Komunitas 1000 Guru Mengikis Kesenjangan Pendidikan
Oleh
Pingkan Elita Dundu
·4 menit baca
Bermula dari anak muda kekinian punya kegemaran jalan-jalan dan aktivitas petualangan, sejumlah anak muda menyatu dalam kegiatan sosial dan pendidikan. Mereka membentuk Komunitas 1000 Guru untuk membantu anak sekolah di desa terpencil, tertinggal, dan pedalaman.
Mengusung jargon ”Traveling and Teaching” atau berwisata dan mengajar, mereka berjalan-jalan sembari mengajar dan mengenalkan beragam profesi agar anak-anak binaannya berani menggapai mimpi setinggi langit. Mereka juga beramal dan memberikan makanan pagi bernutrisi agar anak-anak makin cerdas. Semua dilakukan untuk mengikis kesenjangan pendidikan anak-anak di desa pedalaman yang tertinggal dan terpencil.
Peluh menetes di wajah Monica Elisabeth (25) saat mengajar di Sekolah Dasar (SD) Negeri Rapamanu di Desa Mbatakapidu, Waingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Jumat (17/8/2018).
Monica mengepak-ngepak tangannya, mengentakkan kaki, mengangguk kepala, dan badannya bergoyang mengikuti lirik dan irama lagu yang dinyanyikan. Para siswa kelas III sekolah itu ikut bernyanyi dan bergembira sembari belajar.
Sekolah yang dikunjungi ini terletak di atas bukit Rapamanu yang berjarak berkisar 9 kilometer sampai 10 kilometer dari kota Waingapu atau membutuhkan waktu berkisar 30 menit sampai 40 menit dari kota. Sekolah ini adalah satu dari tiga sekolah terpencil yang jauh dari kota Waingapu, selain SD Masehi Mbatakapidu yang berjarak 15 km dari kota Waingapu dan SD Laindatang yang berjarak 20 km dari kota Waingapu.
Semua sekolah ini letaknya jauh dari kota, kondisi sarana dan prasarana memprihatinkan, dan membutuhkan bantuan dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah sampai pusat.
1001 cerita
Monica yang kesehariannya guru Ilmu Pengetahuan Alam dan Matematika kelas V SD Atisa Dipamkara, Lippo Karawaci, Kabupaten Tangerang, ini salah satu sukarelawan yang ikut bergabung dengan Komunitas 1000 Guru ke Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ia mengikuti program ini setelah menjadi satu dari lima pemenang program Travelling and Teaching Sumba 2018 dari KFC Indonesia.
Ia bergabung bersama 19 sukarelawan dan anggota Komunitas 1000 Guru mengajar siang itu.
”Saya sangat senang bisa bergabung dengan Komunitas 1000 Guru ini. Terus terang saya baru pertama kali berwisata sembari mengajar anak di desa terpencil,” ujar Monica.
Sita Rosita Bach, salah seorang anggota Komunitas 1000 Guru, berbagi pengalaman. Lulusan sebuah universitas swasta di Semarang ini mengaku suka berwisata. Namun, jalan-jalan biasa yang selama ini dilakukan terkesan menghambur-hamburkan uang saja.
”Kalau ini, kan, ada kegiatan berbagi kepada orang lain, terutama kepada anak-anak di pedesaan yang terpencil dan tertinggal,” kata Sita.
Siang itu, Sita dan tiga rekan Komunitas 1000 Guru mengajar di kelas VI SD Negeri Rapamanu yang menempati ruangan bekas dapur sekolah. Beberapa murid secara bergiliran maju di kelas dan memperkenalkan nama serta menyebutkan cita-cita. Satu per satu wajah polos anak didik terlihat antusias menyampaikan cita-cita.
Sita mengaku sudah empat kali mengikuti program 1000 Guru. Sebelumnya, ia ikut program ini ke Kupang, Labuhan Bajo, dan Jambi dengan cerita seru yang berbeda-beda.
Cerita pengalaman keseruan juga ada di Jambi. Saat itu, warga Jakarta yang pernah mengenyam kuliah di Semarang ini bersama sukarelawan 1000 Guru tidur di dalam perkebunan sawit. ”Waktu di sana, kalau mau keluar, butuh tiga jam baru sampai atau ketemu aspal. Mana saat itu hujan sehingga mobil harus tarik mobil lainnya. Jalanan berlumpur,” ujar Sita.
Komunitas 1000 Guru adalah sebuah gerakan inspirasi peduli pendidik dan pendidikan anak-anak pedalaman negeri. Komunitas ini digagas Jemi Ngadiono pada 22 Agustus 2012. Dalam perkembangannya, hingga kini 1000 Guru sudah tersebar di 35 kota di 17 provinsi se-Indonesia dengan jumlah anggota lebih dari 300 orang.
Anggota 1000 Guru adalah kaum muda milenial yang hobinya jalan-jalan dan peduli dengan kegiatan sosial dan pendidikan. Mereka mau berbagi dengan anak-anak desa terpencil, tertinggal, dan di pedalaman.
Mereka bertualang menjelajah pelosok negeri yang bertolak belakang dengan suasana kota. Awalnya membentuk komunitas ini karena dirinya sering melakukan perjalanan ke daerah pedalaman. ”Saat di daerah pedalaman, saya prihatin karena banyak anak di sana yang kemampuan baca dan menulis masih rendah. Selain itu, anak-anak juga butuh tambahan gizi dengan pemberian makanan tambahan,” ujar Jemi.
Jemi akhirnya mendirikan Komunitas 1000 Guru karena memiliki pemikiran bahwa berwisata tak melulu soal bersenang-senang. Ada banyak hal yang dapat dilakukan agar wisata lebih bermanfaat. Salah satunya dengan berbagi ilmu kepada anak-anak di daerah terpencil.
Dalam kegiatannya, komunitas ini jalan-jalan sembari melakukan kegiatan sosial. Mereka memilih jalan-jalan sembari peduli pendidikan di daerah terpencil dan pedalaman.
Atas gagasannya mendirikan Komunitas 1000 Guru, Jemi pernah mendapat penghargaan sebagai salah satu dari delapan tokoh Indonesia Game Changer dalam Channel News Asia (CAN). Lewat gagasan membentuk Komunitas 1000 Guru, ia dianggap inspiratif dan dapat membawa perubahan dalam pendidikan dan kerja sosial (sociopreneur) pada Juli 2017.
Di Pulau Sumba ini, 1000 Guru bekerja sama dengan PT Fast Food Indonesia meresmikan perpustakaan dan sarana air bersih di SD Negeri (Parelel) Mata Wee Tame, Dusun Wee Tame, Desa Lolowano, Tana Righu, Sumba Barat.