Ketika Musim Bukber Tiba
Satu-dua minggu sebelum Lebaran, acara buka bersama (bukber) bertebaran di mana-mana. Bukber makin bergairah ketika dibarengkan dengan acara reuni, mulai SD, SMP, sampai SMA. Selain bisa buka bersama, anak muda bisa kangen-kangen dan mungkin bertemu pacar lama.
Saking serunya acara bukber, banyak anak muda yang mengadakan atau sekadar datang ke acara bukber berkali-kali. Ada yang sampai ikut acara bukber 10 kali sepanjang bulan puasa ini.
Andrea, pemilik sebuah rumah makan di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan hafal benar kebiasaan anak muda di bulan Ramadhan. Pokoknya setiap bulan penuh berkah itu tiba, rumah makannya pun ramai, terutama oleh anak muda yang akan menggelar bukber. Kalau sudah penuh pengunjung, Andrea terpaksa menolak tamu lainnya.
Sejak pukul 17.00, sebagian besar bangku di restorannya, Sabtu (2/6/2018) lalu sudah terisi oleh anak muda yang sebagian mahasiswa. Suara mereka riuh rendah, penuh gelak tawa. Memilih menu makan saja sudah heboh lantaran di antara mereka tak sepakat dengan usulan salah satu teman. Ketika pada akhirnya menu pesanan tiba di meja, semua perdebatan berhenti. Semua siap bersantap pas beduk magrib tiba.
Tidak hanya rumah makan, food court di mal juga hampir selalu penuh pengunjung menjelang waktu berbuka tiba. Tamu umumnya datang dalam kelompok besar dan kecil. Mereka itulah geng bukber. Mereka umumnya punya kepanitiaan yang antara lain bertugas memilih tempat makan berikut memesannya.
Bagust Rafiy Renardi, mahasiswa Universitas Prasetya Mulya Jakarta, pernah menjadi panitia buka bersama dengan teman SMP-nya di sebuah restoran di Serpong, Tangerang Selatan. Sebagai panitia ia juga harus menggerakkan teman-temannya agar bukber tidak hanya berhenti jadi wacana.
Susahnya kumpulin anak-anak itu karena jadwal kami berbeda. Belum lagi preferensi tempat makannya. Setelah seminggu mengajak di grup, entar ingetin lagi di hari bukbernya
Menurut Bagust, menjadi panitia tidak terlalu susah. Yang penting mau susah payah mengumpulkan teman-teman yang diajak bukber. Karena itu, sejak awal puasa ia sudah mengontak teman-teman cowoknya semasa SMP. Sementara teman yang cewek dikoordinasi oleh Khaerunisa Zahra Avianti.
Sebagian besar hambatan teman-temannya untuk bukber adalah sibuk mengerjakan skripsi atau tugas akhir. Tak heran kalau dua panitia itu, selama satu minggu sering membagikan informasi melalui media sosial guna mengajak temannya berkumpul
“Susahnya kumpulin anak-anak itu karena jadwal kami berbeda. Belum lagi preferensi tempat makannya. Setelah seminggu mengajak di grup, entar ingetin lagi di hari bukbernya,” ujarnya.
Kendala lain, kondisi dompet masing-masing orang berbeda. Jika ada teman yang isi dompetnya sedang tipis, Bagust harus mengumpulkan teman-temannya yang mau patungan. “Asal masih masuk akal ya tidak apa-apa untuk patungan. Tapi, untuk bukber tahun ini tidak ada patungan. Kami bayar sendiri makanan yang kami pesan,” ujarnya.
Kenangan lama
Saat bertemu, ia dan teman-temannya kerap mengobrol tentang momen-momen saat SMP. Sebagian besar yang diceritakan adalah hal yang lucu, seperti kenakalan, cinta-cinta, dan cerita buka bersama tahun sebelumnya. Baginya, bukber bersama teman sekolah atau kuliah bertujuan untuk menjaga komunikasi dan relasi.
“Karena kita tidak ada yang tahu misalkan butuh di kemudian hari. Buat gue ngobrol dengan teman-teman gini untuk melarikan diri dari kepadatan aktivitas,” lanjut mahasiswa jurusan manajemen ini.
Geng lain yang juga menjadikan bukber sebagai sarana silaturahmi serta mencari pengalaman baru lewat sesi berbagi dilakukan oleh mahasiswa Universitas Islam Negeri Jakarta Muhammad Sukri. Minggu (27/5) sore, Sukri duduk melingkar bersama 35 orang lainnya di Aula Student Center, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sembari menunggu azan Magrib, mereka mendengarkan lantunan ayat suci Alquran. Sedangkan lima mahasiswi lain menyiapkan konsumsi untuk berbuka puasa. Begitu waktu buka puasa tiba, mereka langsung menyantap bermacam hidangan berbuka berupa gorengan, puding, hingga es buah. Makanan berat yang disajikan nasi dan sup.
Saya senang mendengar pengalaman para pegiat persma. Enak bisa akrab, berbaur, dan saling bercanda di bukber
Acara bukber Sukri dan kawan-kawan diisi dengan mendengarkan cerita seorang senior yang dulu aktif di Pers Mahasiswa dan Mahasiswa Pecinta Alam. Kesibukannya mengurus dua organisasi membuat kuliahnya molor sampai tujuh tahun. “Saya senang mendengar pengalaman para pegiat persma. Enak bisa akrab, berbaur, dan saling bercanda di bukber ini,” kata Sukri.
Ajang bukber juga menjadi momen silaturahmi bagi Oman Kholilurrohman. Sebagai alumni Pondok Buntet Pesantren, Cirebon, ia dan kawan-kawannya hadir di bukber sekaligus reuni lintas generasi pada Selasa, (22/5) lalu di Ciputat yang dihadiri 90 alumni angkatan 2010 hingga 2017.
Di tempat lain, Khaira Anisa, mahasiswa UIN Jakarta merasakan momentum silaturahmi lewat bukber pada Rabu (23/5)lalu. Demi bukber teman seangkatan kuliah, ia mengosongkan kegiatannya. “Terakhir ketemu pas Desember 2017 lalu. Makanya ikut ke sana,” katanya.
Skripsi menjadi tema pembicaraan yang hangat sebab ia dan teman-temannya sudah memasuki semester akhir perkuliahan. “Kami fokus untuk sharing skripsi, mulai dari tema, metode, hingga cerita tentang dosen pembimbing,” jelas mahasiswi jurusan hubungan internasional itu.
Atur Jadwal
Perihal bukber hingga lima bahkan delapan kali sudah lazim dilakukan mahasiswa. Salah satu yang kerap ikut bukber adalah Regina Devie. Mahasiswi Universitas Bunda Mulia Jakarta ini sejak awal puasa hingga akhir Mei sudah tujuh kali bukber antara lain bukber dengan teman kerja, dengan teman SD, SMP, SMA, dan teman main. Seminggu sebelum Lebaran, ia masih punya rencana bukber lagi dengan teman sekolahnya yang lain.
Berhubung banyak rencana bukber, ia harus pintar mengatur jadwal agar tak bentrok dengan jadwal bukber lainnya. Bukan hanya soal waktu, jumlah uang yang harus ia keluarkan juga menjadi masalah sebab Regina harus membagi dan membatasi uang yang harus disisihkan di setiap jadwal buka puasa.
Untuk satu kali bukber, dirinya harus menyiapkan uang Rp 50.000 hingga Rp 70.000. Beruntung, cewek ini selain kuliah juga punya pekerjaan sampingan sehingga ia tak harus minta ortu untuk bukber dengan teman.
Bukber juga tak hanya diikuti oleh mahasiswa muslim. Yang non-muslim seperti Yuha Prawira, mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata (STP) Trisakti, dan Yosephine Gunawan dari Universitas Indonesia (UI), juga ikut bukber. Yudha pernah ikut bukber bersama teman kuliah dan dosennya.
Semula keduanya ikut bukber untuk menjaga relasi dengan dosen dan teman-temannya yang pernah bekerja sama di sebuah organisasi kampus. Uniknya, bukber di rumah sang dosen dilakukan dengan memasak sendiri makanan untuk acara yang dihadiri sekitar 10 orang itu. Berhubung dosen dan kawan lain sedang berpuasa, Yudha lah yang bertugas mencicipi masakan untuk memastikan sudah enak atau belum.
Sedangkan Yosephine mendapat pengetahuan baru mengenai ibadah puasa dari kehadirannya di tengah kawan-kawannya yang berpuasa. “Jadi tahu bagaimana mereka shalat dulu sebelum buka puasa. Lalu makan dimulai dari yang kecil-kecil dulu, seperti kurma atau minum air putih dulu baru makan dengan porsi berat,” tutur Yosephine.
Ya, bukber ternyata bisa menyatukan orang-orang yang berbeda. (*/**)