Cerita Kecil dari Festival Sebesar Soundrenaline
Soundrenaline 2018 sudah selesai ketika Limp Bizkit turun panggung dan kembang api berkilatan di langit di atas patung Garuda Wisnu Kencana bernaung, pada Senin (10/9/2018) dini hari. Festival ini memang berlangsung meriah, dengan 70-an penampil di lima panggung “wah”. Namun untuk bisa mencicipi kemewahan itu, para penampil ini mesti menjalani pergulatan panjang. Inilah sebagian kecil kisah mereka.
“Kami Semiotika dari Jambi. Mungkin kalian ada yang belum tahu. Kami band instrumental yang cukup tersingkir,” ujar gitaris Bibing, atau Billy Maulana Hutabarat dari panggung Camp Stage pada Sabtu (8/9/2018). Di hadapannya ada banyak penonton, yang kebanyakan duduk di lantai konblok.
Semiotika tampil sekitar 45 menit membawakan lagu-lagu dari album perdana Ruang, produksi 2015. Mereka juga memainkan lagu baru berjudul “Gelombang Darat” yang dicuplik dari minialbum berjudul sama, yang baru keluar April 2018 lalu.
Permainan mereka bagus, sungguh mirip dengan apa yang terekam di CD maupun kasetnya. Produksi suaranya juga amat baik; tak ada instrumen yang terdengar terlalu menonjol. Band yang terbentuk di akhir 2014 ini baru sekali itu main di festival sebesar Soundrenaline.
Ungkapan “tersingkir” yang disampaikan Bibing barangkali ada benarnya. Jarang terdengar ada band dari Jambi yang berpentas di festival multi genre berskala besar.
Provinsi di tengah-tengah Pulau Sumatera itu sepertinya agak di luar “jalur” singgahan band terkenal, kecuali band pop pasaran. Grup Efek Rumah Kaca saja—yang kini telah jadi patron band independen tanah air—baru pertama kali berpentas di sana pada Juli 2018 lalu.
Walau begitu, kancah musik independen di Jambi tetap hidup. Setidaknya begitulah yang dituturkan pemain bas Semiotika, Riri Ferdiansyah. Menurut Riri, kancah musik di kotanya didominasi band metal dan punk; seperti yang juga terjadi di kota lainnya di luar Pulau Jawa.
Kami bertiga dulu juga punya band metal. Sampai sekarang pun kami masih nongkrong bareng mereka, dan main juga di acara festival metal
“Kami bertiga dulu juga punya band metal. Sampai sekarang pun kami masih nongkrong bareng mereka, dan main juga di acara festival metal. Kami satu-satunya band yang bukan metal,” kata Riri, yang sehari-harinya bekerja sebagai teknisi suara di panggung-panggung musik di Jambi ini.
Pada 2014, Riri, Bibing, dan pemain drum Yudhistira Adi Nugraha alias Gembol memutuskan bikin musik yang berbeda dari teman-teman sekelilingnya. Mereka terpesona dengan aksi band Under The Big Bright Yellow Sun (UTBBYS) dari Bandung yang juga bergaya post rock. “Kalau band dari (pulau) Jawa saja bisa, kami juga bisa,” ujar Riri.
Sejak terbentuk, mereka mengomposisi musik ciptaan sendiri, merekam, dan memproduksi secara swadaya. Mereka sampai berhutang untuk menggandakan 500 keping album perdananya itu. Untuk melunasinya, mereka perlu menggelar acara. Sokongan teman-teman, terutama yang memiliki kafe dan perangkat suara, memungkinan mereka menggelar acara peluncuran album, yang juga mendatangkan UTBBYS dari Bandung.
Patungan
Tak cukup sekali, acara peluncuran album itu dihelat sebanyak tiga kali di tiga kota. Dari Jambi, Semiotika dan UTBBYS melenggang ke Palembang, dan berujung di Pekanbaru, Riau. “Biayanya semua patungan. Kami mendatangkan UTBBYS ke Jambi, lalu band Cigarettes Wedding (Pekanbaru) yang memulangkan mereka,” kata Riri.
Pada 2016, mereka nekat menggelar tur enam kota di Jawa, yaitu Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Solo. Biayanya lagi-lagi patungan. Setiap personil merogoh kocek Rp 2,5 juta. Untuk mengirit transportasi mereka pakai mobil salah satu anggotanya. Setiap tampil, mereka juga menjual kaus dan CD, untuk menambahi ongkos perjalanan.
Tur itu tak terlalu berdampak langsung pada ketenaran mereka di Jambi. Frekuensi manggung pun tetap jarang—tak lebih banyak dari jumlah jari satu tangan. Mereka sempat rehat dari band dan kembali ke pekerjaan masing-masing, sebagai teknisi suara, atau perakit perabotan. Namun, jaringan pertemanan yang bisa berujung pada urusan bisnis telah terjalin.
Nasib baik mendatangi mereka pada 2017, ketika ketiganya kembali ngeband lagi. Iseng-iseng, kata Riri, mereka ikut kompetisi band dengan hadiah manggung di festival South by South West, Texas, AS. Tak dinyana, trio “tersingkirkan” itu menang.
Sponsor kompetisi itu adalah perusahaan yang sama yang menggelar festival Soundrenaline. Semiotika lalu jadi lebih sering diundang tampil di acara mereka, hingga akhirnya berkesempatan menjajal panggung di Soundrenaline 2018.
“Mumpung lagi ada di Bali, kami mau cari gig (pertunjukan kecil) lainnya juga. Ini sudah ada jadwalnya,” kata Riri. Sehari setelah Soundrenaline usai, Semiotika main di acara Secret Monday Gig bersama “band Soundrenaline” lainnya, seperti Bottlesmoker, Heals, Manjakani, dan The Panturas.
Cerita lokal
Alasan yang sama juga diungkapkan Reza Enem, pemain gitar akustik band Theory of Discoustic (ToD) asal Makassar, Sulawesi Selatan. Band beranggota enam orang ini main di Rumah Sanur pada Senin (10/9/2018) ketika sebagian besar penonton Soundrenaline telah beristirahat melepas penatnya nonton konser selama dua hari.
Ini salah satu mimpi kami, yang datang dari Makassar ini, bisa main di Soundrenaline
“Ini salah satu mimpi kami, yang datang dari Makassar ini, bisa main di Soundrenaline,” ucap vokalis ToD, Dian Mega Safitri. Dia lantas sedikit mengangkat kacamatanya lalu mengusap mata kirinya, mungkin kelilipan debu, atau menahan haru. Pentas pertama mereka di festival bergengsi itu berjalan mulus.
Mereka memainkan lagu-lagu dari album La Marupe (keluar April 2018) seperti “To Manurung”, “Badik”, dan “Janci”. Beberapa lagu di album mereka merupakan perpaduan bahasa Indonesia dengan bahasa bugis-makassar, bahasa ibu mereka.
Pemakaian bahasa daerah bukan tanpa alasan. Melalui lirik, ToD menceritakan kisah-kisah yang berkembang di daerah Sulawesi. Lagu “Badik”, misalnya, menceritakan tradisi duel untuk menyelesaikan sengketa tak berkesudahan. Sementara “To Manurung” bercerita tentang manusia yang turun dari kayangan sebagai juru selamat. To Manurung ini dipercaya membawa pembaharuan, tata tertib, kesejahteraan, dan melindungi masyarakat dari konflik.
Kisah-kisah itu diramu lewat instrumen musik modern; drum, bas gitar, gitar elektrik dan akustik, serta bebunyian sintetis dari keyboard. Walau begitu, irama yang dimainkan bukanlah corak musik populer pada umumnya. Nuansa musik tradisi terdengar nyata dari ketukan drum, nada bas, juga cengkok vokal. Formula itu seperti mengembalikan istilah “folk” sebagai “musik rakyat”.
Kisah-kisah itu mereka sarikan dari riset yang cukup panjang. Selain mencari bahan dari literatur, mereka juga mewawancarai beberapa tokoh adat, juga orang tua yang diangap tahu kisah tersebut.
“Produksi albumnya sekitar satu tahun. Sementara untuk risetnya lebih lama, 2,5 tahun,” kata Eca, nama panggilan Reza Enem. Album itu mereka kerjakan secara mandiri; mulai dari pengumpulan materi lirik dan musik, hingga urusan distribusi. Dengan cara demikianlah, karya musik mengantarkan mereka hingga ke Soundrenaline, festival terbesar yang pernah mereka jajaki.
Tuan rumah
Perhelatan Soundrenaline juga tak melupakan band-band Bali sebagai tuan rumah. Tahun ini, ada Navicula yang main di panggung utama, The Hydrants, Scared of Bums, Dialog Dini Hari, Rollerfast, dan Zat Kimia. Nama yang disebut terakhir itu tergolong baru walau ini adalah kali ketiga mereka tampil di Soundrenaline.
Zat Kimia pertama kali main di Soundrenaline 2015 berbekal demo, lewat jalur kompetisi. Kini bekal mereka lebih utuh, yaitu album debut Candu Baru yang dikeluarkan akhir tahun lalu. Proses bikin album itu punya pengorbanan tersendiri buat mereka.
Kami biasanya mencoba-coba lagu yang baru jadi kalau ‘mengamen’ di hotel atau kafe
“Kami biasanya mencoba-coba lagu yang baru jadi kalau ‘mengamen’ di hotel atau kafe,” kata Kiki, atau Nobertus Rizki pemain drum. Istilah ‘mengamen’ itu adalah undangan tampil di luar acara komunitas, dengan set lebih sederhana. Mereka adalah band rock dengan standar bunyi tersendiri.
Kuartet ini mengaku tak banyak mengambil orderan mengamen itu. Sebab, sebagai band, mereka maunya menunjukkan identitas sebenarnya, seperti yang tercitra lewat lagu-lagunya. “Kalau udah sepi betul jadwal manggung, nggak apalah ngamen juga, uangnya bisa buat jajan sehari-hari,” katanya.
Zat Kimia, Theory of Discoustic, dan Semiotika ada di satu festival besar yang juga memanggungkan penampil yang lebih tenar. Pun demikian, mereka masih kebagian penonton juga. Sedikit, atau banyak sepertinya tak terlalu jadi perkara. Toh, band tenar macam Mocca, Seringai, Burgerkill, dan Navicula yang main di panggung berukuran lebih besar pernah mengalami pergulatan seperti mereka.