Mahasiswa Baru dan Orangtua yang Tak Rela
Kuliah perdana di tempat yang jauh selalu dan menjanjikan banyak pengalaman. Tidak sedikit orangtua yang sama deg-degan dan excited-nya dengan sang anak. Mereka bela-belain meluangkan waktu untuk jauh-jauh mengantar. Padahal, di satu sisi, menginjak bangku kuliah artinya menuntut kemandirian dan tanggung jawab yang lebih.
Masa awal perkuliahan merupakan masa transisi yang cukup besar dihadapi oleh siswa SMA yang akan melanjutkan perjalanan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Awal tahapan ini merupakan masa-masa penyesuaian. Inilah masa dimana rasa deg-degan, excited, maupun takut bercampur menjadi satu.
Sama bahagiaaya dengan sang anak, orangtua juga tidak ingin ketinggalan. Mereka rela mengantar jauh-jauh untuk anak tersayang. Meluangkan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Jauh dari kampung halaman, orangtua mengantar dengan tujuan memastikan sang anak tiba dan bisa berkuliah dengan lancar.
Fahrul Rasyid (19), mengenang, persis setahun lalu adalah kali pertama saat dia datang ke Bandung untuk kuliah di Universitas Telkom. Dia adalah lulusan SMA di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, sekitar lima jam berkendara dari Makassar. Diantar kedua orangtuanya, mereka bertiga berangkat ke Makassar, sebelum terbang ke Jakarta. Tidak hanya sampai di bandara, namun orangtuanya juga ikut Sampai ke Bandung.
“Nginap sehari di Makassar, terus terbang ke Jakarta. Dari Jakarta terus naik travel ke Bandung. Lalu ke daerah kampus. Mama sama Bapak yang antar. Saya sudah larang, tapi karena baru pertama kali ke sini (Bandung) ya tidak apa-apalah,” ucap mahasiswa semester tiga ini, Jumat (14/9/2018).
Kedua orangtuanya menginap selama dua hari di kota kembang ini. Mereka bertiga menginap di hotel dekat kampus. Setelah memastikan anaknya masuk asrama dan memulai perkuliahan, mereka pulang ke kampung, dan masuk kerja kembali.
Menurut Fahrul, dia antara malu tetapi tidak tega melarang orangtuanya untuk ikut mengantar. “Soalnya ada teman yang lulus juga, tetapi berangkat sendiri. Sebenarnya bisaji juga kalau berangkat sendiri. Tapi biarmi, sekali iniji juga,” tambahnya.
Dari pengalaman itu, dia berpendapat, kekhawatiran orangtua dengan mengantar anak jauh-jauh tidak lah berlebihan. Dia menganggap itu salah satu bentuk ksaih sayang orangtua agar anaknya bisa belajar dengan nyaman, sekaligus bisa berpisah sementara dengan tenang.
Pengalaman hampir sama dialami Astry Sihombing dan adiknya, Krystin Sihombing (19). Astry, mahasiswi Universitas Brawijaya, anak sulung di keluarganya menceritakan kilas balik menghadapi masa awal perkuliahan. Dia yang bermukim di Medan, harus kuliah di Kota Malang.
Astry pun menceritakan, kedua orang tuanya bersikeras untuk mengantar Astry mengawali awal perkuliahannya. “Waktu itu mama dalam kondisi tidak bisa mengantar karena tidak mendapatkan cuti dari pekerjaan. Akhirnya ya cuma papa yang bisa antar, dan papa juga tidak bisa naik pesawat. Jadinya, papa naik jalur darat dulu dari medan sampai surabaya terus aku susulin naik pesawat dan ketemuan di Surabaya terus sama-sama ke malang,” ceritanya.
Hal yang dirasakan Astry ketika orang tuanya mengantarkan dirinya memasuki bangku perkuliahan adalah ia merasa disayang dan diperhatikan. “Soalnya kan itu tandanya mereka juga pengen tahu dimana anaknya kuliah dan tinggal,” tuturnya.
Astry pun mengungkapkan bahwa ada manfaat yang didapatkan apabila kuliah diantar mamah yakni setidaknya saat menghadapi hal baru yakni bangku perkuliahan setidaknya ia tidak merasa sendirian dan merasa aman dan nggak begitu takut menghadapi hal-hal baru.
Setelah diantar oleh ayahnya selama 3 hari di Kota Malang akhirnya, ayahnya kembali ke Medan melalui jalur darat. Kini, Astry yang sudah duduk di jenjang akhir bangku perkuliahan mengaku sudah biasa saja setelah tidak lagi diantar orang tuanya.
“Soalnya kan memang momen pertama kali merantau itu yang bikin deg-degan dan merasa butuh ditemani orang tua. Setelah itu kita bakalan udah terbiasa sendiri. Malah kalo tiap balik Malang dianter terus ya rugi di ongkos dan seperti anak-anak banget,” ceritanya.
Berbeda dengan adiknya yang lulus di Universitas Gadjah Mada, Yogjakarta. Sang adik diantar ibu yang kebetulan sedang ada tugas kantor di kota yang sama. Sambil menunggu masa perkuliahan, Krystin ikut kegiatan ibunya di hotel selama beberapa hari.
Masih sulit berpisah
Tahun 2013, majalah terkenal dari Amerika Serikat, Time, menerbitkan laporan utama berjudul The Me Me Me Generation, atau Generasi Aku Aku Aku. Laporan ini menelaah tentang generasi milenial dengan beragam sematannya. Di antaranya, generasi narsis, gila gadget, dan manja. Meski laporan ini juga menimbulkan pro kontra, tetapi beberapa hal di dalamnya sedikit banyak menjembatani gagap generasi yang banyak disalahpahami orang.
Selain narsis dan gila gadget, generasi milenial, atau generasi setelahnya, juga dianggap manja. Sebabnya, masih banyak dari generasi baru ini yang bergantung kepada orangtua saat umur mereka sudah dianggap dewasa dan mandiri.
Kenyataannya, fenomena ini berkelindan dengan semakin tingginya rasa was-was dan kecemasan orangtua. Semakin maraknya kejahatan, banyaknya berita dan informasi sesat di media sosial, acap kali menimbulkan kegaduhan dan merembes pada kekhawatiran berlebihan.
Di sisi lain, semua orangtua ingin memastikan anaknya baik-baik saja, terlindungi, dan mengetahui detil kegiatan anak. Terlebih ketika anak harus pindah ke tempat jauh.
Di kampus-kampus, tidak sulit menemukan begitu banyaknya calon mahasiswa yang diantar orangtua dari awal sampai akhir. Sejak registrasi, tes, hingga kuliah perdana, orangtua selalu ikut serta. Orangtua ini baru merasa tenang ketika anak mereka telah duduk dengan tenang, tidur di tempat yang nyaman, dan memiliki pergaulan yang baik.
Qolbi (18), mahasiswi baru di universitas swasta di Bandung menceritakan, sebulan kuliah di Bandung, orangtuanya rutin menelepon setiap hari. Dari pengalaman di ruang kelas, teman-teman di kampus, hingga pertanyaan remeh temeh ditanyakan ayah atau ibunya.
“Kemarin sempat sakit, Bapak sudah mau datang. Terus bilang, kalau tidak tahan pulang saja. Seminggu pertama nangis terus pokoknya,” ucap remaja dari Sulawesi Selatan ini.
Saat pertama datang ke Bandung, cerita Qolbi, kedua orangtuanya malah tidak datang mengantar. Alasannya, mereka terlalu sedih saat harus mengantar sampai ke Bandung. Seorang tante dan sepupunya yang ditugaskan untuk mengantar sulung tiga bersaudara ini untuk memulai langkah kuliahnya.
Setelah menjalani beberapa lama, dia merasa mulai bisa beradaptasi, dan tidak tergantung lagi ke orangtua. “Sekarang sudah mandiri. Sudah dewasa juga to,” tuturnya.
Kemandirian itu harus dipupuk dan dibiasakan. Sebab, mahasiswa, dan generasi muda adalah harapan masa depan bangsa. Seperti kata Romo Mangun (Y.B Mangunwijaya), dalam Kata-Kata Terakhir Romo Mangun, yang optimis dengan generasi muda. “Ya, hanya dari generasi mudalah dapat timbul perbaikan fundamental. Tapi, apakah generasi muda kita yang sudah terlanjur manja, hedonis, konsumeristik, hanya cari karier serta sudah diindoktrinasi selama puluhan tahun - agar takut berpikir sendiri, agar apolitis, mampu untuk membuat perubahan mendasar? Jawabannya tak diragukan. Bisa dan mampu!” (*)