Apa yang Dikatakan Rhoma Irama dan Simon Raymonde Soal Musik?
Musik tak cuma asyik didengar dan ditonton aksi panggungnya. Musik tetap menyenangkan ketika dibicarakan. Kira-kira, begitulah yang tersaji selama tiga hari perhelatan Archipelago Festival 2018 pada 11-13 Oktober di Jakarta Selatan. Di acara ini kita bisa tahu sulitnya mengurusi label rekaman, hingga hujan batu di konser Rhoma Irama.
“Dulu dangdut versus rock itu adu mulut sampai (adu) fisik. Band rock kalau manggung disambitin sama dangduters, sebaliknya juga gitu,” kata Rhoma Irama yang jadi salah satu pembicara di sesi konferensi, Minggu (13/10/2018).
Rhoma menjawab pertanyaan Rio Tantomo, salah seorang pengunjung yang penasaran dengan persaingan antara rock dan dangdut pada dekade 1970-an. Rio terpantik menanyakan hal itu karena sebelumnya, Rhoma menceritakan bahwa musiknya terpapar rock dari Led Zeppelin dan Deep Purple.
Rhoma mengaku ikut berantem ketika Soneta tampil di sebuah lapangan terbuka Banyuwangi, Jatim. Arena pertunjukan dikelilingi pagar seng. Di dalam, suasananya padat. Beberapa ibu-ibu duduk di barisan depan panggung, tempat Rhoma berdiri. Di luar, massa tak kalah banyak. Mereka mulai melempari batu ke arena.
Sampai gue lihat dengan mata sendiri ada ibu yang kepalanya berdarah kena timpukan batu. Gue turun panggung, keluar pagar seng. Gue lihat itu ada orang yang melempar batu
“Sampai gue lihat dengan mata sendiri ada ibu yang kepalanya berdarah kena timpukan batu. Gue turun panggung, keluar pagar seng. Gue lihat itu ada orang yang melempar batu. Berantem deh di situ,” ujarnya.
“Akhirnya Yapto (Suryosoemarno) yang punya inisiatif mendamaikan kubu rock dan dangdut. Soneta mewakili dangdut, dan Godbless dari rock. Sampai hari ini, nggak pernah berantem lagi.” Kata Rhoma yang diawal karirnya punya band rock itu. Hadirin, yang sebagian besar belum lahir ketika kisah itu terjadi, bersorak.
Pada awal sesinya, Rhoma menuturkan hal-ikhwal sejarah musik dangdut. Akar jenis musik itu ia bilang berasal dari orkes melayu nusantara, seperti dari Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan. Irama melayu itu, ujar Rhoma, terancam punah karena gempuran musik barat, seperti rock yang juga digemari Rhoma.
“Kalau tidak direvolusi, orkes melayu akan hilang. Tahun 1973, saya revolusi, pertama dari liriknya. Semula liriknya pesimistik, saya ganti jadi optimistik. Instrumen musik dari akustik jadi elektrik. Posisi player dari duduk jadi berdiri.
Semua personil Soneta waktu itu gondrong (seperti rocker). Untuk beat, saya pakai drum, saya masukin juga brass section (instrumen tiup). Saya tambahin vokal latar. Jadilah dangdut. Orang bilang itu genre baru. Saya merevolusi orkes melayu jadi seperti sekarang,” tutur Rhoma, yang pernah bercita-cita jadi hakim ini.
Godfather of dangdut
Kebaruan berkonsekuensi pada penentangan. Hal itu pula yang terjadi pada warna baru orkes melayu ketika itu. Banyak label rekaman menolak dangdut. Para akademisi musik pun menganggap dangdut merupakan “kesalahan”. Rhoma tak peduli itu. Anggapan bahwa dangdut itu kampungan justru membuat Rhoma tergerak membelanya. Keteguhan itu justru membuat dangdut sebagai musik paling populer bagi orang Indonesia hingga hari ini.
Maka tak heran, Rhoma mendapat julukan sebagai raja dangdut. Ia mengaku tak tahu-menahu siapa yang menyematkan “gelar” itu. Belakangan, ada julukan baru yang ia sandang: the godfather of dangdut. Untuk yang terakhir itu, Rhoma punya ceritanya.
“Ada orang Inggris yang datang ke rumah. Dia bawa rombongan dan (kru) televisi juga. Dia bilang penggemar, dan bisa nyanyi lagu ‘Judi’. Dia menjuluki saya the godfather of dangdut. Setelah ngobrol-ngobrol, dia pulang. Saya harus pergi karena ada acara. Di perempatan Mampang, saya lihat ada baliho konser Joss Stone, dan ada fotonya. Lho, orang ini yang tadi barusan ke rumah,” ujarnya.
Membentuk corak dangdut hingga diakui musisi dunia dan kalangan akademisi adalah perjuangan panjang Rhoma. Popularitasnya tak lekang zaman. Bersama Orkes Melayu Soneta, Rhoma masih dielu-elukan kaum muda urban, seperti yang terlihat di perhelatan Synchronize Fest awal Oktober ini. Sepekan setelahnya, di Archipelago Festival, sesi bincang-bincang dengan Rhoma adalah sesi yang paling ramai.
Apa kata Simon
Pembicara penting selain Rhoma di festival ini adalah Simon Raymonde dari Inggris. Di kancah musik independen, Simon adalah pujaan. Dia adalah mantan pemain bas grup Cocteau Twins yang aktif dari dekade 1980-an hingga bubar tahun 1997.
Lepas dari band indie pop itu, Simon fokus mengurusi label rekaman Bella Union. Awalnya, kata Simon, label itu dibuat hanya sebagai payung bagi Cocteau Twins. Sayangnya, konflik internal memecah band itu. Dia lantas memutuskan Bella Union harus memproduksi band lain.
Maka dimulailah petualang baru Simon sebagai “aktor belakang layar”. Memasuki usia ke-21, label itu ibarat jaminan mutu bagi album-album yang diproduksinya. Beberapa band populer dari label itu adalah Flaming Lips, Fleet Foxes, Beach House, Father John Misty, Explosions in the Sky, Wild Nothing, John Grant, Jambinai, dan yang teranyar, Hilang Child.
Sepekan sebelum berbicara di sesi terakhir festival itu, Simon telah tiba di Indonesia. Dia sempat mampir ke Synchronize Fest dan menyimak beberapa band, seperti Southern Beach Terror. Dia juga sempat melancong ke Bandung dan bertemu dengan beberapa pemusik di sana. Apakah Simon tertarik merekrut band Indonesia?
“Aku tidak mengontrak band hanya dari pengalaman singkat melihat saja. Entahlah, aku sebenarnya tidak pernah punya rumusan khusus untuk itu. Aku harus mengenal pemusiknya, bercengkerama, menyerap musiknya, dan menonton penampilannya,” kata Simon yang amat terkesan betapa orang-orang yang ia temui di Indonesia begitu memuja Cocteau Twins.
Simon, kini 56 tahun, menuturkan kesannya pada lagu “White Winter Hymnal” dari band Fleet Foxes. Lagu itu adalah perkenalan pertamanya dengan band asal Seattle, AS itu.
Hari itu, di tahun 2007, ketika sedang di Norwegia, mood-ku sedang tidak karuan. Begitu mendengar lagu mereka dari situs MySpace, rasanya seperti hidupku berubah seketika
“Hari itu, di tahun 2007, ketika sedang di Norwegia, mood-ku sedang tidak karuan. Begitu mendengar lagu mereka dari situs MySpace, rasanya seperti hidupku berubah seketika. Aku segera menyurati mereka. Ternyata Robin (Pecknold, vokalis) juga sedang di Norwegia. Bertemulah kami,” kata Simon.
Perkenalan itu berbuah baik. Simon berhasil menggaet Fleet Foxes dalam memproduksi album perdananya. Penjualan sangat bagus, sampai-sampai disebut menyelamatkan keuangan Bella Union. Band bercorak folk rock itu juga menggaung ke mana-mana.
Simon juga “berbesar hati” kembali berurusan dengan orang rumit seperti Jason Pierce dari band Spiritualized karena terpukau dengan karya mutakhirnya.
Simon membawa “oleh-oleh” lebih dari 50 keping CD band Indonesia di kopernya. Mungkin tidak perlu berharap terlalu tinggi ada band asal Indonesia yang diproduksi Bella Union. Tapi setidaknya, usaha sudah dilakukan.
Teguh Wicaksono, Program Director Archipelago Festival menyebutkan ada 17 topik dari 40 pembicara dan moderator dalam sesi konferensi. Sebelumnya, ada 30 pemusik yang main di empat lokasi di daerah Kemang, Jakarta Selatan, Jumat dan Sabtu.