Pimpinlah Kami, Wahai Orang Jujur
Pergantian kepemimpinan sudah terbayang di depan mata, dimulai dari Pilkada serentak, hingga pemilihan presiden pada 2019 mendatang. Keriuhannya sudah mulai terasa. Dua puluh tahun lalu, mahasiswa berada di garis depan menuntut pergantian kekuasaan, sampai jatuh korban.
Hari-hari ini pada dua dekade silam, mahasiswa bersama elemen masyarakat lainnya, ramai-ramai menduduki gedung DPR/MPR, dalam arti sebenarnya. Mereka memenuhi setiap ruang yang ada di gedung milik rakyat itu, sampai di atapnya yang berwarna hijau itu. Mereka menginap berhari-hari, sampai tidak memedulikan mandi.
Akun Instagram Kompas Muda mengunggah jepretan fotografer Eddy Hasby yang menggambarkan keriuhan itu. Unggahan itu ramai dikomentari. Rata-rata menjawab pertanyaan “Mimin” tentang di manakah warganet berada ketika peristiwa itu terjadi.
Ada yang menjawab lagi di kampus sedang berleha-leha. Ada yang menceritakan pengalaman pulang sekolah berjalan kaki ke rumah, dan menyaksikan toko-toko hangus terbakar. Ada yang berkumpul bersama keluarga dan melihat mahasiswa berlarian kocar-kacir lewat depan rumahnya.
“Waktu itu saya masih umur 10 tahun, tinggal di rumah susun. Saya tidak diizinkan keluar rumah oleh ayah. Ayah dan beberapa bapak-bapak di lingkungan rusun bersiaga sambil memegang balok panjang, parang, dan pentungan, agar tidak ada demonstran yang masuk wilayah kami,” kisah pemilik akun @yosephine.gultom.
Dari seratus komentar, banyak juga yang mengaku masih balita, atau bahkan belum lahir. Bisa jadi kalian termasuk golongan ini, kan? Nah, kita kilas balik sebentar, ya. Sebenarnya apa yang terjadi pada masa itu?
Pada Mei 1998 itu, krisis ekonomi tengah melanda Indonesia yang mulai terasa sejak 1997. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS ambruk. Dampaknya, harga-harga kebutuhan pokok melambung, termasuk harga bahan bakar. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah berada di titik nadir.
Suhu politik memanas. Soeharto yang baru terpilih lagi sebagai presiden, untuk ketujuh kalinya, dituntut mundur. Demonstrasi dan mimbar bebas terjadi di mana-mana, termasuk di kampus. Empat mahasiswa, Elang Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hendriawan Sie, dan Heri Hartanto tewas ditembak di kampus Universitas Trisakti, Jakarta, pada 12 Mei. Pergolakan menuntut reformasi makin menjadi.
Pada 13-15 Mei 1998, terjadi kerusuhan hebat di Jakarta, juga merembet ke kota lain seperti Solo, Palembang, dan Padang. Toko serta pusat perbelanjaan dijarah juga dibakar. Kerusuhan itu menelan banyak korban jiwa.
Pemberitaan Kompas pada 18 Mei 1998 menuliskan, ada 258 jenazah yang terbakar di berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta. Angka itu didapat dari Tim Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan RSUP Cipto Mangunkusumo. Sementara polisi menyebutkan, penjarahnya mencapai 1.214 tersangka.
Kerusuhan di Jakarta itu membuat negara merugi hingga Rp 2,5 triliun. Kerusakan fisik mencakupi, antara lain, 13 pasar, 2.749 ruko, 40 mall, 1.604 toko, 383 kantor swasta, 65 kantor bank, 1.119 mobil, 821 motor, dan 1.026 rumah penduduk.
Kerusuhan itu mengerikan sekali. Warga asing yang tinggal di Indonesia ramai-ramai kembali ke negara masing-masing. Citra Indonesia di mata internasional memburuk.
Pada 18 Mei 1998, ribuan mahasiswa, juga tokoh politik menggeruduk gedung MPR/DPR menyampaikan aspirasi itu. Sejak pagi, para mahasiswa secara bergelombang tiba di gedung DPR menggunakan bus, maupun mobil pribadi. Mereka diterima sejumlah fraksi, termasuk Fraksi ABRI, dan Fraksi Karya Pembangunan, yang dianggap paling berkuasa sepanjang Orde Baru.
“Segera melakukan pemilihan kembali presiden dan wakil presiden yang baru sesuai aspirasi dan kehendak rakyat , dengan pembatasan waktu maksimal dua periode,” demikian salah satu tuntutan yang terdengar kala itu (Kompas, 19 Mei 1998).
Kelanjutannya sudah diketahui bersama, Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei. BJ Habibie ditunjuk menggantikannya. Lengsernya Soeharto menandakan runtuhnya rezim orde baru, berganti menjadi era reformasi. Tuntutan untuk membatasi masa kekuasaan presiden selama dua periode terjadi hingga sekarang.
Setelah orde baru, Indonesia telah berganti presiden, yaitu BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan kini Joko Widodo. Tahun depan, lewat pemilihan presiden, ada peluang deretan nama itu bertambah.
Jujur itu penting
Pada April lalu, Litbang Kompas menghimpun pendapat dari kalangan mahasiswa dengan usia termuda 17 tahun di 20 kota di Indonesia. Sebanyak 301 responden mengutarakan figur pemimpin nasional dambaan mereka.
Figur tersebut, menurut hampir separuh responden, idealnya berkarakter jujur dan lepas dari catatan korupsi. Kasus korupsi yang marak menjerat pemimpin daerah serta politisi membuat kejujuran menjadi syarat penting bagi kaum muda. Ini juga persis dengan tuntutan reformasi dulu, yaitu pemimpin yang bersih dari KKN, alias korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Selain jujur dan tidak korupsi, responden juga mengharapkan muncul pemimpin yang berani dan tegas. Seperlima responden menganggap dua kualitas itu penting untuk mengatasi segala permasalahan bangsa. Selebihnya, repsonden mengharapkan sosok pemimpin yang merakyat, mengayomi, juga inspiratif dan inovatif.
Empat dari lima mahasiswa menganggap soal usia adalah perkara penting. Bagi separuh responden, usia ideal pemimpin adalah 30-40 tahun, sementara 36 persen lainnya menilai rentang 40-50 tahun terbilang ideal. Figur pemimpin muda dianggap lebih energik, dan dinilai bisa membawa perubahan. Tren pemimpin dunia saat ini pun sedang dipenuhi kalangan muda.
Supaya figur dambaan itu muncul, 90 persen responden sepakat mau berperan aktif dalam pemilu 2019 nanti. Bagaimana dengan kamu? Mau leha-leha, atau ikut ambil bagian dalam perubahan?
(HEI/MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)