Samahita, Gerakan Lantang Tanpa Kekerasan dan Pelecehan
Oleh
Saiful Rijal Yunus
·5 menit baca
Seperti namanya, Komunitas Samahita bergerak bersama untuk mencegah pelecehan dan kekerasan terjadi saat pacaran. Anak-anak muda ini ”bergerilya” lewat beragam medium agar semuanya kuat dan kekerasan tidak berulang. Mereka ingin menekankan bahwa tidak ada tempat untuk kekerasan dan pelecehan seksual kepada siapa saja.
Suatu waktu, seorang remaja perempuan datang untuk memeriksa kondisinya di klinik. Wajahnya babak beluk. Dia baru saja mendapatkan perlakuan sangat buruk dari pasangannya. Putri Widi Saraswati (29), dokter yang memeriksanya, berusaha mencari informasi lebih dalam. Dia menggali keterangan dari sang pasien, menyelami ceritanya, dan mendapatkan cerita utuhnya. Setelah berbincang dan mengedepankan empati, dokter muda ini juga memberi kontak komunitasnya, tempat dia bergabung setahun terakhir. Namanya Samahita.
”Kami mencoba menawarkan bantuan agar korban kekerasan bisa keluar dari lingkaran setan dan bangkit kembali menjalani hidup yang lebih baik. Dari situ kami dampingi, ngasih masukan, pertimbangan,” cerita Putri, Rabu (12/9/2018) di Bandung, Jawa Barat.
Putri, koordinator pendampingan di Samahita, intens memberikan pendampingan kepada gadis tersebut. Bersama beberapa rekannya di divisi pendampingan, dia rutin menyediakan waktu untuk berbincang, menelaah kasus, serta tentunya mencari solusi. Mereka mendampingi ke psikolog, juga ke ranah hukum.
”Kalau saya dulu tidak pernah gabung di Samahaita, mungkin (kasus) kayak gini lewat aja. Sebagai dokter, saya bertanggung jawab di dalam ruangan, tetapi saya merasa perlu untuk berbuat sesuatu di luar,” katanya.
Sejak awal tahun ini, Putri bergabung bersama Samahita. Dia tertarik dengan isu feminisme, dan pencegahan kekerasan serta pelecehan dalam hubungan. Dari mengikuti kelas jender, menjadi sukarelawan, mengikuti beragam diskusi, dan kegiatan di komunitas, pengetahuannya bertambah. Dia bisa belajar lebih berempati, dan melihat sesuatu dari perspektif yang luas.
Menurut dia, hal ini sangat membantu dirinya dalam kehidupannya. Tidak hanya sekadar memeriksa orang di dalam ruangan, tetapi juga menyebarkan ilmu dan bantuan hingga di luar ruang. Apalagi, masih begitu banyak orang yang tidak sadar menghakimi korban kekerasan dan pelecehan seksual, baik pria maupun wanita, baik dari profesi mana pun.
Putri adalah salah satu dari relawan yang kemudian menjadi pengurus Samahita. Bersama belasan pengurus lainnya, mereka menjembatani kebutuhan korban dengan solusi. Mereka mendengarkan cerita korban, mendampingi ke psikolog, memeriksakan kesehatan, serta menemani ke ranah hukum. Namun, dengan semua bantuan yang ditawarkan, mereka menyerahkan semua keputusan ke tangan korban.
Banyak beraksi
Samahita adalah komunitas yang bergerak pada isu kesetaraan, dengan pisau bedah feminisme. Anggotanya adalah anak-anak muda di Bandung, dengan fokus pada anak muda juga. Pengurusnya 14 orang dengan puluhan relawan. Namun, dibandingkan sekadar diskusi, kegiatan mereka jauh lebih banyak beraksi. Mereka membuka ruang-ruang diskusi, kelas jender, dan kampanye tentang pentingnya kesetaraan agar tidak timpang.
Kegiatan mereka lebih fokus pada kasus kekerasan dalam pacaran. Sebab, hal ini sangat jamak terjadi, baik itu disadari maupun tidak. Kekerasan sangat massal terjadi dan orang-orang seakan memaklumi. Kekerasan dalam pacaran yang mereka maksud terbagi dalam berbagai kategori, seperti fisik, psikis, verbal, ekonomi, digital, dan seksual.
Cikal bakal Samahita lahir sejak lima tahun lalu. Saat itu, beberapa orang menginisiasi kampanye gerakan One Billion Raising (OBR). Gerakan ini didirikan oleh Eva Ensler yang bertujuan mengakhiri pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan. Kata billion sendiri merujuk pada statistik PBB bahwa satu dari tiga wanita menjadi korban kekerasan dan pelecehan selama hidup. Dengan kata lain, ada sekitar 1 miliar perempuan yang menjadi korban.
Ressa Ria Lestari, dan rekan-rekannya adalah inisiator gerakan OBR di Bandung. Meski awalnya segelintir, mereka berkampanye di depan Gedung Sate Bandung. Tiga tahun berturut-turut Icha, panggilannya, melangsungkan kampanye itu bersama rekan-rekannya. Pesertanya dari lima orang hingga puluhan. Dari situ, mereka lalu tergerak untuk membuat gerakan yang lebih konsisten.
”Kami lalu bikin Dialog Sore. Diskusi terbuka untuk umum dengan tema macam-macam, dari perkenalan dengan isu kesetaraan, juga bagaimana siklus kekerasan terjadi di hal yang paling kecil, seperti pacaran. Dan selalu ada korban yang berusaha speak up,” kata Icha.
Dialog Sore berlangsung setiap bulan. Lokasinya tidak menentu. Namun, dari situ, banyak hal yang mereka temukan dan lalu kembangkan. Korban mulai berani berbicara. Mereka juga mulai sadar ketimpangan relasi kuasa. Perempuan ataupun laki-laki.
Pada 2015, Icha dan rekan-rekannya menginisiasi kampanye tahunan dan diskusi bulanan itu menjadi sebuah wadah gerakan bersama. Mereka lalu sepakat menamai wadah mereka dengan nama Samahita. Nama itu dipilih karena berarti tegar dan kuat dalam bahasa Sansekerta, sesuai dengan tujuan mereka saling menguatkan. Dalam bahasa Batak, Sama dan Hita berarti bersama kita. Slogan mereka adalah ”Speak Up Stay Strong”.
Selain diskusi bulanan, Samahita juga fokus pada kampanye, edukasi jender, dan pendampingan korban. Mereka juga mengadakan kelas jender yang berlangsung selama beberapa kali pertemuan. Kelas jender kedua diadakan September ini hingga Oktober mendatang. Materinya beragam, seperti membahas sistem patriarki, rape culture, dan kejahatan seksual. Kelas ini diadakan secara gratis untuk sukarelawan yang mendaftar. Hingga awal September telah ada 35 orang yang dipilih dari 60 orang yang mendaftar.
”Kami menyeleksi sukarelawan karena kami di sini pisau analisisnya kan kajian feminis, jadi harus satu pikiran. Apalagi kami ingin korban bisa bersuara, laki-laki dan perempuan sebab kekerasan itu terjadi karena ada relasi kuasa yang timpang. Dampaknya sangat panjang, dan bisa berujung sampai kapan pun jika tidak diselesaikan,” ujar Icha.
Samahita memfokuskan diri pada rentang umur 15 tahun hingga 30 tahun. Di usia ini, pacaran menjadi hal yang dialami hampir semua orang, tetapi dengan pemahaman relasi yang kurang. Akibatnya, kekerasan marak terjadi. Korban bisa terus berada dalam lingkaran kekerasan, dan berpeluang terus menjadi korban, atau menjadi pelaku suatu saat nanti.
Untuk lebih meningkatkan kesadaran banyak orang, komunitas ini juga menggagas Festival Berani Bicara. Ajang yang akan diadakan pada 12-14 Oktober ini berisi beragam diskusi, pementasan, dan juga pameran. Icha menambahkan, ”Goals-nya ingin meningkatkan kepedulian, juga kesepahaman dengan isu ini.”