Menjejak Bumi di Sokola Langit
Sesuai dengan namanya Sokola Kaki Langit, komunitas ini menggelar kegiatan belajar di tempat terpencil hingga “kaki langit”. Mereka membantu kegiatan belajar mengajar, memberikan pengajaran tambahan, juga mengedukasi tentang pentingnya pendidikan. Dari situ, para anggota komunitas ini merasa diberi kesempatan untuk bersyukur sembari belajar bersama anak-anak.
Siang yang menyengat dan cukup untuk membuat belingsatan, Sabtu (18/8). Empat orang “kakak” dari Sokola Kaki Langit berbincang santai di halaman sekretariat mereka, di Pao-Pao, Gowa, Sulawesi Selatan. Dua orang “kakak” lainnya di dalam rumah beres-beres. Di bawah rindang pohon, mereka berbagi cerita, dari kabar dan kegiatan terakhir, sampai pengalaman ketika kunjungan ke lokasi binaan.
Pengalaman senangnya bertemu anak-anak, susahnya medan, juga pengalaman lucu mereka bagi. Fugil, seorang di antaranya mengingat, suatu kali mereka melakukan kegiatan di lokasi binaan. Bersama belasan orang lainnya mereka tiba malam hari.
“Dusun itu susah air, dan butuh masak, sama lain-lainnnya. Pas minta air ke rumah warga, ditunjukkan ke arah depan rumahnya. Ada kayak kolam kecil begitu, jadi kami ambil dipakai untuk masak nasi, minum, atau bersih-bersih. Taunya itu kubangan tempat sapi mandi,” ceritanya. Rekan-rekannya tidak mampu menahan tawa.
Isnan Azis (26), “kakak” lainnya menambahkan, tempat air yang ditunjukkan warga ternyata berada di gubuk yang tertutup seng tidak jauh dari kubangan tadi. Akan tetapi, karena dusun itu belum teraliri listrik, jadi tempat tampungan air tersebut tidak terlihat.
“Kubangan itu sekaligus pembuangan dari tempat air tadi, ha ha,” tambah karyawan swasta ini. “Oh iya, kami di sini memang saling panggil kakak di internal, biar kalau ke lokasi anak-anak juga terbiasa.”
Pengalaman itu hanya satu dari bejibun pengalaman mereka selama berkegiatan di Sokola Kaki Langit. Jalan yang jauh dan harus berjalan kaki, gelapnya saat malam hari, bukanlah sebuah rintangan bagi mereka. Dua dari empat lokasi binaan harus ditempuh dengan berjalan kaki lebih dari satu jam.
Namun, saat bertemu anak-anak dusun yang menunjukkan semangat belajar, lelah mereka hilang. Anak-anak usia SD yang mereka datangi selalu senang ketika mereka datang. Tidak jarang anak-anak ini turun menjemput “kakak” dari Sokola Kaki Langit yang datang.
Faika Humaira (23), alumni Universitas Hasanuddin mengungkapkan, dari pendampingan yang dilakukan di lokasi binaan, dia menemukan banyak hal. Terbatasnya akses pendidikan untuk anak-anak membuatnya miris dan ingin terus membantu.
Fokus di pendidikan
Sekolah Kaki Langit memang fokus pada pendidikan anak-anak di lokasi terpencil. Saat ini, ada empat dusun di tiga Kabupaten yang mereka dampingi. Dusun Umpangeng, di Kabupaten Soppeng, Dusun Paggalungan dan Dusun Maroanging di Kabupaten Barru, serta Dusun Bontomanai di Kabupaten Maros adalah keempat lokasi binaan. Dusun terakhir adalah fokus binaan mereka selama 2018 ini.
Keempat lokasi itu dipilih karena kondisi lokasi yang terpencil dan jauh dari banyak hal. Salah satu yang menjadi kendala utama adalah terbatasnya akses pendidikan. Tidak jarang di satu sekolah hanya ada tiga orang guru.
Itupun kadang ada guru yang tidak hadir. Anak-anak semakin sulit mendapatkan pendidikan. Ada Anak kelas 6 yang untuk membaca dan berhitung pun belum bisa
“Itupun kadang ada guru yang tidak hadir. Anak-anak semakin sulit mendapatkan pendidikan. Ada Anak kelas 6 yang untuk membaca dan berhitung pun belum bisa,” kata Faika.
Setiap dua bulan sekali, mereka mendatangi dusun binaan dan memberikan pendidikan tambahan kepada anak-anak. Saat datang, mereka akan mengajar selama tiga hari. Pada pagi hari, mereka datang ke sekolah dan ikut membantu pengajaran. Apa yang diajarkan sesuai dengan jadwal harian, hanya ditambahi alat bantu ajar yang kreatif. Sore hari, akan ada materi tambahan, seperti permainan, puisi, bernyanyi, atau berdongeng.
Setiap kali kunjungan, akan ada pembukaan sukarelawan baru. Sukarelawan harus mengikuti empat kali pertemuan yang diadakan. Dari situ mereka akan dikenalkan tentang Sokola Kaki Langit dan lokasi binaan, pembagian kelompok dan pemaparan materi, penentuan media ajar, dan pelatihan micro teaching. Sukarelawan yang akan berangkat juga memastikan dan mengusahakan ransum selama kegiatan.
“Semuanya kami bawa sendiri. Beras, cabe, lauk, tabung gas, sampai sabun cuci dibawa sendiri,” ucap Desi Dwi Pratiwi (22). Desi masuk di angkatan 20, pada saat komunitas fokus di lokasi binaan ketiga. Akan tetapi, kini dia telah mendatangi keempat lokasi, dan berkunjung belasan kali.
Meski berkali-kali berkunjung ke lokasi binaan, dia tidak pernah bosan. Energi dari anak-anak yang ingin belajar begitu besar memberinya suntikan semangat dan perasaan bahagia. Saat di lokasi, kepenatannya akan kota juga hilang.
Hingga saat ini, jumlah anggota komunitas lebih dari 350 orang dengan total 27 angkatan. Komunitas ini berdiri sejak akhir Desember 2014 lalu. Pendirinya adalah Andi Mey Kumalasari Juanda. Saat itu dia masih berkuliah di Universitas Negeri Makassar.
“Gerakan ini lahir Karena kegalauan saya terhadap kondisi anak-anak di daerah terpencil di Sulsel. Dari situ saya kemudian berpikir untuk membuat sesuatu yang bisa membantu anak-anak agar memperoleh pendidikan yang sama dengan anak-anak di kota,” tutur Mey, saat dihubungi. Nama Sokola diambilnya dari gerakan pendidikan di lokasi terpencil seperti Sokola Rimba di Jambi, atau Sokola pesisir
Saat pulang ke kampungnya di Kabupaten Soppeng, seorang diri dia mendatangi dusun terpencil yang dia tahu, setelah mencari info terlebih dahulu. Sampai di lokasi yang dituju, sekolah yang dia datangi kosong karena gurunya tidak hadir. Dia lalu membuka pendaftaran relawan dan memulainya di Januari 2015.
Dari situ gerakan ini terus tumbuh dan berkembang. Dari satu dusun binaan menjadi empat lokasi. dari 25 relawan menjadi 350-an orang. Dari yang cuma mengajar, lalu membuka donasi, dan membuat rumah baca di setiap lokasi binaan.
Banyak hal yang saya dapatkan dari gerakan ini. Bertemu warga, makan bersama, dan melihat tawa anak-anak adalah pengalaman tidak terlupakan
“Banyak hal yang saya dapatkan dari gerakan ini. Bertemu warga, makan bersama, dan melihat tawa anak-anak adalah pengalaman tidak terlupakan. Harapan saya, gerakan ini terus ada untuk memberi senyum pada anak-anak di daerah terpencil di Sulsel dan seluruh Indonesia,” ucapnya.
Isnan menambahkan, dari berbagai kunjungan, matanya terbuka akan kondisi pendidikan di Indonesia yang sangat tidak merata. Dia berharap kondisi pendidikan semakin baik, dan anak-anak di desa terpencil bisa bersekolah sampai tuntas. Tidak hanya itu, dia juga mendapat banyak alasan untuk lebih bersyukur. Dari tempat tinggi dan terpencil itu, dia dan rekan-rekannya “menjejak bumi".