Menunggu dan terus menunggu, dan teman yang membuat janji dengan kita tidak datang juga. Awalnya sih kita bisa sabar dan senyum masih bisa mengembang, tetapi lama-lama ya kesal juga. Karena gara-gara teman ngaret, semua rencana bisa amburadul.
Kebiasaan ngaret sudah lazim di Indonesia. Orang yang janjian datang ngaret, acara-acara penting juga sering ngaret. Beribu alasan pun bisa diungkapkan untuk mencari pemakluman. Maklum, ojek yang dipesan telat datang, lalu lintas macetnya minta ampun sampai ke ”jalan-jalan” tikus.
Yosepha Debrina Ratih, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Katolik Atma Jaya, Yogyakarta, mengaku, dulu saya suka datang on time, ternyata teman-teman yang lain seenaknya. Datang terlambat dengan macam-macam alasan. Akhirnya, acara yang mesti kami gelar ikut-ikutan terlambat.
Belajar dari pengalaman itu, Eva—demikian ia disapa—juga ikut-ikutan ngaret untuk balas dendam: membuat orang lain merasakan tidak enak menunggu terlalu lama.
Karena sama-sama sering ngaret, akhirnya terjadi kesepakatan tidak tertulis antara Yosepha dan kawan-kawannya. Untuk janjian bertemu, mereka memutuskan untuk memberi waktu toleransi keterlambatan beberapa menit.
Ryan Sucipto, mahasiswa Universitas Multimedia Nusantara, juga jengkel menghadapi teman-teman yang doyan ngaret.
”Kesel, kalau urusannya menyangkut kelompok. Jadi semuanya harus ikutan menunggu. Istilahnya enggak menghargai teman yang tepat waktu,” ujar Ryan, pekan kedua April 2018.
Ia menduga kebiasaan ngaret di kalangan anak muda terjadi karena anak muda belum punya tanggung jawab yang besar. Jadi, anak muda senangnya mengeksplorasi berbagai kegiatan lain. Nah, karena eksplorasi ke banyak hal, sebagian anak muda tidak lagi fokus ke satu hal yang menjadi prioritas, termasuk saat janjian dengan kawan.
Psikolog Ika Surya dari Universitas Indonesia mengatakan, perubahan budaya ngaret terasa lambat karena perilaku menghargai waktu untuk orang lain ataupun disiplin diri tidak dijadikan kebiasaan sehari-hari. Padahal, menurut Ika, sejak kecil kita sudah diajarkan disiplin di sekolah. Hanya saja, kedisiplinan menghargai waktu itu hanya berlaku pada saat aktif sekolah. Begitu libur akhir pekan, kedisiplinan mengendur.
Di kalangan anak muda, kata Ika, ketika ada anggota kelompok yang datang tepat waktu, ia justru dibilang ”sok tepat waktu”. Lalu, cenderung dianggap belagu. Akibatnya, terlambat datang akhirnya dianggap sesuatu hal yang wajar dan biasa.
Ika membandingkan dengan budaya menghargai waktu di luar negeri. Orang
yang terlambat menjadi kelompok minoritas sehingga semua sadar diri untuk tidak ngaret. Rugi sendiri apabila datang terlambat.
Donna Widjajanto, editor sekaligus konsultan buku, justru melihat anak-anak muda yang bersentuhan dengannya, terutama yang menulis buku, jauh lebih menghargai waktu. Ketika diminta merevisi tulisan, mereka lebih cepat karena kegiatan mereka belum terlalu padat.
”Yang saya temui mungkin agak kontradiktif dengan kebiasaan ngaret. Ada saja anak muda yang masih menghargai waktu sewaktu menggarap proyek ini dan itu. Selain on time datang, selesainya pun on time. Itu terjadi karena anak-anak muda ini memang bertemu dengan orang yang memang enggak dekat, bukan teman nongkrong mereka,” ujar Donna, yang baru saja selesai menggarap buku berjudul Why Children Bully?
Jadi, selain banyak yang suka ngaret, banyak juga anak muda selalu tepat waktu.