Sycronize Fest 2018 Jadi Muara Selera Musik Indonesia
Minggu (7/10/2018) sore yang cerah dan gerah, grup rap Manumata tampil di panggung kecil bernama XYZ Stage. Letak panggung itu paling dekat dengan gerbang masuk, namun lokasinya agak tersembunyi—di balik bangunan yang dipakai sebagai toko pernak-pernik, bersisihan dengan panggung dalam ruang, Gigs Stage.
Penonton Manumata awalnya sepi-sepi saja, tapi lama-kelamaan lumayan ramai juga walau masih menyisakan ruang leluasa. Di panggung dengan panjang sekitar 4 meter itu, ada empat bocah—tiga laki-laki, satu perempuan—dengan jaket hitam bertudung kepala. Di belakang mereka, ada remaja laki-laki yang berperan sebagai disc jockey.
Ya, Manumata adalah kelompok rap belia. Bisa dibilang mereka adalah penampil paling muda di antara 118 penampil yang beraksi di Syncronize Fest 2018 sejak Jumat (5/10/2018) di arena Gambir Expo Kemayoran, Jakarta Pusat. Mereka juga “utusan” paling jauh dalam ajang festival musik nasional tahunan kali ini, yaitu dari Kota Ambon, Maluku.
Manumata, yang berarti atap rumah dalam bahasa ambon, beranggota Ever Riry (14), Jho Petrusz Riry (13), Oscar Lena Riry (12), dan Uthe Riry (12). Mereka terbentuk sejak 2012, karena sering menonton acara adu nge-rap di jalan-jalan Kota Ambon.
Walau bersilat lidah bergaya rap, lirik lagu mereka tak seperti besutan para rapper dewasa, yang identik dengan protes sosial hingga kekerasan. Mereka justru bercerita perihal keseharian mereka. Dalam lagu “Lapar”, misalnya, mereka cerita tentang betapa laparnya setelah seharian di sekolah. Haha, itu kita banget ya."
Mereka tampil selama sekitar 45 menit. Selain “Lapar”, mereka juga membawakan lagu “Pata Pena”, yang bercerita tentang semangat melanjutkan sekolah walau kondisi sulit. Lagu itu diciptakan Eros, seorang rapper kawakan di Kota Ambon, yang membentuk dan melatih mereka.
“Waktu itu saya coba mereka untuk nyanyi lagu anak-anak dengan beat cepat, dan ternyata bisa. Langsung saya ajak latihan. Dalam hitungan bulan, saya sudah ajak mereka keliling tampil di Kota Ambon,” kata Eros, yang kini jadi manajer bagi keempat bocah lucu itu.
Eros benar. Penampilan mereka sore itu membuktikan bahwa keempatnya jago merepetkan kata-kata dalam kecepatan mengagumkan. Liriknya yang “lugu” dapat memancing senyum para penonton. Mimik Jho, bocah yang badannya paling kecil, itu meyakinkan banget sebagai rapper. Matanya sering dipicing-picingkan sebelah, dan ayunan tangannya selaras dengan beat.
Ekosistem musik
Kehadiran Manumata ini seperti meneruskan tradisi Synchronize yang berusaha memunculkan talenta baru di bidang musik. Tahun lalu, ada penampil belia lainnya, yaitu grup metal Voice of Baceprot yang tiga personilnya masih bersekolah di salah satu SMK di Kabupaten Garut, Jabar.
“Kami memang bertekad menciptakan ekosistem musik dari penyelenggaraan festival. Ekosistem yang baik adalah yang bisa memunculkan regenerasi pelakunya,” kata David Karto, Direktur Festival sekaligus penggagas acara ini. Makanya, sejak awal David beranggapan bahwa festival ini bukan sekadar pesta musik, melainkan juga pergerakan.
Pergerakan itulah yang kini terlihat begitu besar. Pergerakan itu tak cuma jadi monopoli pemusik yang bergerilya di jalur independen, melainkan juga melibatkan pemusik-pemusik arus utama. Di festival ini, membedakan band indie dan band mainstream seperti tak lagi relevan. Penonton tak terlalu peduli lagi dengan dikotomi itu.
Penggemar band pasaran seperti Sheila on 7, bisa jadi juga menggemari musik cadas Seringai. Itu terlihat pada hari kedua, Sabtu malam. Sheila on 7 tampil bernas di panggung utama Dynamic Stage pukul 21.45. Di panggung sebelahnya Seringai tampil setengah jam kemudian, ketika Duta dan kawan-kawan belum turun panggung. Dua band yang seolah beda kubu ini tampil berbarengan.
Tepat ketika Sheila on 7 kelar, Seringai sedang memulai lagu andalan mereka, “Mengadili Persepsi”. Arena Lake Stage, tempat Seringai menggila, sontak tambah ramai dengan kehadiran “penumpang baru” dari arena sebelahnya. Mereka tak cuma sekadar melihat-lihat, tapi juga ikutan meneriakkan “Individu, individu merdeka” bersama-sama. Penyuka Sheila on 7, band yang ngepop itu, juga ngeh dengan lagu Seringai.
Pertunjukan banyak band beraneka genre dengan jadwal beririsan kini menimbulkan “kegemasan” bagi penonton. Penonton yang kini tak bisa lagi digolongkan sebagai penyuka genre tertentu saja. Asupan aneka ragam musik yang semakin mudah membuat konsumen musik bisa menyukai banyak genre sekaligus.
“Gue abis ini mau nonton Clubeighties. Udah lama nggak lihat mereka manggung,” kata Candra Handityo (23) yang ketika ditemui sedang menuju ke arena panggung Godbless, legenda rock Indonesia itu. Candra yang pakai kaus band britpop The Smiths itu rupanya juga penyuka pop new wave besutan Clubeighties.
Obat rindu
Ajang Synchronize juga menjadi pengobat rindu pada band-band yang lama absen, seperti Southern Beach Terror maupun Seek Six Sick. Kedua band itu berasal dari Yogyakarta, dan aktif di kancah musik lokal sekitar sepuluh tahun lalu. Mereka mungkin tak terlalu terkenal, namun karya-karyanya menjadi acuan bagi pemusik sekarang.
Southern Beach Terror, misalnya, memainkan surf rock dengan agresifitas ala punk. Belakangan, band-band baru mulai memainkan lagi irama surf rock, misalnya band The Mentawais, dan The Panturas. Sementara jejak psikadelik dalam alunan noise rock dari Seek Six Sick banyak ditemui di band-band rock seperti Zat Kimia dan Feast—keduanya tampil di festival tahun ini.
Seek Six Sick dan Southern Beach Terror meneror penggemarnya di panggung kecil tertutup Gigs Stage. Suasana di dalam ruangan itu begitu bising dan pengap. Arena yang kecil dan tanpa stage malah menghadirkan romansa pertunjukan kecil swadaya komunitas (do it yourself): mandi keringat, bertubrukan, hingga rebutan mikrofon.
Muara dari “kerumunan kecil” aneka genre musik itu adalah panggung besar tempat band berlabel “legendaris” beraksi. Pada hari pertama, band pop Naif adalah muaranya. Malam kedua menjadi milik Godbless serta Rhoma Irama dan Soneta. Sedangkan di hari terakhir, penonton berbaur di hadapan Nasida Ria, Shaggydog, Jamrud, Padi Reborn, dan reuni Dewa 19.
Kualitas penyelenggaraan festival besutan Demajors Independent Music Industry dan Dyandra Promosindo ini tetap terjaga. Penampilnya bertambah banyak; dari 102 penampil jadi 118 di tahun ini. Fasilitas juga dibenahi, seperti penyediaan panggung untuk menonton bagi rekan berkebutuhan khusus. Semoga keriaan ini tetap ada di tahun politik 2019 nanti.