Dari Detektif Bahasa Hingga Ilmu Perang
Sepuluh tahun lalu, kuliah di jurusan yang baru dan spesifik mungkin akan dianggap "nyeleneh". Nyatanya, ilmu yang spesifik telah menjadi kebutuhan utama dengan perkembangan pengetahuan dan teknologi begitu kilatnya saat ini. Kuliah di jurusan spesifik itu keren dan menjanjikan, tapi juga dengan pertimbangan yang matang.
Telinga kita yang bertahun-tahun diperdengarkan jurusan-jurusan itu saja, tentu akan aneh mendengar ada jurusan yang khusus dan spesifik. Sebut misalnya Aktuaria, Ilmu Perang, Teknologi Audio, Data Scientist, atau Forensic Linguistic. Jurusan apa itu?
Erwin Katunde (28), mendengar jurusan Forensic Linguistic ketika menginjak Semester Lima, di jurusan Sastra Inggris, Universitas Hasanuddin, Makassar. Sekitar delapan tahun lalu, samar-samar, dia mendengar dosennya menyebutkan dua kata itu. Dia mencatat baik-baik di buku pelajarannya. Sejak saat itu, dia mencari tahu “mahluk” apa jurusan Forensic Linguistic tersebut.
“Waktu itu, tahunya itu adalah bidang ilmu yang meneliti bahasa dalam bidang forensik. Ilmu baru, jadi kayak detektif bahasa. Kerennya pikir saya,” ujarnya, Selasa (20/11/2018).
Setelah lulus kuliah, sempat bekerja satu tahun, dia ingin melanjutkan studi bidang yang dia impikan. Dia mencari kampus yang memiliki jurusan Forensic Linguistic. Setelah mencari-cari, dia akhirnya mendaftar di kampus yang pertama kali mengajarkan ilmu ini, di Aston University, Birmingham, Inggris.
Saat pertama kuliah, di akhir 2015, Erwin tidak menyangka bahasan dari jurusan yang dia pilih tersebut jauh lebih luas. Dia mempelajari semua aspek kebahasaan, yang diaplikasikan dalam ilmu forensik. Mempelajari ilmu ini, membuka matanya akan banyak hal. Dengan memakai ilmu ini, akan membantu banyak hal baik itu dari penyelidikan, interogasi, maupun pengungkapan kasus.
Dia menceritakan, pertama kali ilmu ini digunakan secara resmi oleh seorang dosennya, sekitar pertengahan 80-an. Saat itu, sang dosen, Malcolm Coulthard, diminta untuk menjadi saksi ahli dari sebuah kasus yang menyeret seorang tersangka. Pengacara tersangka meminta bantuan Coulthard untuk menganalisis proses interogasi yang dianggap tidak sesuai.
“Coulthard lalu menyelidi hasil interogasi dari berkas yang diketik oleh polisi. Dia akhirnya temukan kalau polisi menambahkan satu kalimat yang akhirnya memberatkan tersangka. Dia menyebut laporannya sebagai Forensic Linguistic. Hasil laporan itu yang akhirnya mengubah proses interogasi kepolisian di Inggris yang awalnya cuma diketik, dilengkapi dengan rekaman,” cerita Erwin.
Meski begitu, tambah Erwin, ilmu ini banyak digunakan di luar negeri. Sementara, di dalam negeri, dia masih sangat jarang mendengar metode dari ilmu ini dipakai oleh penegak hukum. Di satu sisi, dia juga sadar, lulusan ilmu ini masih sangat sedikit. Di Indonesia, dia mengetahui hanya ada tiga orang lulusan ilmu yang pertama kali diajarkan pada 1996.
Jika Erwin memilih jurusan yang spesifik di studi lanjutannya, maka berbeda dengan Gustika Fardani Jusuf Hatta (24). Dia memilih disiplin ilmu War Studies (WS) di kuliah tingkat pertama, di King’s College, London.
Jurusan ini dipilihnya bukan tanpa alasan. Awalnya dia mengaku tertarik dengan perlindungan budaya dan seni dalam keadaan konflik sesuai dengan konvensi UNESCO, masalah hukum dan keamanan, hukum internasional. Seiring waktu, dia juga tertarik dengan perlindungan hak perempuan, dan HAM. Alhasil, cucu Proklamator Bung Hatta ini mencoba menggabungkan semua ketertarikannya itu dengan mengambil Jurusan WS.
“Karena semua yang aku suka, entah itu masalah keamanan, seni, budaya, isu perempuan, dan sejarah, ada di disiplin ilmu itu,” tuturnya.
Gustika yang baru saja menyelesaikan kuliahnya tahun ini, mengaku sangat menyukai mata kuliah Guerrillas in the Mist. “Suka banget karena mempelajari macam-macam strategi perang gerilya dan sejarahnya,” ungkapnya. Ke depannya, dia berniat mengamalkan ilmunya di bidang pekerjaan yang berhubungan dengan perdamaian dan keamanan.
Apa saran Gustika untuk mereka yang ingin mengambil jurusan yang “tidak lazim” seperti yang dilakukannya? “Apa pun jurusan yang mau diambil, pelajari dulu. Baca silabusnya suapaya ada gambaran, kira-kira sesuai atau enggak dengan kesenangan kita,” tambah Gustika. “Jangan buat keren-kerenan saja dapat gelar dokter, padahal lihat darah pingsan,” katanya berseloroh.
Perkembangan besar
Dunia pendidikan berkembang begitu pesat dalam waktu yang melesat. Revolusi teknologi menjadi salah satu pendorong utama, sehingga mengilhami banyak ilmu terapan baru di berbagai bidang. Tidak heran begitu banyak disiplin ilmu baru di berbagai belahan bumi.
Meski begitu, pendidikan di dalam negeri tidak merespon dengan sigap perkembangan ini. Presiden RI Joko Widodo berkali-kali mengingatkan penyelenggara pendidikan untuk bisa mengambil langkah cepat agar generasi muda Indonesia tidak ketinggalan.
”Dunia sudah berubah total. Berubah banyak. Ini yang harus kita pahami dan antisipasi bersama-sama. Hati-hati Pak Menteri (Ristek dan Dikti), Pak Rektor (USU). Hampir semua perguruan tinggi dari 30 sampai 40 tahun lalu fakultas dan jurusannya itu-itu saja. Kita harus berani memikirkan dan membuka fakultas atau jurusan baru yang sesuai dengan visi kita ke depan,” kata Presiden, saat memberikan sambutan di Medan, Senin (8/10/2018).
Presiden mengatakan, pendidikan tinggi harus segera menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang sangat cepat. Perguruan tinggi harus beradaptasi agar bisa menciptakan alumni yang bisa menjawab kebutuhan sumber daya manusia dan profesi yang juga terus berubah. Dalam situasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat, peran perguruan tinggi menjadi sangat sentral untuk menjawab tantangan tersebut. Presiden mengatakan, banyak hal baru yang lahir dan bergerak begitu cepat, seperti kecerdasan buatan, robotika, realitas maya (virtual reality), dan e-commerce (Kompas, Selasa 9 Oktober 2018).
Arahan Presiden ini sejalan dengan minat mahasiswa yang tertarik dengan jurusan dan disiplin ilmu baru. Jajak pendapat Kompas di kalangan mahasiswa akhir Oktober lalu menemukan, sebanyak 78,5 persen responden menyatakan tertarik dengan pilihan jurusan atau program studi yang baru. Survei mengambil 479 responden mahasiswa berusia minimal 17 tahun di sejumlah kota di Indonesia yang dipilih secara acak.
Dari jajak pendapat yang sama, lebih dari setengah responden juga yakin program studi baru ini bisa membuat lapangan pekerjaan baru yang menarik dengan pendapatan besar. Sebanyak 38,6 persen dari mereka tidak yakin, dan 4 persen yang belum tahu akan seperti apa ke depannya.
Hanya saja, hingga saat ini bidang ilmu baru yang spesifik masih sangat terbatas. Fersita Felicia Facette (27), memutuskan ikut kuliah secara daring di University College London karena kebutuhan spesialisasi pendidikan. Fafa, panggilannya, mengambil jurusan Cyber Anthropology. “Di Indonesia belum ada mata kuliah khusus, sementara UCL sudah punya jurusan sendiri,” ujarnya. (JAL/**/Krisna P Panolih/Litbang Kompas)