"Nginggris" Bersama Warga Desa di Sekitar Borobudur
Oleh
Stefanus Osa Triyatna
·4 menit baca
Kalau kalian menemukan warga di dusun-dusun sekitar Candi Borobudur lancar banget berbahasa Inggris, kalian nggak usah kaget. Sebab, banyak di antara mereka adalah "jebolan" Desa Bahasa Borobudur yang didirikan sekitar 20 tahun yang lalu.
Desa Bahasa Borobudur (DBB) terletak di Desa Ngargogondo, Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Begitu memasuki desa itu, banyak tulisan berbahasa Inggris bertebaran di mana-mana. Bunyinya antara lain "Let\'s Speak English", “English is language. Language is habit. Habit is common culture”, dan "English is Easy". Ketika mendengar warga sekitar ngobrol, obrolannya pun dilakukan dalam bahasa Inggris.
Ya, DBB memang tempat orang belajar membiasakan diri berbahasa Inggris dengan cara menyenangkan. Orang yang belajar di sini bukan hanya warga desa sekitar Borobudur, tetapi juga orang-orang dari luar kota.
Selasa (6/11/2018) siang, ada lima bus ukuran besar membawa 200-an siswa SMPN 2 Purwokerto, Jateng, yang ingin belajar bahasa Inggris secara singkat di DBB. Sambil liburan, mereka belajar ber-cas-cis-cus dalam bahasa Inggris.
Hani Sutrisno (44), penggagas sekaligus pendiri DBB, mengatakan, semua tamu yang belajar bahasa Inggris akan diajak belajar bahasanya Pangeran William itu dengan cara menyenangkan. "Lihat, tidak satupun di antara anak-anak itu memegang kertas maupun pulpen,” kata Hani.
Pengajaran bahasa Inggris dilakukan dengan cara bermain-main, kadang dengan musik tradisional, atau permainan. Siang itu, seorang instruktur DBB, misalnya, mengajarkan tenses bahasa Inggris dengan gaya kocak sehingga membuat anak-anak tertawa. Ia mengulang beberapa kata yang ia sampaikan dan meminta para siswa menirukannya berkali-kali. Sesekali, ia berkomunikasi dengan gerakan tangan maupun badan.
Misalnya, kata “I am” (saya), kedua telapak tangan yang terbuka diarahkan ke dada masing-masing peserta. Kemudian, “You are” (kamu) kedua telapak tangan diarahkan ke depan. Kalau peserta keliru menirukan kata dan gerakkannya, sang instruktur akan mencoretkan lipstik ke tubuh peserta.
Nurofingatul Azis, instruktur DBB lainnnya, mengajarkan peserta tentang kata-kata adjective. “Kita coba mengenal kata-kata adjective ya. Busy artinya sibuk, happy artinya senang, crazy artinya gila, diligent artinya rajin, lazy artinya malas,” ujar Azis, sambil bertepuk tangan setiap mengartikan kata-kata itu.
Tidak tanggung-tanggung, pengulangan kata-kata itu dilakukan bisa mencapai 10 kali. Bahkan, secara bergantian antara siswa laki dan perempuan. Anak-anak pun begitu semangat dan semakin keras mengulang kata demi kata.
Tak sampai di situ, ia juga mengenal bagian kepala kita dalam bahasa Inggris, mulai dari rambut, kepala, dahi, hidung, pipi, dan bibir. Kata-kata itu diucapkan dengan irama dan diiringi suara gendang diiringi gerakan-gerakan.
Berbagai permainan juga dipersiapkan oleh tim DBB. Instruksi yang dipergunakan adalah bahasa Inggris. Sesekali, masih terdengar instruktur pun menggunakan bahasa Bahasa Indonesia.
Didenda
Hani menuturkan, desa bahasa ini awalnya didirikan 20 tahun yang lalu untuk melatih warga desa agar mereka bisa cas-cis-cus dalam bahasa Inggris dengan turis asing yang sering datang ke Candi Borobudur dan desa-desa di sekitarnya. Lama kelamaan tidak hanya warga desa yang belajar, tetapi warga dari mana saja, termasuk dari daerah lain boleh belajar di desa itu.
Desa berbahasa Inggris semacam ini juga ada di Pare, Kediri, Jawa Timur. Bahkan, "kampung Inggris" di Pare lebih dulu dikenal luas.
Di DBB, lanjut Hani, semua pengelola yang seluruhnya warga desa sepakat berbicara hanya dalam bahasa Inggris pada hari Selasa, Rabu, dan Kamis. Mereka yang melanggar kesepakatan ini diberi sanksi membayar denda Rp 200.000 atau mengangkut kerikil dari sungai sebanyak 10 ember. "Kami memang sedikit memaksa agar orang selalu berbahasa Inggris,” kata Hani.
Sejauh ini, DBB mengajarkan bahasa Inggris pada warga di tujuh dusun di Desa Ngargogondo. Pesertanya beragam usia dan latar belakang. Selain itu, DBB membuatkan program bagi peserta pelatihan bahasa Inggris dari kota lain. Mereka tinggal di desa itu selama 6-10 hari, di rumah penduduk atau homestay. “Permintaan untuk belajar di sini terus berdatangan, tapi kalau semakin besar saya khawatir sarana pendukungnya belum cukup," ujar Hani.
Perjalanan DBB tidak selalu mulus. DBB pernah mati suri selama lima tahun, pada 2007-2012. Akibatnya, pengelola tidak bisa membayar gaji para pengajar yang juga anak-anak muda di desa itu. Setelah masa-masa sulit itu berlalu, DBB bisa berjalan lebih kencang.
Hani mengaku sangat mencintai DBB karena keberadaannya memberikan kesejahteraan bagi warga desa sekaligus pengetahuan berbahasa Inggris. Berkat kemampuan berbahasa Inggris, banyak warga yang menjadi pemandu untuk turis yang berkunjung ke Borobudur.