SMAN 12 Tangerang Selatan, juga merasakan kesusahan mengerjakan soal UNBK. ”Soal Matematika-nya itu tingkat dewa, susahnya tiga kali lipat dari soal try out. Guru dan siswa pun sampai kaget,” ujarnya
Jangan cengeng
Menanggapi aneka ekspresi siswa peserta ujian nasional SMA tahun 2018 lewat media sosial yang sebagian juga di-mention ke akun pribadinya, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan, soal UN yang menuntut penalaran sudah harus dikenalkan kepada peserta didik. Tahun ini jumlah soal penalaran yang diberikan hanya 10 persen dari total soal.
”Ini dilakukan sebagai ikhtiar untuk menyesuaikan secara bertahap standar kita dengan standar internasional, antara lain seperti standar Program for International Student Assessment (PISA),” kata Mendikbud dalam siaran pers Kemdikbud pada Senin (16/4).
Menurut dia, pengenalan soal penalaran merupakan upaya untuk mengatasi ketertinggalan pencapaian kompetensi siswa Indonesia di tingkat internasional.
”Generasi milenial harus punya karakter kuat, mampu memasuki arena persaingan tingkat tinggi, serta tidak lembek dan cengeng,” ujar Muhadjir Effendy, seperti dikutip berbagai media.
Sementara itu, menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud Totok Suprayitno, soal-soal UN terdiri atas 3 level kognitif, yaitu level 1 (pengetahuan pemahaman) sekitar 30 persen, level 2 (aplikasi) sekitar 60 persen, dan level 3 (penalaran) sekitar 10 persen.
”Soal-soal tersebut ditulis guru dan ditelaah para guru yang kompeten dan dosen dari beberapa perguruan tinggi,” ujarnya. (TRI/OSA/JAL/*)