Sinematografi UI, Isu Lokalitas Cara Mahasiswa
Komunitas memegang peranan penting dalam menyuburkan iklim perfilman di Indonesia. Jika pada awal-awal masa Reformasi komunitas banyak ambil peran dalam ranah distribusi dan apresiasi, kini mulai ada di tataran produksi. Lingkungan kampus juga jadi gudang dan talenta perfilman nasional.
Film berdurasi 10 menit itu menampilkan gambar-gambar yang mengejutkan: ada wajah yang menyeringai, bilah pisau, dan ceceran darah. Judulnya adalah Rodinne Fotografie, yang ditulis dan disutradarai Widi Satrio, produksi tahun 2015.
Film itu teruntai bersama 30 film pendek lain yang pernah diproduksi Kelompok Sinematografi UI. Kelompok itu adalah unit kegiatan mahasiswa Universitas Indonesia yang punya minat di bidang perfilman. Kampus ini tidak punya jurusan perfilman.
Pada akhir pekan lalu, Dini Adanurani (19), salah seorang anggotanya diundang jadi pembicara dalam diskusi panel berjudul "Role of Community in Determining Our Language of Cinema" di Goethe Institut of Indonesia, Jakarta. Acara diskusi itu adalah bagian dari program Forum Festival, salah satu rangkaian dari Arkipel, Jakarta International Documentary and Experimental Festival.
Dini diundang jadi pembicara di forum yang dihadiri sineas dari beberapa negara itu karena aktivitasnya sebagai staf di bidang program Sinematografi UI. Mahasiswi Jurusan Filsafat angkatan 2016 ini menceritakan karkateristik film bikinan mahasiswa.
Menurut dia, film-film buatan mahasiswa tidak bisa diseragamkan dalam satu kotak. “Sebab tampilan bentuk dan topiknya sangat beragam. Film-film bikinan jurusan perfilman bahkan sudah bisa dibilang sama banget sama film bioskop,” kata Dini.
Secara pilihan topik, film bikinan mahasiswa saat ini punya kecenderungan memasukkan unsur lokalitas, seperti menggunakan bahasa daerah. Latar budaya sang pembuat film pun berusaha dimunculkan. Dini menyebut, salah satu pengaruh lokalitas itu berasal dari sejumlah film pendek karya Wregas Bhanuteja seperti Lemantun dan Prenjak.
Wregas adalah alumnus Institut Kesenian Jakarta. Film Prenjak menggunakan bahasa jawa dengan latar kebudayaan di Yogyakarta, tempat Wregas lahir dan dibesarkan. Film itu keluar sebagai film pendek terbaik di ajang Semaine de la Critique di ajang Festival Film Cannes, Perancis, 2016.
Menggali gagasan
Di kampus UI, kata Dini, beberapa mahasiswa berusaha membuat film yang dekat dengan latar ilmu si pembuatnya. Ia mencontohkan, ada temannya dari fakultas hukum yang membikin film tentang metode penyebaran gosip di kalangan kampus. Seorang kawan lainnya dari fakultas psikologi membuat film bertema psikososial berdasarkan teori Erik Erikson.
Sebelum terwujud dalam bentuk film, gagasan-gagasan itu sebelumnya digodok bersama anggota komunitas lain. Dalam masa produksi, anggota komunitas ini berkumpul setiap Sabtu. Mereka akan menanyakan sejauh mana proses produksi pada kelompok yang sedang membuat film.
“Forum itu seperti ‘pitching’ produksi kepada produser eksekutif. Kelompok yang sedang mengerjakan film presentasi kepada anggota komunitas lainnya, juga alumni Sinematografi,” jelas Dini.
Para alumni inilah yang disebut sebagai ‘produser eksekutif’ karena ada kemungkinan mereka ikut menalangi biaya produksi. Namun, biasanya jumlah sumbangannya tidak besar. “Kalau masih kurang, anak-anak ya patungan, atau cari utangan sendiri-sendiri,” kata Dini.
Selain mengurusi produksi film, komunitas ini juga punya program apresiasi. Salah satu perhelatan rutin mereka adalah UI Film Festival yang berjalan sejak 2014. Acara itu merupakan kompetisi film pendek untuk mahasiswa di seluruh Indonesia.
Pada perhelatan tahun lalu, festival itu menerima 280 judul film fiksi pendek juga film parodi buatan mahasiswa di seluruh Indonesia. Untuk festival tahun 2018, bakal ada 179 judul film yang berkompetisi. Festival yang kelima ini akan berlangsung pada 25-29 September mendatang.
Dalam festival itu, penyelenggara tak hanya menerima kiriman film buatan mahasiswa. Mahasiswa yang tertarik pada kritik film bisa mengirimkan esai mereka tentang perfilman. Pemenang tulisan terbaik akan diundang mengikuti pemutaran film dan jadi peserta diskusi setelahnya.
Berjejaring
Sebagai komunitas, mereka juga berjejaring dengan komunitas perfilman di kampus lain. Salah satu caranya adalah aktif mendatangi festival film yang diadakan kampus lain. Dini menuturkan, mereka baru saja menyambangi festival film yang diadakan mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan Universitas Sebelas Maret di Surakarta.
Berinteraksi dengan komunitas lain di luar kampus juga mereka lakukan, misalnya dengan ikut serta di festival Arkipel tersebut. Bagi mereka, festival seperti Arkipel adalah ajang membuka jaringan, juga menimba ilmu dari para pembuat film.
Arkipel, yang diinisiasi Forum Lenteng di Jakarta bisa diibaratkan sebagai payung bagi sejumlah komunitas yang bergerak di bidang literasi media publik. Salah satu bentuk media itu adalah film.
Komunitas film, termasuk Sinematografi UI, adalah ujung tombak pengangkat isu lokalitas. Manshur Zikri, salah satu kurator di Arkipel mengatakan, isu lokalitas yang terekam dalam bentuk catatan dan film itu diberi ruang di ajang Arkipel.
Di Arkipel 2018 ini, ada 45 film Indonesia yang didaftarkan, 17 judul di antaranya mendapat jadwal pemutaran. Film-film itu berasal dari berbagai daerah, seperti Yogyakarta, Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Banten, Lampung, dan Bali.