Kegiatan Mahasiswa Yang Favorit dan yang Megap-megap
Setiap musim penerimaan mahasiswa baru tiba, para pengurus unit kegiatan mahasiswa ikut sibuk bersiasat mencari peminat. Ada UKM yang kebanjiran peminat, ada yang megap-megap.
Sayid Haikhal Luqmanul Hakim, mahasiswa baru Jurusan Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara, tertarik untuk bergabung dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) BVoice Radio. Ini adalah satu dari 46 UKM yang ada di Binus. Kegiatannya seputar siaran radio.
Sayid mendapat informasi soal BVoice Radio dari kegiatan pengenalan kampus. ”Saya mau masuk BVoice Radio karena anggotanya asyik dan program kerjanya seru,” ucapnya, Senin (10/9/2018).
BVoice Radio merupakan salah satu UKM di Universitas Binus yang bergerak di bidang siaran radio. Dia mengetahui informasi tentang UKM ini dari pengenalan kampus yang diadakan rutin setiap tahun. Sayid juga berminat masuk UKM Bersama Dalam Musik (BDM). UKM ini bergerak di bidang seni musik. Lewat UKM ini ia berharap bisa bertemu para musisi.
BVoice Radio termasuk UKM favorit di Binus. Tidak heran setiap tahun UKM ini selalu kebanjiran peminat. Calon anggota baru yang mendaftar tahun ini mencapai 1.100 orang. Padahal, pengurus hanya bisa menerima 70 orang.
Tofan Dwi Kartiko, Ketua UKM BVoice Radio, menceritakan, BVoice kebanjiran peminat karena mampu menyusun strategi promosi yang bagus saat expo, semacam pengenalan kehidupan kampus. BVoice membuat booth yang unik dan menghadirkan bintang tamu. UKM ini juga menggelar kegiatan yang disukai anak muda, mulai dari musik, dance, aksi teatrikal, hingga mural.
Di Universitas Indonesia, Paduan Suara Mahasiswa Paragita masih menjadi UKM terfavorit. Setiap tahun, mahasiswa baru yang ingin bergabung dengan UKM ini cukup banyak. Ini membuat keder Diena Hanifa, mahasiswa baru Jurusan Sastra Perancis Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Pendaftarnya banyak. Kayaknya mahasiswa baru kayak saya rata-rata penginnya masuk ke Paragita. Lihat antrean pendaftar yang panjang saja saya sudah keder
”Pendaftarnya banyak. Kayaknya mahasiswa baru kayak saya rata-rata penginnya masuk ke Paragita. Lihat antrean pendaftar yang panjang saja saya sudah keder. Apalagi pas tahu kalau nanti kami akan ada seleksi suara,” ujarnya.
Akhirnya, cewek mungil ini mendaftar ke UKM Badan Otonomi Pers Suara Mahasiswa UI. Diena merasa cocok dengan Suara Mahasiswa, tetapi ternyata pendaftarnya banyak. Ketika mendaftar, sudah ada 150-an mahasiswa seangkatannya tercatat di komputer pendaftaran. ”Aku enggak tahu bakal diterima apa enggak,” kata Diena.
Kerja keras
Ada UKM yang sampai nolak-nolak calon anggota baru, ada UKM yang megap-megap karena kekurangan peminat. Hal itu dialami belasan UKM dan Wadah Kegiatan Mahasiswa (WKM) di Universitas Prof Dr Moestopo (Beragama) yang mesti kerja keras sekadar untuk menggaet beberapa peminat. Umumnya yang sepi peminat adalah UKM dan WKM yang menggeluti bidang spesifik.
Jansen, anggota UKM Agrawitaka, organisasi mahasiswa pencinta alam, menceritakan, jumlah pendaftar hingga mahasiswa yang lolos menjadi anggota dari tahun ke tahun berkurang. Kondisi itu terjadi dari tiga tahun lalu. Pada 2015, misalnya, dari 17 pendaftar, hanya satu orang yang menjadi anggota. Pada 2016 meningkat menjadi delapan anggota dari 25 pendaftar. Akan tetapi, pada tahun 2017 kembali turun menjadi empat anggota dari 24 orang.
”Minat mahasiswa di UKM itu semakin berkurang. Paling yang banyak disukai itu (UKM) untuk tipe milenial, seperti fotografi dan musik. Saya sudah bilang dari dulu, kalau kondisinya kayak begini terus, bisa-bisa nanti kosong nih UKM,” tuturnya.
Oleh karena itu, tambahnya, dirinya dan rekannya mengubah taktik dan strategi penerimaan anggota. Selain bermain di dunia digital untuk memperkenalkan organisasi dan dunia pencinta alam, mereka juga mengubah pola perekrutan. Jika dulu untuk menjadi anggota butuh waktu satu tahun, sekarang bisa dalam waktu enam bulan atau lebih cepat.
Saking menurunnya minat mahasiswa berorganisasi, beberapa mahasiswa yang resah atas kondisi ini membentuk forum. Mereka menyebutnya Forum Mahasiswa Moestopo Satu atau Formassa. Di sini, mereka berusaha untuk membuka ruang-ruang diskusi baru yang lebih cair dan seru untuk memantik kekritisan mahasiswa.
Mahasiswa sekarang didoktrin jadi mesin. Kami mau mahasiswa tetap kritis dengan berbagai cara, mengerti isu dan kondisi terkini dan terus mau berorganisasi
Aldair Laurentius, penggerak forum ini, menuturkan, mereka rutin melakukan diskusi setiap minggunya di pelataran kampus. Pesertanya adalah mahasiswa-mahasiswa yang resah atas kondisi kampus yang begitu-begitu saja. ”Mahasiswa sekarang didoktrin jadi mesin. Kami mau mahasiswa tetap kritis dengan berbagai cara, mengerti isu dan kondisi terkini dan terus mau berorganisasi,” ujarnya berapi-api.
Komunitas Pojok Sastra di Universitas Multimedia Nusantara juga megap-megap karena kekurangan peminat. Pojok Sastra adalah komunitas penggemar sastra dan literatur bagi mahasiswa. Kegiatannya antara lain berdiskusi tentang hal umum. Topik yang diangkat biasanya tentang hal umum.
”Awal-awal kami diskusi tentang toleransi beragama, Pancasila, ngomongin filsafat, budaya, ya, seputar itu,” ujar pendiri Pojok Sastra, Yudisthira Swarabahana. Pojok Sastra juga menargetkan peluncuran buku setiap satu semester. Buku yang sudah diluncurkan berjudul Mahasiswa Sebait Lagi. Isinya puisi dan ilustrasi karya mahasiswa.
Belakangan kegiatan Pojok Sastra tersendat-sendat karena anggota komunitas ini tidak memiliki semangat yang sama. Anggota Pojok Sastra setiap minggunya berkurang. ”Sampai akhirnya cuma tersisa gue sama anak-anak BPH. Batal deh jadi UKM tetap,” tambah Yudis, panggilan akrabnya.
Yudis menceritakan, kegiatan Pojok Sastra dianggap berat. Mahasiswa yang menjadi partisipan jadi minder karena topik diskusinya berat.
Selain itu, lanjut Yudis, ada persepsi yang salah tentang komunitas itu. Banyak yang berpikir kegiatan literasi dan sastra itu cocoknya ”buat yang cupu-cupu gitulah, kutu buku”.
Fifi Harahap, satu mantan anggota Pojok Sastra, menyayangkan pembubaran Pojok Sastra. ”Padahal, seru banget. Diskusinya juga seru, topiknya bagus-bagus. Tapi, ya, selera orang, kan, beda-beda, ya,” kata mahasiswi Jurusan Komunikasi ini.
Sebetulnya Fifi salah satu anggota yang bertahan lama dan mengikuti Pojok Sastra sejak awal didirikan. Ia juga ikut aktif membuat buku Mahasiswa Sebait Lagi. Pada akhirnya, ia juga harus meninggalkan Pojok Sastra karena sibuk dengan kegiatan lain yang diikutinya, Mapala.
Pengurus Pojok Sastra akhirnya memutuskan untuk menyudahi kegiatan itu. Meski begitu, Yudis tidak menyerah. Ia tetap menyalurkan ide besar Pojok Sastra di luar kampus dengan nama baru, Same Old Shit, yang digelar di kedai kopi di daerah Tangerang, Banten. (*/**)