Argumentasi, Menjadi Dewasa dan Mandiri
Terpaksa Keadaan
Nurul Rofi’ati, mahasiswa program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Institut Pesantren Mathali’ul Falah, Pati, Jawa Tengah.
Saya mengalami proses kedewasaan dan kemandirian lewat keadaan terpaksa. Saat SD, tanpa bantuan ibu saya menyiapkan diri ke sekolah. Berangkat studi pun sendiri, tanpa diantar siapa pun. Orangtua saya bekerja sebagai pedagang di pasar sehingga selepas subuh sudah meninggalkan rumah.
Lulus SD, ayah ibu mengirim saya sekolah ke pondok pesantren. Hidup yang jauh dari menyenangkan karena jauh dari orangtua dan makanan tidak enak. Bulan pertama di ponpes, saya rindu rumah dan sering menangis. Di situ pula saya belajar mencuci baju, menjemur, dan menyetrika pakaian. Paling sedih kala uang saku menipis dan kunjungan orangtua masih lama.
Tahun ketiga di ponpes, ada anak baru yang orangtuanya meminta saya mengajari dia untuk hidup mandiri. Berat hati saya menerima tugas itu. Semua hal itu akhirnya membuat saya mengerti arti memikul tanggung jawab dan amanah yang mendorong saya menjadi manusia dewasa dan mandiri.
Lewat Pengalaman
Mediana Dewi Sartika, Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten.
Saya mengalami proses dewasa melalui berbagai peristiwa dan pengalaman nyata. Usai SMA, saya harus berpikir dan merencanakan masa depan mulai dari memilih sekolah, biaya kuliah, hingga bagaimana hidup saya selanjutnya.
Jatuh bangun, tertatih-tatih, berani mengambil keputusan untuk menerima beasiswa kuliah di kampus sekarang, Tinggal di asrama dan jauh dari orangtua. Semua proses itu membuat saya dewasa dan mandiri.
Jadi, saya yakin sebagai anak bungsu bukan penghalang menjadi orang dewasa dan mandiri seperti sekarang. Saya bisa mengurus diri sendiri, menghadapi dan menyelesaikan masalah, mengatur jadwal, merampungkan tugas kampus, mengelola keuangan dan banyak hal lainnya.
Membiayai Diri Sendiri
Lesrida Situmorang, mahasiswa Jurusan Kimia Universitas Negeri Medan, Medan.
Saya belum punya ijazah untuk melamar pekerjaan karena baru November nanti diwisuda. Namun, hal itu bukan penghalang buat mencari penghasilan.
Saya bekerja paruh waktu sebagai guru kimia untuk SMA dan matematika tingkat SD dan SMP di bimbingan belajar. Gaji tidak besar tetapi cukup untuk biaya makan saya. Hal itu membuat saya berani meminta ayah ibu di kampung menghentikan pengiriman uang saku bulanan.
Saya yang ingin punya penghasilan lebih pun berani berbisnis lain dengan berjualan kosmetik. Saya ingin mandiri tanpa membebani orang tua lagi dan wisuda dengan biaya hasil kerja sendiri. Meski penghasilan saya masih pas-pasan, langkah-langkah itu membuat saya tumbuh dewasa dan mandiri. Lepas dari tanggung orangtua dengan pola pikir sendiri yang lebih baik.
Dewasa Dini
Ammar Chania, program studiPendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kuningan, Kuningan, Jawa Barat.
Sebagian orang memilih menjadi dewasa. Bagi saya, dewasa itu berawal dari paksaan. Kondisi finansial keluarga yang serba kurang membuat saya harus bekerja mencari uang sejak masih sekolah. Sering iri melihat anak-anak lain asyik belajar dan bermain serta memanfaatkan fasilitas orangtua, sedangkan saya berjuang harus berjualan.
Kadang ingin memberontak dan menuntut hak sebagai anak, tetapi hati menolak karena ada ambisi mengangkat derajat hidup keluarga kian kuat.
Sejak dulu mimpi saya melanjutkan pendidikan dan bersekolah tinggi. Walau berbagai kendala menghantui, saya terus memaksa diri agar tak mudah menyerah. Tanpa ada ongkos saya berjalan kaki ke sekolah.
Bekerja sambilan menjadi andalan menambah uang saku. Berani menyingkirkan keinginan dan terus mencari peluang untuk meraih masa depan yang lebih baik. Saya senanag pengalaman itu membuat saya menjadi pribadi yang tangguh dan memahami makna kehidupan.