Kamera Analog yang Merekam Zaman
Pada era digital ini, kamera menjadi semakin canggih. Hasil foto kamera digital makin jernih karena kualitas sensor yang lebih baik. Pemakaiannya pun makin praktis. Namun, kamera analog yang menggunakan film sebagai media rekam masih diminati sebagian orang. Kamera analog ibarat kawan lama yang masih menyenangkan.
”Cklek!” Demikianlah bunyi rana kamera Canon Cannonet G-III QL 17 yang dicoba di tengah lantai tiga Gedung Harco Indah Pasar Baru, Jakarta Pusat, tempat kamera antik itu bersembunyi. Kamera berjenis rangefinder ini pertama kali dikeluarkan Canon pada 1972. Ia tergolong kamera yang laris pada zamannya.
Canon telah lama berhenti memproduksi kamera itu. Untuk mencarinya, orang bisa mendatangi toko-toko kamera lama, seperti di Pasar Baru. Di sana, ada banyak rupa kamera analog dari berbagai merek, seperti Nikon, Yashica, Canon, dan Leica yang termasyhur itu.
Ret Ginting (69) sedang merapikan kamera- kamera itu ke dalam rak di toko bernama Jakarta Camera. Dia adalah pemilik toko tersebut. Ia melakukan jual beli kamera analog sejak dekade 1990-an. Bisa dibilang, Ginting termasuk pedagang lama di Pasar Baru. Kiosnya terbakar pada 1995, tetapi ia bangkit memulai usahanya kembali.
”Dulu saya juga buka studio foto,” kisah Ginting seraya tersenyum lebar. ”Dulu waktu tahun 1985-an itu banyak banget studio foto kecil-kecilan, tetapi sekarang sudah enggak lagi,” katanya. Dia lantas menjadi pedagang kamera.
Usaha Ginting itu sempat lesu ketika kamera digital muncul. Saat itu, ia memilih menyimpan stok kamera analognya, sekaligus mulai menjual juga kamera digital. Ia yakin kamera ”jadul” itu masih punya penggemar.
Dugaan Ginting benar. Belakangan ini, permintaan kamera analog meningkat, terutama dalam dua tahun terakhir. Stok kamera lama Ginting keluar lagi. ”Ini tren sih. Awalnya hanya orang-orang komunitas hobi fotografi analog.
Lama-kelamaan anak-anak muda lainnya juga mencari kamera analog,” ujarnya.
Dimas Ridho Wicaksono, mahasiswa Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, menggeluti kamera analog demi memenuhi tuntutan kuliah. Ia mengambil jurusan fotografi. Dimas kini mengaku sangat suka dengan kamera analog. Alasannya, dia bosan dengan kamera digital yang instan dan tertantang dengan proses pengambilan gambar pakai film.
Rumit
Proses memotret dengan kamera analog ini seru banget. Pemotretnya tidak bisa langsung melihat hasil jepretannya, tetapi harus menunggu sampai satu rol film habis. Umumnya, satu rol film dipakai untuk 24 sampai 36 kali jepretan. Setelah itu, masih ada proses mencuci film, baru hasilnya terlihat. Jadi, harus sabar juga dong.
Proses mencuci film ini rumit, tak semua fotografer bisa melakukannya. Ginting merunut prosesnya. Pencucian film itu dilakukan di ”kamar gelap”, ruangan bercahaya temaram, biasanya berlampu warna merah. Di sana, film direndam dalam cairan pengembang atau developer untuk memunculkan gambar. Setelah itu ada lagi larutan stop bath dan fixer untuk mengawetkan gambar. Sebelum dipamerkan, gambar itu harus dikeringkan terlebih dulu.
Karena prosesnya yang rumit itulah, pengguna kamera analog kerap dianggap lebih menghargai proses fotografi. Setiap foto tercipta dari perhitungan matang. Pengaturan kecepatan, dan bukaan diafragma, berjalan beriringan dengan kejelian merekam momen dan menentukan sudut gambar.
Bagi Fauzan Dimas (20), penggemar fotografi analog, memotret dengan medium film memiliki unsur kejutan. ”Ada usaha lebih buat lihat hasil fotonya, dan bakal ada surprise pas selesai cuci filmnya. Kalau pakai kamera digital kan bisa langsung kelihatan hasilnya,” katanya.
Untuk mulai bermain dengan kamera analog, modalnya tak terlalu besar. Satu kamera analog bisa dibeli dengan harga Rp 200.000, bergantung pada jenis dan kualitasnya. Jika jeli mencari, harganya bisa lebih murah dari itu. Adapun harga satu rol film kurang dari Rp 100.000.
Mencari kamera analog dan film saat ini tak sesulit ketika masa-masa booming kamera digital pada awal dekade 2000-an. Di media sosial juga ada yang menyediakan kamera, film, sampai aksesorinya.
Fauzan menunjukkan beberapa tempat di Jakarta, antara lain di Pasar Minggu, Pasar Baru, Pasar Santa, dan Kemang. Tempat-tempat itu juga menyediakan jasa cuci cetak film. Salah satu kerumitan memotret analog bisa terselesaikan.
Kamera warisan
Saat ini, Fauzan mengaku memiliki tiga kamera analog, yaitu Ricoh F3, disposable camera, dan kamera saku Fuji. ”Kalau yang favorit sih yang Fuji itu. Itu warisan ibu dan masih berfungsi dengan baik,” kata Fauzan yang memilih memotret dengan kamera analog ketika berlibur.
Dianira Amirah Luthfia (16), siswi SMA Negeri 7 Tangerang Selatan, juga memakai kamera warisan. Di rumahnya, ada lima kamera, yaitu Leica M3, Ricoh Gx-1, Olympus Trip 301, Fuji DL-25, dan Polaroid 1500 Land Camera. ”Itu punya nenek dan ayah. Kira-kira belinya waktu ayah masih SMA dulu,” katanya.
Kevin Bennet Haryono (15) juga memotret dengan kamera lawas. Ia pakai kamera analog yang diberikan orangtuanya ketika masih kelas I SD. ”Dulu pakai analog buat motret di acara keluarga atau graduation,” kata Kevin yang kini kelas II SMA St John, BSD.
Daya tahan kamera-kamera kuno ini memang luar biasa. Hasil jepretannya pun dianggap punya cita rasa seni tersendiri. Kalau tertarik, jangan malu pakai kamera bekas. Ya, sekalian mendukung upaya reuse, alias pemakaian kembali untuk mengurangi sampah, bukan?
Magangers Kompas Muda Batch X
Kelompok 8
1. Ikhwan Rhendy Saputro SMKN 6 Kabupaten Tangerang (fotografer)
2. Sirilus Maximilian Maloring SMA Seminari
Mertoyudan, Magelang (grafis)
3. Achmad Lutfi Harjanto SMA Negeri 2 Tangerang (reporter)
4. Vanessa Kristina SMA IPEKA BSD (reporter)
5. Maria Oktaviana SMAN 7 Kota Tangerang Selatan (reporter)