Hammersonic, Yang "Ngepop" dan Yang Cadas Untuk Jakarta
Jakarta jadi tuan rumah bagi sekaligus dua festival musik berskala internasional pada akhir pekan lalu, sejak Jumat (20/7/2018) sampai Minggu. Di kawasan Ancol, Jakarta Utara, berlangsung festival musik keras Hammersonic. Tak jauh dari sana, tepatnya di arena Jakarta Expo Center Kemayoran, ada festival ragam genre, yang umumnya modern, bertajuk We The Fest. Dua-duanya ramai.
We The Fest sudah mulai sejak Jumat (20/7/2018). Tahun ini, festival tersebut mencuatkan nama penyanyi belia Lorde dari Selandia Baru. Selain itu banyak pula artis internasional yang sedang beken seperti seperti Albert Hammond Jr, SZA, Honne, James Bay, dan trio asal Inggris, Alt-J.
Penampil dalam negeri, tentunya, jauh lebih banyak. Sebut saja Elephant Kind, Mooner, Efek Rumah Kaca, Barasuara, Maliq & D’Essentials, White Shoes and The Couples Company, Ramengvrl, Neonomora, dan Monkey to Millionaire.
Ada tiga panggung yang jadi tempat beraksi para penampil tersebut, yaitu WTFTF Stage, This Stage is Bananas, dan Another Stage. Rata-rata semua panggung dipadati penonton, yang umumnya berusia di bawah 25 tahun.
Festival ini menyuguhkan banyak corak musik, mulai dari rock, “ajep-ajep”, indie rock, rap, hip-hop, blues, hingga heavy metal. Ya, We The Fest tahun ini terasa spesial karena ada band cadas Seringai, yang justru absen di “habitatnya”, Hammersonic. Seringai, bisa jadi adalah band pertama yang menciptakan circle pit di arena musik pop modern We The Fest.
We The Fest dimaksudkan jadi festival musik musim panas, alias summer—padahal di Jakarta sepanjang tahun terasa summer. Jadi nggak heran, kalau banyak penontonnya datang dengan pakaian simpel, seperti mau liburan ke pantai. Ada juga yang terlihat seperti mau “nyender” di lounge atau kafe. Pokoknya, pakaiannya sesantai mungkin, tapi menarik perhatian.
Pemandangan itu, andaikata perlu diperbandingkan, nggak kelihatan di Hammersonic, Minggu (22/7/2018). Namanya ajang musik keras, dandanan penontonnya berasa tipikal: berkaus hitam. Lumayan banyak juga, sih, yang pakai kaus warna lain, tapi gambarnya (atau tulisan di kausnya) sama-sama seram.
Toby Morse, vokalis band hardcore H2O dari AS, bisa jadi adalah pentolan band yang bajunya paling cerah. Dia pakai kaus warna-warni berpadu dengan celana pendek sepaha. Sepertinya itu cocok dengan suasana tepi pantai tempat Hammersonic berlangsung. Dia pun terlihat aktif berlarian di panggung gigantis, yang konon panjangnya hampir 70 meter itu.
Panggung tempat H2O beraksi itu adalah panggung utama. Ada dua panggung lainnya yang berukuran lebih kecil, yaitu Hammer Stage dan Sonic Stage. Kedua panggung sama besar ini berdempetan. Ukuran panggung sepertinya berbanding lurus pada fasilitasnya. Tata lampu dan suara di dua panggung ini beda kelas dengan panggung utama.
Aksi manis
Produksi suara band Koil dari Bandung yang kebagian main di Hammer Stage sekitar jam 22.00 kurang apik, berbeda dengan pentas mereka biasanya. Walau begitu, kuartet Otong, Leon, Adam, dan Doni bermain asyik dan menghibur meski cuma mainin empat lagu.
Otong, seperti tabiatnya, boros gitar. Di antara musik yang berjalan, dia membanting gitarnya. Itu terjadi dua kali. Dia juga ngasih gitar, yang katanya baru, kepada salah seorang penonton cewek yang berulang tahun. Gitar berbentuk “V” itu ia terbangkan dari bibir panggung.
“Tolong kalian yang nangkep, kasihin ke dia (yang berulang tahun) ya,” kata Otong sebelum melayangkan gitar yang bagian belakangnya ditandatangani beberapa artis yang main di Hammersonic itu. Permintaan itu dipatuhi. Kerumunan penonton yang menyambut gitar itu lantas memberikannya kepada perempuan berbahagia bernama Yudith itu. Polah yang manis sekali.
Sebelum mentas, Otong mengutarakan rencana aksi itu. Dia pernah berjanji kepada penyelenggara bakal merelakan satu gitarnya kalau band idolanya, In Flames manggung di Hammersonic. Band metal dari Swedia itu akhirnya diundang pada tahun ini, sebagai headliner. Otong yang kegirangan membayar utangnya.
Tak lama setelah Koil turun panggung, Otong bergegas membaur dengan penonton di depan panggung utama. Sebelum nonton In Flames, dia menyaksikan aksi symphonic black metal Ihsahn. Band itu termasuk yang ditunggu Otong dan beberapa metalhead lain. Tak heran, Ihsahn adalah sempalan dari band black metal legendaris asal Norwegia, Emperor.
Penampilan Ihsahn tidak terlalu menarik dilihat. Dia sebagai vokalis tak banyak bergerak—hanya sesekali berjalan ke belakang, dan beringsut dua-tiga langkah ke kiri dan kanan. Personil bandnya juga terpaku di balik perangkat masing-masing. Tampilan di layar besar latar panggung pun statis. Namun musiknya seru banget disimak; cepat, keras, rumit, sekaligus melodius. Seorang penonton nyeletuk, “Rapi banget, sama kayak dengar di CD.”
Energi penonton sepertinya tersisa sedikit saja ketika Ihsahn main. Vokalis klimis berkacamata itu sempat melontarkan pertanyaan, “Kalian sepertinya bengong. Kalian nggak apa-apa kan? Apakah kalian kecapekan?” Ah, dia mungkin tidak menyadari kalau banyak penonton sudah joget berlari-larian ketika matahari di Ancol sedang terik-teriknya dengan suhu sekitar 33 derajat celcius.
Pesan
Ya, Hammersonic dimulai sekitar pukul 10.30 dengan penampil pertama band anyar Griffith dari Sukabumi, Jabar. Penonton makin ramai ketika band punk dari Jakarta Marjinal tampil sekitar jam 13.00. Vokalisnya, Mike telanjang dada. Marjinal main empat lagu, salah satunya adalah lagu baru “Palestina”, yang katanya bentuk solidaritas mereka kepada perjuangan Palestina.
Band metal Funeral Inception dari Jakarta juga main siang hari. Seperti penampilan mereka di Hammersonic 2014, Doni dan kawan-kawan membentangkan poster bertema kepedulian pada hewan. Kali ini, poster itu bertuliskan “Say No to Dog Meat”, merujuk pada menjadikan daging anjing sebagai santapan. Di kancah metal, Doni boleh saja mendapat julukan “iblis”, tapi dia betul-betul sayang pada binatang.
Selain In Flames dan Ihsahn, band luar negeri yang banyak dinanti adalah Brujeria dan veteran punk rock Dead Kennedys. Sekilas, penonton berkaus Dead Kennedys dan Brujeria terlihat lebih banyak daripada In Flames.
Brujeria tampil selama 40 menit membawakan nomor-nomor deathgrind seperti “Pito Wilson”, “La Migra”, “Matando Gueros”, dan “Marijuana”. Anggota Brujeria, yang sebagian adalah keturunan Meksiko, tampil dengan bandana yang menutupi mulut. Mereka melantangkan isu imigran dalam langgam death metal/grindcore.
“Kami telah mendatangi banyak tempat di dunia. Sekarang kami ada di Indonesia, di mana kami diperlakukan dengan sangat baik. Ini tidak terjadi di Amerika (Serikat),” kata vokalisnya Juan Brujo. Penonton merespons dengan mengacungkan jari tengah.
Ajakan untuk bersikap simpati kepada sesama manusia juga didengungkan band Dead Kennedys. Band punk yang terbentuk tahun 1978 di California AS ini menjadikan arena penonton sebagai tempat berdansa, terutama ketika membawakan lagu terkenal seperti “Too Drunk to Fuck”, “California Uber Alles”, dan “Holiday in Cambodia”.
“Berhentilah (bersikap) rasis, berhentilah berpandangan antimuslim. Setelah pulang dari sini, sampaikan pada ibu kalian bahwa ‘Nazi Punk Fuck Off!’” kata pemain drum DH Peligro menyebutkan judul lagu berikutnya.
Aksi Dead Kennedys adalah aksi yang paling menyenangkan pada malam itu. Vokalisnya, Ron Greer sering membanyol. Ia menertawakan dirinya sendiri yang sudah tidak muda lagi tapi tetap manggung jauh-jauh sampai ke Indonesia. Ia juga meledek satir betapa bandnya telah menerima bayaran besar sehingga tidak perlu menyelesaikan pentasnya.
Magnumotion Hammersonic Festival 2018 berlangsung menyenangkan. Penampilnya tidak bungkam pada isu-isu kemanusiaan. Tapi entah alasan apa yang membuat penyelenggara memakai tentara sebagai penjaga barikade panggung. Padahal, siang hingga malam itu, tak ada satupun ulah metalheads yang mengancam kedaulatan negara.
Sebaliknya, pemilihan kepala negara tahun depan justru mengancam kelangsungan festival ini. Ada desas-desus yang terdengar bahwa penyelenggaraan tahun ini bakal menjadi Hammersonic terakhir. Benarkah demikian? “Kita tunggu saja,” kata Zethria Okka, Art Director Hammersonic 2018.