Bertutur Kata Tanpa Bikin Bingung
Akhir-akhir ini, kita sering sekali menemukan tokoh, artis, ataupun teman kita yang berbicara menggunakan campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Malahan, masih ada bahasa lain yang juga digunakan. Tak jarang, saat mengobrol, kita jadi kebingungan apa yang dimaksud lawan bicara kita.
”Setelah membaca skenario kemudian ditawari main film, why not?” kata penyanyi Isyana Sarasvati saat jumpa pers di Jakarta, Kamis (8/11/2018).
Sebelumnya, kepada wartawan, penyanyi Afgan menyebutkan kalimat campuran bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Misalnya, ”Ada momen-momen itu, setiap saya tampil saya shaking itu dinamain anxiety, ya,” ujar Afgan.
Mungkin bagi Isyana dan Afgan yang lama tinggal di luar negeri, kalimat dengan bahasa campuran itu hal biasa. Mereka terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa asing dan kebiasaan itu terbawa saat dia sudah menetap dan berkarier di Indonesia.
Namun, pengucapan dengan bahasa campuran bukan melulu dilakukan mereka yang pernah tinggal di mancanegara. Sekarang ini, sangat biasa mendengar orang-orang berbicara dalam dua atau tiga bahasa sekaligus, baik di forum informal maupun forum formal. Kalimat-kalimat seperti itu sering terdengar di sekolah, di kampus, di kafe, dan di restoran.
Kata-kata Inggris, seperti which is, traveling, better, however, whats up, wait, otw yang merupakan singkatan dari on the way, because, provide, include, honestly, dan prefer, dengan mulus meluncur dalam percakapan.
”Saya sering berbahasa campuran, terutama jika dengan teman-teman sebaya dengan minat yang sama,” kata Iwan Dwi Prabowo, mahasiswa Jurusan Desain Interior Fakultas Desain dan Industri Kreatif Universitas Esa Unggul, Jakarta, Rabu (7/11). Akan tetapi, Iwan tidak sembarangan berbicara bahasa campuran jika bertemu dengan orang lain.
Dia enggan berbahasa campuran jika harus presentasi atau berbicara di depan kelas. Istilah asing baru akan muncul untuk kata-kata yang belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia.
Sesungguhnya, fenomena berbahasa campuran sudah berlangsung lama. Namun, cenderung lebih banyak menyelipkan unsur bahasa daerah. Seperti di daerah Bintara, perbatasan Bekasi dan Jakarta yang mayoritas warganya berasal dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur serta Jawa Barat plus penduduk Betawi.
”Di daerah rumah saya sering orang-orang mengucapkan kalimat dengan unsur bahasa daerah, seperti, ’Lah, nesu, bagen lah. Atau ’Hareudang, ceunah,’. Di situ ada bahasa Betawi, Jawa, dan Sunda,” ujar mahasiswa Jurusan Manajemen Komunikasi Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jakarta, Zulian Fatha Nurizal.
Nesu dalam Bahasa Jawa artinya marah, sedangkan bagen diambil dari bahasa Betawi yang berarti biarkan. Sementara, hareudang dan ceunah merupakan bahasa Sunda untuk gerah dan katanya.
Bahasa asing juga ada di sekitar kita sehari-hari. Memiliki gawai pasti sering membaca kata-kata asing, seperti setting, chat, download, candel, sale, order, folder, dan banyak aplikasi bernama asing. Bahasa asing kini bukan lagi bahasa yang terlalu asing.
Bahasa lentur
Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Wahyu Widodo, menjelaskan, salah satu kelebihan bahasa Indonesia adalah memiliki kelenturan sintaksis. Artinya, suatu kalimat tetap memiliki arti yang sama sekalipun kata-katanya berpindah tempat.
”Walau membolak-balik penempatan kata, dengan mengubah intonasi, artinya tetap sama. Berbeda dengan bahasa Inggris atau Arab yang kata-katanya akan berubah jika subyek berubah dan tempatnya berbeda,” ujar Wahyu di Malang, Rabu.
Selain itu, predikat dalam bahasa Indonesia tidak selalu verba alias kata kerja. Bisa kata sifat atau kata lain. Bahasa Indonesia juga termasuk bahasa muda yang cenderung mengambil kata-kata asing atau daerah dengan cara adaptasi atau adopsi untuk ditambahkan dalam kamus.
”Bahasa Indonesia memiliki unsur dari banyak daerah dan asing. Kuasai dahulu bahasa daerah dan bahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa asing. Jangan asal campur. Bahasa separuh-separuh merusak struktur sintaksis,” kata Wahyu.
Wahyu menambahkan, banyak tokoh pahlawan yang mampu berbicara dalam beberapa bahasa, tetapi mereka selalu menggunakannya sesuai dengan kaidah bahasa.
”Perlu diingat, para pendiri negara ini dan pahlawan besar sanggup berbahasa asing dengan lancar, baik, dan benar. Mereka mumpuni dan menguasai. Soekarno mampu berbicara banyak bahasa, M Hatta studi di Belanda dan piawai berbahasa asing. Mereka semua mampu berbahasa asing dengan baik, tetapi tidak pernah mencampurkan bahasa seenaknya, tetap sesuai kaidah,” tutur Wahyu.