"Booming" Tari Gandrung di Pantai Boom
Semangat menekuni kesenian tradisional sedang mekar-mekarnya di kalangan anak muda Banyuwangi, Jawa Timur. Menari, berlatih ”nyinden”, dan main gamelan menjadi bagian dari keseharian mereka. Kata mereka, ini adalah wujud dari kecintaan mereka pada budaya bangsa. Sedaaap!
Waktu menunjukkan pukul 14.00, Kamis (18/10/2018). Satu per satu remaja perempuan datang ke rumah Suharno (56), guru SD Negeri 1 Kecamatan Songgon yang juga pemilik sanggar tari Tawangalun. Umumnya mereka naik sepeda motor dan masih berseragam sekolah. Maklum, dari sekolah, mereka langsung datang ke situ.
Hari itu adalah hari terakhir latihan anggota sanggar sebelum tampil di Festival Gandrung Sewu 2018 di Pantai Boom, dekat pusat kota Banyuwangi, Sabtu (20/10/2018). Ini adalah festival kesenian tahunan paling akbar dan jadi daya tarik pariwisata. Salah satu atraksi paling ditunggu adalah acara gandrung sewu, yakni tari gandrung yang dibawakan secara massal dan serentak oleh 1.000 atau sewu dalam bahasa Jawa.
Pada latihan terakhir itu, Suharno dibantu asistennya, Cindy Tria (15). Cewek yang masih kelas 1 SMA tersebut sudah lama menjadi anak didik Suharno dan sanggar tersebut. Ia mengingatkan kepada peserta agar kompak dalam gerakan tari. Setelah itu, Suharno mengambil alih latihan. Hari itu, para siswa tidak diberi banyak kesempatan istirahat sebelum tampil di Pantai Boom.
Salah satu siswa, Galuh Sukma, mengaku bangga bisa ikut Festival Gandrung Sewu. Ia rajin latihan mesti itu melelahkan, apalagi rumahnya berjarak cukup jauh dari sanggar. ”Yang penting saya senanglah,” katanya.
Buat Cindy, latihan tari jadi menu kesehariannya sejak kanak-kanak. Ia mengaku sudah menguasai sekitar 20 tari, di antaranya gandrung, padang bulan, dan tari kreasi baru karya seniman tari Banyuwangi. ”Aku belajar menari karena memang suka tariannya yang bagus,” kata gadis berdarah Osing, Jawa, dan Betawi itu.
Semua semangat
Kegairahan anak muda Banyuwangi kepada seni budaya benar-benar memuncak jelang Festival Gandrung Sewu. Sejak digelar tahun 2012, pelajar yang berminat terlibat dalam acara semakin banyak. Panitia sampai harus mengadakan seleksi cukup ketat ke sekolah-sekolah sejak tiga bulan sebelum acara. Jumlah penari yang semula 1.000 orang pun tahun ini bertambah menjadi lebih dari 1.200 orang.
Buat banyak anak muda Banyuwangi, bisa terpilih menjadi salah satu dari 1.000 atau 1.200 penari gandrung yang tampil di Festival Gandrung Sewu adalah sebuah kebanggaan. Mereka bisa jadi idola di sekolahnya.
Makanya mereka semangat berlatih agar lolos seleksi. Mereka yang sudah lolos seleksi lebih bersemangat lagi. Guru pembimbing dan orangtua juga tak kalah semangatnya. Mereka datang mendampingi anak-anak muda itu, padahal latihan diadakan pada Rabu (17/10/2018) malam di Stadion Banyuwangi dan Jumat (19/10/2018) sore di Pantai Boom.
Lama latihan 3-3,5 jam belum termasuk jeda sehingga mereka pulang malam atau petang. Siswa dari luar kota harus menempuh perjalanan pulang minimal 30 menit sampai dua jam untuk sampai rumah. ”Saya dan teman-teman sudah sering begini, jadi terbiasa,” kata Arif, siswa SMA di Rogojampi, si penabuh saron.
Sekalipun kurang istirahat dan bisa mengantuk di kelas, Arif dan kawan-kawannya yang menjadi nayogo tak akan meninggalkan kesenangannya itu. ”Main gamelan itu menyenangkan, bisa jadi hiburan dan pengisi waktu di sela-sela belajar di sekolah,” lanjutnya.
Menyerbu sanggar
Keinginan anak-anak belajar menari dan gamelan terus membesar beberapa tahun terakhir. Mereka berdatangan ke sanggar-sanggar untuk belajar tari secara serius. ”Padahal, dulu tahun 1990-an, saya sampai datang ke sekolah-sekolah untuk mencari murid. Gratis pun belum tentu mereka mau belajar, sekarang mereka mau bayar. Tempat belajar jauh pun dilakoni,” urai Suharno yang hanya mengutip bayaran Rp 3.000 per kedatangan kepada siswa yang belajar menari.
Sanggar milik Suharno yang berdiri pada 15 Oktober 1987 adalah salah satu sanggar yang jadi incaran anak muda Banyuwangi. Selain itu, mereka juga menyerbu Umah Seni Uwung Wetan di Desa Rejo Agung, Srono, milik Dwi Agus Cahyono (28).
Sanggar yang berdiri tahun 2014 itu kini mendidik 150-an siswa dari wilayah Srono, Cluring, Rogojampi, dan Pesanggaran. Selain belajar menari, siswa SMP dan SMA dari berbagai sekolah tersebut juga belajar memainkan gamelan dan membuat baju tari.
”Kami mengajarkan banyak hal,” ujar Dwi yang menjadi guru tari di SMP. Dwi mematok uang pendaftaran Rp 50.000 dan biaya belajar Rp 25.000 per bulan. Setiap minggu mereka datang, terutama pada Jumat, Sabtu, dan Minggu.
Ia kerap tak tega melihat siswa cowok yang harus pulang malam menempuh perjalanan hingga 1,5 jam demi belajar seni budaya di tempatnya. Kini, ia tengah membangun rumah disamping rumah orangtuanya untuk menampung siswa yang rumahnya jauh. ”Biar mereka tidur di situ daripada pulang malam-malam,” kata Dwi.
Bagi remaja Banyuwangi, selain untuk melestarikan kebudayaan, belajar menari, nyinden, main gamelan juga memberi kebanggaan tersendiri. ”Karena bisa menari dan nyinden, saya sering tampil di festival dan pernah menari di Istana Negara. Orang jadi tahu saya. Istilahnya eksis, he-he-he,” kata Diyah Safira (15), siswa SMA Negeri 1 Rogojampi, yang terkenal sebagai sinden.
Selain mendapat kebanggaan, ia juga mendapat uang dari kemampuan menari dan nyinden. Kalau menari di luar kota, Diyah bisa mendapat honor Rp 500.000 sampai Rp 2 juta. Kalau menari di wilayah Banyuwangi, honornya dari Rp 100.00 sampai Rp 300.000.
Sambil melestarikan budaya bangsa, dapat honor pula. Asyik, kan! (GER)