"Huh Hah" di Festival Cabe-cabean
Apapun makanannya yang penting banyak cabenya. Itulah prinsip yang dipegang para pecinta makanan super pedas, yang pekan lalu berpesta di festival cabe-cabean--festival makanan berbumbu cabe.
Tika (20) dan Maya (20), mahasiswi Universitas Pamulang, Tengerang Selatan, Banten, jauh-jauh datang ke Cabe-cabean Food Festival di Blok M Square dengan satu tujuan: berburu makanan yang rasanya "huh hah". Mereka datang Sabtu (5/5/2018) siang dan langsung memilih menu Ayam Blenger PSP.
Begitu ayam super pedas itu masuk ke mulutnya, mendadak sontak, Tika meringis menahan pedas. Matanya segera mengeluarkan air. Ia segera berhenti mengunyah ayam super pedas yang ia beli. “Aku tadi minta level 3 yang pakai 30 biji cabe. Makanannya enak tapi pedesnya enggak nahan,” cerocos Tika.
Maya yang menemani Tika cuma tersenyum melihat tingkat temannya. “Aku tadi hanya nyicipin sedikit dan langsung kepedesan. Emang dasarnya aku enggak kuat pedes,” tutur Maya sembari mengusap wajahnya yang berkeringat dengan tisu.
Penggemar makanan pedas lain, Nabilla (20) tampaknya lebih kuat menahan pedas dibanding Maya dan Tika. Ia juga memesan Ayam Blenger PSP level tiga. Setelah menyantapnya, ia tidak terlihat kepedasan.
“Ayamnya enak dan pedes sih tapi aku masih bisa menahan. Biasanya aku makan yang lebih pedes lagi. Ini sih masih level rendah he he,” kata mahasiswi Institut Transportasi & Logistik Trisakti itu.
Gadis berhijab itu bukan sedang menyombong. Ia memang pelahap makanan pedas dengan puluhan cabe. Ia biasa memesan mie Abang Adek dengan cabe 50 biji. “Sebenarnya aku kuat tapi pernah sakit perut dan masuk rumah sakit. Kayaknya level makananku waktu itu super super pedes. Tapi karena aku penyuka makanan pedes, ya enggak kapok,” tambahnya.
Gerai Ayam Blenger PSP bukan satu-satunya penyedia menu super pedas di festival itu. Ada pul gerai Seblak Jeletet Murni yang menyediakan menu seblak dengan rasa membakar. Di gerai itu, Adri (28) antre lima menit sebelum menerima seporsi seblak yang dipesannya. Ia memilih seblak level dua, yang mengandung 20 bija cabai rawit merah. Setelah makan setengah porsi wajahnya langsung memerah. “Duh pedes euy...,” katanya singkat.
Ia segera meraih sebotol air lalu meminumnya hingga separuhnya. Karena air yang ia minum dingin, Adri malah makin kepedesan. “Hu-hah, gile makin pedesss,” teriaknya membuat pengunjung di sekitarnya tertawa melihat tingkahnya.
Karyawan pada perusahaan swasta di kawasan Senayan, Jakarta Pusat tersebut mengaku tidak tahan rasa pedas. Dia pun menyerah dan berhenti menyantap seblak pesanannya.
Masuk rumah sakit
Toni (25), karyawan sebuah perusahaan swasta, hari itu datang ke festival cabe-cabean untuk menjajal pedasnya Seblak Jeletet Murni. Gerai itu menawarkan seblak dengan tambahan kikil, bakso, tulang, ceker, kwetiau, kerupuk, otak-otak, sosis, jamur, pangsit ayam, keju, serta sayap mulai level 0 hingga 5. Toni memilih level 4.
Baru satu sendok suapan, Toni langsung gelagapan. Ia berhenti sejenak mengunyah makanan berkuah kuning kemerahan itu yang pedasnya kebangetan itu. “Pedes banget, dari kuahnya yang paling berasa di tenggorokan. Ini seblak level empat berasa seperti level 10," kata Toni yang segera memberikan seblak tersebut ke temannya.
Sebenarnya bukan baru sekali ini Toni tersengat makanan super pedas. Dulu, dia pernah menyantap sambel setan tiga hari berturut-turut. Hasilnya, dia diare dan harus masuk rumah sakit. “Itu diare paling parah yang pernah gue derita. Tapi enggak kapok sih karena sambel setan memang enak,” ungkapnya.
Makanan pedas lainnya yang diserbu pembeli antara lain Cimol Champ dan Makaroni Ngehe. Pembeli antre panjang untuk merasakan tonjokkan pedas kedua menu itu.
Meski judulnya Cabe-cabean Food Festival, Pranala, perusahaan yang menyelenggarakan acara itu, juga mengundang pedagang makanan non-pedas. Total ada 60 gerai di festival cabe-cabean itu, 70 persennya menjual makanan yang pedasnya kebangetan. Ciri gerai yang jual makanan pedas itu antara lain menyediakan tisu dalam jumlah banyak untuk pembeli mengelap keringat dan ingusnya.
Untuk gerai makanan non-pedas hadir antara lain Dendeng Uda Ryzki. Dendeng daging itu meski memakan cabai, rasanya masih bersahabat di lidah pengunjung yang tak tahan pedas. “Ini resep nenek saya yang terus kami jaga. Beliau berpesan, dendeng kami tidak boleh pedas,” jelas Ryzki yang menggunakan cabai merah besar untuk bumbu dendengnya.
Selain makanan lokal, tersedia juga makanan Korea di Oppa-Go dan TteokN Talk. Duanya-duanya laris manis oleh mereka yang gemar bulgogi, tteok-bokki, atau ramyun. Kevin Chandra (30) pemilik Oppa-Go hanya menyediakan tambahan pedas bagi pembeli yang memintanya. Sementara Ian Sasier, salah satu pendiri Tteok N Talk, menyediakan menu dengan level pedas 1-5. Cabai yang ia gunakan berasal dari India.
Ahmad Romero Comacho dari Pranala menjelaskan, acara itu digelar selain untuk memenuhi hasrat para penyuka makanan pedas juga mengangkat karya para wirausahawan muda agar lebih dikenal masyarakat. “Ide ini awalnya karena kami, pendiri Pranala yang sudah bersahabat sejak kecil suka makanan pedas, tapi belakangan pengen juga mengangkat anak muda yang punya usaha,” kata Ahmad.
Benar saja, nama Oppa-Go yang baru ada sekitar dua tahun lalu makin dikenal pengunjung Cabe-cabean Food Festival. Usaha Kevin yang alumnus jurusan IT Universitas Melbourne, Australia lalu mendirikan kedai makanan Korea makin maju hingga ia punya kafe di Jakarta Utara.
Ian dengan T Teok N Talk di gerainya di kawasan BSD juga berhasil memikat anak muda yang doyan makanan Korea. Pembeli banyak memesan tteok-bokki sehingga dalam tiga hari festival cabe-cabean pekan lalu, gerai itu 65 kilogram beras untuk membuat tteok-bokki.
Sementara itu, Lylie dan suaminya Tommy (28), pendiri Ayam Blenger PSP menghabiskan 150 kilogram ayam dan puluhan kilogram keju mozarela selama tiga hari festival dari Jumat sampai Minggu. Semuanya untuk memuaskan nafsu pemburu makanan yang rasanya "huh hah". (TRI/*)