Mahasiswa Volunter di Tengah Bencana
Menjadi volunter di dearah bencana itu mulia karena membantu orang yang sedang kesulitan. Dari kegiatan itu pula, volunter juga mendapat banyak pelajaran hidup. Nggak percaya? Coba deh sekali-kali jadi volunter.
Gempa Palu dan Lombok adalah dua bencana yang terjadi dalam waktu berdekatan. Kedua bencana ini menguras duka juga air mata. Ribuan orang meninggal, terluka, atau kehilangan tempat tinggal. Musibah seperti itu biasanya menggerakkan hati banyak orang untuk membantu, termasuk mahasiswa.
Begitu mendengar gempa di Lombok, David Aloysius Talu Nedabang (24), dia langsung tergerak untuk membantu para korban. Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis UNIKA Atmajaya Jakarta ini lsegera mendaftar sebagai volunter atau sukarelawan di kampusnya. Dia beruntung karena dosennya juga merekomendasikan dirinya untuk ikut bersama mahasiswa dan utusan kampus ke lokasi bencana.
Pada 9 September, David tiba di Desa Dangiang Timur, Lombok Utara. Di sana, ia menyaksikan kesedihan. Ini adalah kali pertama ia turun langsung ke daerah bencana. Beberapa kali menjadi volunter bencana, dia hanya bertugas mengumpulkan bantuan di Jakarta.
Jujur itu pengalaman paling menyentuh. Perasaan jadi campur aduk melihat anak-anak itu senyum dan tertawa padahal rumah mereka sudah rata dan puing betebaran di mana-mana
Di Lombok, dia membantu anak-anak melupakan kesedihan dan mengatasi trauma. “Jujur itu pengalaman paling menyentuh. Perasaan jadi campur aduk melihat anak-anak itu senyum dan tertawa padahal rumah mereka sudah rata dan puing betebaran di mana-mana,” tutur David, Selasa (6/11/2018).
Hal yang sama juga dia rasakan ketika berinteraksi dengan para lansia. “Salut banget sama papu-papu (nenek) yang tetap tegar dan semangat meski kehilangan keluarga dan sanak saudara. Buat saya, mereka semua luar biasa hebat.”
Selama tiga minggu, David menjadi sukarelawan di Lombok. Berbagai hal dia rasakan dan temukan di lapangan. Salah satunya, laporan yang diterima pemerintah belum tentu sesuai dengan kondisi di lapangan.
Ahmad (23) mahasiswa tingkat akhir di UIN Makassar, Sulawesi Selatan, memiliki pengalaman sedikit berbeda. Dia menjadi volunter di posko pengungsian gempa Palu, di Asrama Haji Sudiang, Makassar, selama dua pekan. Dia bertugas membantu distribusi logistik kepada pengungsi. Ini bukan tugas yang ringan, karena ada puluhan ton bantuan, dan ada ribuan orang pengungsi.
Namun, dia merasa senang bisa membantu. “Capek tapi tidak lemah. Kalau lihat anak-anak pengungsi, jadi semangat lagi. Sudah tugas kita membantu, karena bisa saja kita ada di posisi mereka,” katanya.
Setelah melaksanakan tugasnya, Ahmad senang berbincang dengan para pengungsi. Dia merasa banyak hal yang bisa dipelajari dari pengalaman mereka. Sebagian dari mereka tahu bagaimana menyelamatkan diri dari bencana, sebagian lagi tidak.
Gempa Palu yang diikuti tsunami dan likuefaksi memang bencana dahsyat. Sebanyak 2.256 orang meninggal dunia, dan 1.309 orang hilang. Sebanyak 4.612 orang luka dan 223.751 orang mengungsi. “Kalau lihat mereka tersenyum dan tertawa hati menjadi tenang. Kita bermanfaat di sini,” tutur Ahmad.
Bukan gagah-gagahan
Menjadi seorang volunter untuk korban bencana adalah kegiatan yang menuntut banyak hal, mulai pengetahuan dasar terkait kebencanaan, tenaga, keterampilan dan mental yang kuat. Jika tidak punya keterampilan dan pengetahuan, jangan-jangan volunternya yang mesti dievakuasi.
Sultan Aun Karbela (22) yang tergabung dalam Relawan Merah Putih, terakhir menjadi volunter saat gempa Lombok. Dia bertugas selama sekitar lima minggu dalam dua kali keberangkatan dengan fokus di wilayah Sembalun. “Itu titik pertama gempa. Saat gempa kedua kerusakannya makin parah, dan bukan menjadi fokus volunter. Di Sembalun warga sangat trauma, bukan cuma karena gempa, tetapi juga suara,” tutur Aun.
Gempa di wilayah ini seringkali diiringi dengan longsor. Suara longsor membuat warga semakin ketakutan. Mendengar suara yang cukup keras saja warga langsung berlarian saking ketakutannya.
Sebanyak 400 warga dibantu oleh Aun dan lima volunter lainnya. Mereka tidak berposisi sebagai pemegang kendali, namun hanya sebagai fasilitator. Seorang tokoh masyarakat didapuk sebagai koordinator pengungsi.
Kami datang bukan sebagai hero dan sok bisa segala macam
Mereka juga membuka 21 posko pengungsian di wilayah tersebut. Setiap posko dikoordinir oleh satu orang warga. Mereka menerapkan sistem tanggap bencana yang menguatkan peran serta masyarakat.
“Kami hanya sebagai fasilitator, dan masyarakat yang berperan. Kami datang bukan sebagai hero dan sok bisa segala macam. Setelah assesment, baru kami tahu apa yang perlu dilakukan,” tutur Aun yang fokus mengurusi koordinasi dan penanganan trauma. Mereka merancang permainan dan olahraga untuk menghilangkan trauma warga.
Beberapa kali menjadi relawan bencana, tambahnya, dia mendapat banyak hal dari pertemuan dengan warga. Dia merasakan susah dan senang bersama, bisa mengasah kepemimpinan, dan melatih untuk berpikir cepat dan efisien. Tapi, yang paling utama, kebahagiaannya bertambah ketika membantu sesama.
Rasa kemanusiaan yang sama mendorong Ratih Mutiara Louk Fanggi untuk ikut membantu korban gempa Lombok. Ratih, panggilannya, juga korban gempa. Namun, dia merasa nasibnya masih lebih baik dibanding saudara-saudara lainnya.
“Karena saya merasa lebih beruntung dibanding korban yang harus kehilangan sanak saudara, rumah, dan harta. Sementara rumah saya masih utuh dan keluarga selamat,” kata mahasiswi magister Ilmu Hukum Universitas Mataram ini.
Mau nangis rasanya melihatnya. Apalagi persediaan makanan minim, perlengkapan medis minim, dan desa itu terisolasi
Dia lalu menuju ke Desa Medana, Lombok Utara. Di sana dia menjumpai banyak korban yang terbaring lemah di tenda. “Ada korban yang menderita hidrosefalus. Mau nangis rasanya melihatnya. Apalagi persediaan makanan minim, perlengkapan medis minim, dan desa itu terisolasi,” kisah Ratih.
Dari kejadian itu, Ratih semakin yakin bahwa pilihannya menjadi volunter sangat tepat. Dengan tugas mengirim bantuan logistik dan obat-obatan, Ratih bersama timnya juga memberikan layanan pemulihan trauma.
Di tengah keindahannya, bencana alam di Indonesia memang juga bejibun. Hingga Oktober 2018, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), terdapat 1.999 bencana yang menelan lebih dari 3.000 korban jiwa. Karena itu, negeri ini membutuhkan banyak volunter yang siaga diterjunkan kapan saja. (**)