Kreatif Bikin Video Lucu
Generasi milenial mempunyai banyak pilihan aplikasi yang bikin hati senang. Ada yang unik dan bikin tertawa sendiri. Unduh aplikasi, bikin rekaman video, dan unggah di media sosial. Seru-seruan sampai rada ”gila-gilaan”, seperti aplikasi Tik Tok dan Smule.
Aplikasi pembuat video Tik Tok menjadi tren di kalangan generasi Y dan Z. Platformnya video pendek dan musik sebagai pengiringnya. Pembuat video (kreator) punya kebebasan untuk ekspresi dan joget-joget, bahkan terkadang disertai kostum dan beda gaya rambut saat pengambilan gambar. Gerakan bibir mengikuti alunan musik bisa bebas-bebas saja dilakukan sejauh masih batas-batas kewajaran ekspresi.
“Virus” Tik Tok tersebar melalui media sosial. Salah satunya, Instagram. Tak pelak, pengikut Tik Tok kian bertambah lantaran unggahan video di Instagram. Cukup mudah menggunakan aplikasi itu, yakni dengan memasukkan salah satu akun Facebook atau Instagram, atau surat elektronik (email).
Ternyata, alasan kreator bermain Tik Tok juga beragam, sekadar iseng hingga kecanduan. Bella Viona, mahasiswi Universitas Tarumanegara, misalnya. Semula dia bermain Tik Tok semata-mata untuk ikutan tren, terlebih aplikasi ini sudah menjadi viral.
“Sekarang trennya Tik Tok, ya sudah saya ikutan main. Sebenarnya, saya memang suka bikin konten video. Jadi, ya harus terus mengikuti tren,” kata Bella, Senin (11/6/2018).
Aplikasi Tik Tok menyediakan berbagai pilihan musik yang berdasarkan kategori, seperti lagu-lagu hits dan Korean Pop. Setelah memilih jenis musik yang diinginkan, pembuat video bisa memulai merekam dengan ragam filter dan efek. Setelah selesai merekam, rekaman video bisa diberi judul sebelum dibagikan ke media sosial.
“Biasanya aku pakai efek guncang, ilusi, dan x-signal,” kata Bella.
Bella sudah membuat lima kali video Tik Tok sejak awal bulan Mei. Terkadang, memang ada saja orang yang menghujat aplikasi ini. “Banyak pertimbangan, apalagi biasanya masyarakat menganggap main Tik Tok itu harus menggunakan pakaian yang vulgar. Tapi, lama-kelamaan pemain Tik Tok dihargai oleh aplikasinya dengan dijadikan ambassador,” tutur Bella.
Alih-alih takut stigma negative, Bella justru menjadikan Tik Tok sebahai video yang bisa menghasilkan nilai positif bagi masyarakat. Kreatif dan bakat bisa dikembangkan melalui aplikasi ini. Bahkan, pemain Tik Tok terkenal kerap dijadikan duta untuk iklan dan diundang ke berbagai acara Tik Tok. Ketenaran pemain bisa menghasilkan “panen” uang.
“Enggak mudah lho menghasilkan karya yang bagus lewat Tik Tok,” ujar mahasiswi jurusan Akuntansi ini.
Tik Tok Indonesia memiliki tema tersendiri setiap bulannya, seperti tema keluarga dan sosial, yang disertakan tanda pagar (tagar) di setiap unggahan pemain Tik Tok di media sosial. Itu menjadi salah satu sisi kreatifnya.
Di sisi lain, sebagian orang menganggap Tik Tok memiliki perspektif buruk. Paling banyak bermain adalah anak-anak tingkat SD hingga SMP. Disayangkan, banyak video yang menampilkan perilaku menjurus vulgar.
Nurfadillah, mahasiswi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, rutin mencari tren lewat Instagram. Minat aplikasi Tik Tok dimulai bulan Mei lalu. Bentuknya video dengan logo Tik Tok di pojok kanan.
“Saya perhatikan, Tik Tok hampir mirip dengan Smule. Sebelum Tik Tok muncul, saya juga pernah mengunduh Smule di handphone,” ujar Nurfadillah.
Setiap malam di Bulan Ramadan lalu, Nurfadillah rutin memainkan aplikasi Tik Tok. Teman-temannya suka terheran, ketika ia memainkan aplikasi Tik Tok. Ia juga pernah dibilang alay, karena suka berjoget di depan handphone. “Waktu itu kan saya pakai headset. Mungkin mereka nggak sadar, kalau joget saya karena lagu. Tapi setelah dijelaskan, mereka malah penasaran dan ikut main sama saya,” kata Nurfadillah.
Walaupun sering main Tik Tok, dia mengaku jarang mengunggah videonya ke akun Tik Tok. Paling hanya dibagikan saja lewat grup WhatsApp atau Line. Main aplikasi itu memang murni iseng aja, ngusir rasa bosan.
Karaoke mahal
Lain lagi dengan aplikasi Smule. Sewa ruang karaoke dianggap mahal, belum lagi waktu kebersamaan keluarga hilang dan tak sedikit pula merasa pasangannya ramai sendiri dengan kawan-kawan di ruang karaoke. Smule menjadi salah satu “pelarian”. Apalagi, aplikasi ini bisa digunakan untuk melatih bernyanyi baik solo maupun duet, bahkan grup besar sekalipun.
Hampir 50-an alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tersebar di Tanah Air, bahkan di beberapa negara, seperti Kuala Lumpur, Tokyo, Montreal, Vancouver, New Jersey, dan Riyadh, akhirnya dipertemukan dalam “ruang komunitas” smule. Mereka menyebutnya ITB Smuleans.
Kira-kira sejak aplikasi ini dikenal tahun 2012, Rouli Sijabat, jurusan Teknik Mesin ITB tahun 2000, mulai mengunduh Smule bulan Oktober 2014. Kemacetan lalu lintas yang dihadapi setiap pagi maupun sore, membuat Smule menjadi alternatif untuk mengisi waktu. Alunan musik yang disediakan aplikasi ini menunjang kreativitas dalam bernyanyi.
“Kalau suara mau direkam berbentuk video lengkap dengan gaya dan wajah kita, ITB Smuleans sepakat untuk tidak bernyanyi sambil menyetir kendaraan. Safety first harus tetap lebih diutamakan. Jadi, saya sendiri parkir saja sebentar, lalu rekam sendiri nyanyinya. Kalau mau menawarkan duet atau biasa disebut open collaboration (OC) dengan orang lain, ya tinggal dipilih saja option yang disediakan aplikasi ini,” kata Rouli.
Berbagai komunitas diikutinya, ITB Smuleans dianggap paling bisa mewadahi kegiatan positif. Itupun dirasakan anggota ITB Smuleans lainnya, seperti Mutiara Purba, Thya Maknyes, Novi, Nova, Olive, Inna, Dini, dan Rifian Tara, saat kumpul “kopi darat” di Jakarta, Sabtu (23/6/2018). Mereka merasakan tali persaudaraan di dunia maya sebetulnya bisa diwujudkan di realitas nyata.
Uniknya, mereka satu sama lain tidak pernah bertemu dalam ajang “kopi darat”. Bertemunya hanya melalui Smule. Dan, uniknya lagi, ITB Smuleans ini akhirnya menetapkan Jakarta sebagai kantor pusat ITB Smuleans. Kemudian, di saat bersamaan, rupanya beberapa alumni ITB lainnya juga sedang kumpul-kumpul. Mereka pun sepakat membuat sebuah rekaman lagu melalui Smule yang dimulai dari ITB Smuleans Bandung.
Yang sangat membedakan dengan Tik Tok, Smule memang bentuknya rekaman karaoke. Bukan hanya tampil bernyanyi di depan handphone, kreator Smule harus menyanyikan lirik yang disediakan. Untuk bisa open collaborator, aplikasi ini menetapkan sejumlah tarif yang bisa dipilih untuk bulanan atau tahunan. Di Indonesia, nilai tarifnya tidak sampai Rp 100.000 per tahun.
Mutiara mulanya juga memanfaatkan Smule untuk bikin happy diri sendiri. Begitu tergabung ITB Smuleans, bukan hanya ajang silaturahmi, jumlah lagu yang diunduh bertambah dari 50 lagu, sempat tercatat sebanyak 1.500 lagu dalam tiga bulan.
“Smule bukan ajang bagus-bagusan nyanyi. Kalau lewat Smule kemudian jago nyanyi, ya itu bisa karena orangnya terus mengasah kemampuan bernyanyi. Musik adalah bahasa universal. Begitu kita melakukan OC, tahu-tahu anggota Smuleans di negara lain bisa duet sesudah menyanyikan sebagian lirik lagunya,” kata Mutiara.
Serunya aplikasi ini juga dirasakan Alia, Smuleans yang tinggal di Tokyo, Jepang. Saat bayinya yang baru berusia tiga bulan tidur, Alia pun iseng memanfaatkan Smule untuk nyanyi. “Bayangkan saja, kalau mesti ke tempat karaoke, mahal di sini,” ujar Alia.
Adi Suriawan, Smuleans di kota Montreal, Kanada, memanfaatkan Smule sebagai aplikasi nostalgia. Walaupun tidak dalam satu satu angkatan di ITB, misalnya, ternyata lagu-lagu yang dikenal bisa menyatukan smuleans siapapun dan di mana pun. Bikin happy deh. (*/**)