Minat anak-anak SMA untuk mengikuti program Magang Kompas Muda dari tahun ke tahun selalu luar biasa. Tahun ini, ada 625 lebih pelamar dari berbagai daerah. Para pelamar mesti berjuang untuk memperebutkan kursi magang yang hanya 40. Yuk kita intip perjuangan mereka.
Siang terasa begitu terik Selasa (5/6/2018) saat itu, Izky Fadhilah (17) tiba di gedung Kompas Gramedia, Jalan Palmerah, Jakarta Selatan dari Karawang, Jawa Barat. Ia datang dengan sepeda motor yang dikendarai kakaknya. Izky, murid Pondok Pesantren Husnul Khotimah, Kuningan, Jawa Barat itu datang dengan satu tujuan: mengikuti tes wawancara untuk menjadi peserta program Magang Kompas Muda 2018. Mereka yang lolos akan dijuluki Magangers Batch X.
Magang Kompas Muda adalah program workshop jurnalistik untuk siswa SMA atau sederajat yang digelar setiap tahun oleh Harian Kompas sejak 2008. Dalam program yang berlangsung selama lima hari itu, para siswa dilatih menulis, memotret, dan mendesain koran oleh para jurnalis profesional Harian Kompas.
Izky mengaku sangat berminat dengan kegiatan jurnalistik. Di sekolah, ia juga ikut divisi kejurnalistikan. "Saya menjadi penulis majalah yang berisi berita dan kegiatan tentang santri. Tapi saya nggak mau pengalaman jurnalistik saya hanya stuck di ponpes," tutur Izky
Karena itu, ketika ada lowongan Magangers, Izky semangat sekali. Ia bertekad untuk berjuang habis-habisan agar lolos seleksi. Perjuangannya juga melibatkan kakaknya yang mesti pulang dari Bandung dengan sepeda motor untuk menjemput Izky di Kuningan. Dari Kuningan mereka mampir ke rumah mereka di Karawang, kemudian melanjutkan perjalanan ke Palmerah dengan sepeda motor yang sama. Setelah selesai wawancara, mereka pulang lagi ke Kuningan dengan sepeda motor.
Tak hanya Izky, perjuangan keras juga ditunjukkan orangtua calon Magangers. Ida Farida, perempuan berusia 49 tahun, mesti menempuh perjalanan cukup jauh dari Ciawi ke Palmerah, untuk mengantarkan anaknya Prabu Wisnu (17) yang ikut seleksi Magangers. Keduanya berangkat dari Ciawi dengan bus pukul 10.00. “Sempet kepikiran untuk memilih kereta, tapi transitnya (lama) bikin males,” ujarnya.
Vincentius datang dari daerah yang lebih jauh, yakni Yogyakarta. Siswa SMA Kolose De Britto Yogyakarta itu menumpang kereta dari Yogyakarta menuju Jakarta seorang diri demi mengikuti seleksi wawancara. Ia tiba di Stasiun Pasar Senen pukul 05.40 WIB dan singgah di sebuah restoran fastfood. "Saya makan dan nonton tv dulu di sana karena masih kepagian untuk datang ke Kompas," ujarnya.
Vincentius mau datang jauh-jauh ke Jakarta karena sangat tertarik mengikuti program magang di Kompas. "Aku suka mengeluarkan pendapat, suka ngobrol. Hasil ngobrol itu kan harus ditulis juga, biar jadi memori,” tutur Vincentius.
Berbeda dengan Vincentius, Neshafi Laudza datang dari Temanggung ditemani ayahnya. “Bapak nunggu di luar. Artinya dia sangat mendukung kan,” ceritanya diikuti tawa
Inilah untuk pertama kalinya Nesha menginjakkan kaki di Ibu Kota. “Kami naik bus, soalnya rumah jauh dari stasiun," ujar Nesha yang ingin sekali menjadi jurnalis.
Pelamar lainnya, Feliks Eramus dan Sirilus Maximilian datang dari Magelang dengan bus antar kota. Panitia agak kesulitan untuk menghubungi Sirilus dan Feliks karena di sekolah asrama mereka, siswa tidak bleh memegang telepon genggam. Jadi, panitia menghubungi orangtua Sirilus terlebih dahulu di Lampung.
Orangtua Sirilus kemudian memberi nomor telepon sekolah Sirilius. Panitia menghubungi nomor tersebut dan diterima seorang guru. Guru tersebut kemudian mencari Sirilus, dan beberapa menit kemudian panitia akhirnya bisa ngobrol-ngobrol dengan Sirilus. Untuk menghubungi Feliks, panitia minta tolong Sirilus. Well, panjang banget rutenya.
Seleksi ketat
Tahun ini, jumlah pelamar 625 orang, jauh lebih banyak dibanding tahun lalu yang mencapai 400-an. Asal daerah pelamar lebih beragam dari tahun lalu. Selain dari SMA di wilayah Jabodetabek, pelamar juga datang dari Karawang, Cirebon, Temanggung, Semarang, Yogyakarta, Bali, bahkan Ambon.
Dari 629 pelamar, hanya 135 pelamar yang lolos seleksi berkas dan karya. Mereka kemudian diseleksi lagi melalui wawancara oleh bagian PSDM dan wartawan Kompas. Wawancara berlangsung dalam dua gelombang pada Selasa (5/6/2018) dan Rabu (6/6/2018) di gedung Kompas Gramedia.
Pagi-pagi, sebagian peserta sudah berada di ruang tunggu wawancara. Aldan Fatu Rachman (17), siswa SMAN 23 Tangerang mengaku tegang saat menunggu wawancara. Ketika masuk ke ruang wawancara, ternyata kakak-kakak pewawancara justru santai banget. Aldan pun terbawa santai.
“Kirain mereka wawancaranya serius, ternyata enggak juga. Ada suasana santai yang dibangun di ruang wawancara tadi,” kata Aldan aktif mendesain poster di sekolahnya. Aldan mengaku semangat mengikuti wawancara, apalagi tiga temannya telah gugur di tahap sebelumnya.
Jonathan Edrick dari SMA Tarakanita Gading Serpong justru gugup ketika mendapat surat elektronik dair Kompas Muda untuk mengikuti seleksi magang fotografer. Soalnya, ia merasa pengalaman fotografi jurnalistiknya tidak banyak. Meski gugup, ia tetap datang untuk mengikuti sesi wawancara. Sayang kalau kesempatan ini dibuang begitu saja.
Seleksi Magang Kompas Muda sudah selesai. Ada peserta yang optimistis, ada yang pesismistis lolos. Yang jelas mereka sudah menunjukkan usaha maksimal. "Kalaupun nggak lolos, setidaknya aku sudah bisa melewati tahap ini," kata Vincentius bijak. (*/**/***)