Gerkatin Solo, Komunitas yang Mengajarkan Bahasa Isyarat untuk Semua Orang
Oleh
Soelastri Soekirno
·4 menit baca
Dulu, bahasa isyarat seolah hanya untuk warga tuna rungu. Seiring perjalanan waktu, mereka yang bukan tuna rungu merasa perlu mempelajari bahasa isyarat. Kata mereka, bahasa isyarat memudahkan komunikasi.
Besarnya minat orang yang bukan tuna rungu untuk belajar bahasa isyarat nampak di salah satu kawasan di arena hari bebas berkendaraan bermotor (CFD) di Jalan Slamet Riyadi, Solo pada Minggu (23/9/2018). Puluhan remaja lelaki dan perempuan yang bisa mendengar, mempraktikkan bahasa isyarat. Mereka bergantian menggerakkan jari-jemari diikuti gerak tubuh dan aneka ekspresi yang menandakan antar mereka tengah berbincang.
Pada hari dan tempat yang sama, warga tuli anggota komunitas Gerakan untuk Kesejahteraan tuna rungu Indonesia atau Gerkatin cabang Solo sedang mengadakan perayaan Hari Bahasa Isyarat Internasional 2018. Temanya adalah “Dengan Bahasa Isyarat Semua Orang Terlibat”. Sesuai tema, banyak orang dari berbagai kalangan terlibat dalam perayaan tersebut baik orang tuna rungu maupun bukan.
Untuk memudahkan komunikasi antar orang tuli dan antara orang tuli dan orang dengar, sejak lebih dari lima tahun lalu, Gerkatin Solo memasyarakatkan bahasa isyarat. Caranya, antara lain, setiap hari Minggu mereka hadir di arena CFD untuk memberi pembelajaran bahasa isyarat secara gratis kepada siapa saja yang berminat. Upaya itu membawa hasil, setiap Minggu selalu ada warga dengar yang datang ke gerai Gerkatin untuk mulai belajar bahasa isyarat.
Mereka yang ingin belajar lebih intens, mereka disarankan belajar di kampus Universitas Sebelas Maret Surakarta dengan membayar. “Jumlah orang yang belajar bahasa isyarat terus bertambah. Yang belajar privat di kampus bisa 6-8 orang,” ujar Ketua Gerkatin Solo Aprilian Bima Purnanta (23) yang merupakan tuna rungu.
Ketika Bima, begitu panggilannya, tengah menceriterakan kegiatan organisasi yang ia pimpin, di belakangnya beberapa anak muda lelaki dan perempuan sedang mencoba belajar bahasa isyarat sambil lesehan. “Pengajarnya kawan saya, teman tuli,” jelasnya.
Soal penting
Pemasyarakatan bahasa isyarat kepada semua kalangan menjadi persoalan penting baik bagi orang tuli maupun orang dengar. Pasalnya, lewat kemampuan bahasa isyarat-lah, dua belah pihak bisa mengobrol secara intens. Itu sebabnya Gerkatin Solo yang beranggotakan 66 orang terus menggencarkan program itu.
Bisa dikata, Gerkatin Solo yang memulai gerakan belajar bahasa isyarat kepada semua kalangan. Setelah itu, gerakan ini diikuti kota lain seperti Jakarta.
Bima dan keluarganya mendapat keuntungan dari pembelajaran itu. Pemuda yang kini menjadi mahasiswa Program Studi Seni Rupa Murni Fakultas Seni Rupa dan Desain Universitas Sebelas Maret Surakarta tersebut sebelumnya hanya bisa membaca gerak bibir sang ibu.
“Sebelumnya saya hanya bisa berbahasa Jawa. Sejak saya, ibu dan adik belajar bahasa isyarat jadi lebih mudah berkomunikasi tapi saya ibu dan adik masih taraf belajar,” sambungnya.
Ischol, warga dengar juga mengaku mendapat banyak manfaat dari kemampuannya belajar bahasa isyarat. “Saya lebih bisa intens berkomunikasi dengan mereka yang tuli, terutama dengan adik saya dan teman-teman pengurus Gerkatin,” tutur gadis yang menjadi penerjemah percakapan antara Kompas dengan Bima.
Warga lain, Tita senang bisa lebih sering mengobrol. Tita, warga dengar yang baru lulus kuliah mengaku belajar bahasa isyarat setelah melihat teman-temannya di SMA bercakap dengan bahasa isyarat di sekolah. Ia lalu ikut belajar dari temannya.
Makin banyaknya orang dengar bisa berbahasa isyarat menyenangkan hati Puput, remaja tuli yang sekolah di SMP Luar Biasa Solo. “Saya makin punya banyak teman ngobrol dan bisa bercerita kepada orang lain. Dulu saya lebih sering diam karena tak punya teman yang bisa berbahasa isyarat,” kata Puput.
Teman orang tuli
Selain terus kampanye pembelajaran bahasa isyarat, Bima dan kawan-kawan juga aktif mengadakan program lain, misalnya latihan teater dan belajar bahasa Indonesia sebab sebagian dari mereka merasa belum menguasai bahasa Indonesia dengan baik.
Gerkatin tak sendirian. Ada organisasi bernama Deaf Volunteering Organization (DVO) yakni kumpulan volunter yang bergerak dalam bidang tuli. Menurut Rully Anjar Arifianto (28), pendiri DVO, organisasi yang didirikan tahun 2011 itu bertujuan menemani anggota Gerkatin dalam melakukan kegiatan. Rully yang bisa bahasa isyarat setelah belajar dari orang tuli seperti Bima kerap kali menjadi penerjemah bagi orang tuli yang harus beraktivitas di luar lingkungan mereka.
Ia menegaskan, DVO adalah teman orang tuli dan kedudukannya setara. Meski alumnus Program Studi Pendidikan Luar Biasa Fakultas Pendidikan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta ini kini sudah pindah ke Jakarta dan menjadi penerjemah program berita di beberapa televisi, tetapi kepengurusan selanjutnya tetap berjalan.
Sebanyak 10-15 anggota DVO yang kini dipimpin Nugraha Rangga terus menemani anggota Gerkatin dalam beraktivitas, sebab ada urusan yang membutuhkan pendampingan orang dengar. Urusan izin mengadakan kegiatan di instansi pemerintah umpamanya, perlu penerjemah. Atau, saat anggota Gerkatin harus ikut ujian praktik di kampus sebagai bagian dari tes masuk perguruan tinggi.
“Kami menemani mereka ke sana,” kata Nugraha. Kini tiga anggota Gerkatin Solo tengah belajar di tiga perguruan tinggi berbeda, yang lain masih bersekolah.