Pilih Film Lokal atau Asing "Gaes"?
Persepsi jika film impor lebih superior dibanding film nasional tidak lagi relevan. Film produksi anak bangsa, dibintangi oleh artis muda dan baru, rutin muncul dan meraih perhatian penonton hingga dunia internasional. Namun, tidak sedikit dari penonton yang masih menjagokan film buatan luar. Alasannya; “ceritanya gak lebay, dan gambarnya oke.”
Lebih dari satu dekade lalu, film nasional muncul kembali dengan membawa wajah baru. Tampilan segar, sinematografi yang ciamik, aktor yang jago, plot yang dinamis, juga tata musik yang artistik. Hingga berselang tahun, pelaku film nasional terus memperbaiki diri.
Hasilnya bisa dilihat hingga saat ini. Film-film karya anak bangsa mulai mendapat kepercayaan dalam dan luar negeri. Jika bertahun-tahun lalu semua layar jejaring bioskop dikuasi film produksi Hollywood, dan lainnya, saat ini dengan mudah menemukan satu atau dua layar yang menampilkan film nasional.
Anggapan bahwa film impor lebih superior dibanding film nasional tidak lagi relevan buat anak muda. Asalkan kualitasnya oke, nggak peduli film impor atau film lokal, pasti menarik minat penonton.
Lebih dari satu dekade lalu, film nasional muncul dengan membawa wajah lebih segar. Sinematografi lebih ciamik, aktor-katornya jago, plot dinamis, juga tata musik oke. Sampai sekarang, pelaku film nasional terus memperbaiki diri.
Hasilnya, film-film karya anak bangsa makin diminati penonton. Jika bertahun-tahun lalu semua layar jejaring bioskop dikuasi film produksi Hollywood, saat ini dengan mudah kita menemukan dua atau tiga layar di satu bioskop menampilkan film nasional di bioskop.
Di salah satu jejaring bioskop di Jakarta Selatan, misalnya, film Dear Nathan Hello Salma berada di tengah-tengah gempuran film luar yang tidak bisa dipandang sebelah mata seperti Bohemian Rapsody, A Star is Born, dan Bad Time at El Royale.
Clarissa Natan, mahasiswi Desain Komunikasi Visual – Sinematografi, Universitas Pelita Harapan mengapresiasi film produksi dalam negeri. Menurut Clarissa, film nasional kualitasnya sudah bagus dari pola dan alur penceritaan. Hanya saja, segi teknis harus lebih ditingkatkan lagi.
Clarissa pun merasa bangga dengan progres film lokal yang mulai bermunculan dengan standar Hollywood. “Sebagai salah satu mahasiswa film, I’m very proud of that, jadi sekarang kalau bikin paper referensi film, bisa referensi film lokal yang emang udah bagus banget” ungkap Clarissa.
Clarissa memang senang menonton film. Bahkan, dia terbiasa menonton empat hingga lima film setiap bulannya, baik dengan langsung nonton di bioskop atau pun streaming.
Sementara itu, Harry Bakarbessy, mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Pattimura cenderung memilih film asing karena proses produksi film yang lebih matang. “Menurut saya film asing jalan ceritanya bagus, selain itu artisnya beragam dan sesuai karakter. Artinya mereka selalu refresh dan looking for new faces every year sehingga tidak monoton itu-itu saja. Ini bukan generalize semua film Hollywood bagus ya. Ada juga yang low budget dan jelek. Tapi rata-rata masih lebih bagus dibanding dengan film lokal,” ujarnya Senin lalu.
Pandangan ini juga diamini Surahman. Mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, Universitas Al-Azhar Indonesia ini lebih memilih film asing sebagai film favoritnya. “Soalnya editingnya bagus apalagi kalau film action, keren banget nggak nanggung-nanggung buat pengerjaan filmnya.” ujar Rahman.
“Film nasional yang terakhir saya tonton itu film genre horor, filmnya terlalu didramatisir jadi kesannya lebay meskipun itu katanya kisah nyata. Adegannya terlalu monoton dan ada yang nggak masuk akal,” tambahnya. Agar dapat bersaing dengan film Hollywood, Surahman juga menyarankan agar tim produksi tidak asal dalam membuat film.
Meski menyukai film asing, ketiga sumber itu tetap berminat menonton film nasional, asalkan kualitasnya bagus. Jadi, intinya mau film asing atau impor bakal ditonton kalau bagus.
Membaiknya kualitas film nasional mengerek jumlah penonton yang tinggi. Dari data film produksi dalam negeri hingga Oktober 2018, ada 11 judul film yang menembus satu juta penonton. Jumlah ini telah mencapai raihan yang sama dengan tahun sebelumnya. Dengan dua bulan tersisa, jumlah film yang menembus satu juta penonton bisa bertambah.
Data Bekraf menunjukkan, tiga tahun lalu jumlah penonton bioskop hanya mencapai 16,2 juta penonton. Pada 2016, jumlahnya menjadi 37,2 juta penonton, dan akhirnya mencapai 42,7 juta penonton pada 2017. Hingga akhir Oktober lalu, jumlah penonton telah mencapai 41 juta.
Membaiknya industri film dalam negeri membuat film nasional menguasai layar perak di angka 40 persen. Jauh lebih baik dibanding tahun-tahun sebelumnya. Kimo Stamboel, sutradara film mengemukakan, film Indonesia semakin menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Salah satu faktornya adalah jumlah layar lebar atau bisokop yang semakin banyak. “Sekarang, kan, sudah ada beberapa jejaring bioskop yang tidak hanya di kota besar tapi juga kota kecil. Banyaknya layar lebar ini yang membuat permintaan akan film Indonesia cenderung meningkat,” kata Kimo.
Dari pengamatan lulusan School of Visual Arts Sydney tahun 2004 ini, film produksi asing tidak terlalu diminati konsumen yang berada di daerah. Penonton di daerah-daerah ini lebih menyukai film Indonesia. Salah satu faktornya kemungkinan disebabkan faktor bahasa atau tema film yang dirasa kurang pas dengan selera konsumen daerah.
Permintaan pasar yang relatif tinggi membuat para pembuat film gencar memproduksi film. “Harusnya, sih, kualitas produksi juga ditingkatkan meski kualitas bagus tidak jadi jaminan bakal disukai konsumen. Namun sebaiknya diperbaiki terus, karena penonton juga sudah semakin cerdas dan kritis.”
(*/**)