Mengunjungi Banyuwangi, Jawa Timur terasa kurang kalau tak mampir ke distro kaus berbahasa Osing, nama warga asli Banyuwangi dan bahasa daerahnya. Kaus khas itu tak hanya membuat pembacanya tersenyum membaca celetukan lucu khas Osing, tapi juga punya cerita di balik pembuatannya. Lewat kaus, anak muda setempat berupaya mengenalkan bahasa daerah ke masyarakat dan memberi rasa bangga menjadi warga Osing.
Tulisan di kaus, #2019 : Isun Rabi (aku menikah), merupakan satu dari banyak celetukan lucu sekaligus cerdas berkait isu menjelang pemilihan presiden tahun 2019. Alih-alih ikut berantem di media social, anak muda tanah Blambangan malah meresponnya dengan cara unik yang membuat pembaca tulisan itu tertawa geli.
Tulisan lain yang tengah tren, misalnya, Aclak Keplak! (senggol bacok), Klemben yo Klemben, Roti is Roti, Bengen is Bengen, Saiki ya Saiki (Klemben adalah nama roti kering. Bengen artinya, dulu, jadi arti keseluruhannya, Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang). Atau, Tulisan lain umpamanya, Rainiro Leng, Ojo Aos! (wajahmu seperti celeng/babi hutan, jangan belagu).
Namun tak semua kaus Osing ditandai dengan tulisan di dada. Ada juga kaus yang hanya bergambar wajah lelaki memakai udheng (tutup kepala) khas Osing, atau hanya bertulisan nama produsennya. Sebutlah Osing Deles (Osing banget) dan Byek (wah), nama dua distro penyedia kaus khas Osing yang cukup popular di Banyuwangi.
Berkonotasi negatif
Kaus khas Osing muncul sekitar tahun 2011, ketika Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas mulai menjabat di periode pertama. Namun waktu itu, tulisan yang muncul di kaus masih jiplakan ide orang lain, misalnya I Love Banyuwangi.
Seiring dengan pembangunan wisata di kabupaten itu, ada orang mulai membuat kaus dengan bahasa Osing, tetapi tema tulisan masih seputar soal santet. Kaus yang pernah beredar disana umpamanya bertulisan Banyuwangi : The Santet of Java. Dulu, wilayah tersebut memang terkenal dengan ilmu teluh yang disebut santet.
Belakangan, kaus bertema santet yang justru memberi konotasi negatif kepada warga Banyuwangi mulai tergantikan istilah khas Osing. Toko oleh-oleh Osing Deles yang dibuka tahun 2013 termasuk yang kemudian tak lagi menuliskan kata santet di kaus buatannya.
Tulisan di kaus berubah menjadi umpatan khas Banyuwangi seperti celeng tapi biasanya disebut leng saja. Lainnya, berupa istilah sehari-hari yang biasa dipakai warga atau peribahasa. Dan, bergambar tertentu seperti lukisan artistik.
Omset miliaran
Febriana, Marketing Osing Deles yang ditemui Sabtu (19/10/2018) menjelaskan, peminat kaus unik tersebut amat besar. Ia menyebut angka penjualan kaus mencapai Rp 1,2 milyar per bulan. Tak mengherankan, sebab di hari terutama musim libur atau jika ada even besar seperti Festival Gandrung Sewu 2018, toko penuh wisatawan. Selain membuat kaus, Osing Deles juga membuat jaket bomber dengan lambang atau tulisan BWI (kependekan dari Banyuwangi). Harga kaus dan jaket dari Rp 100.000- Rp 250.000-an
Meski diserbu pembeli, Osing Deles tak menjual produk lewat penjualan daring. Mereka yang ingin membeli kaus tersebut harus datang ke dua toko di Jajag atau Jl Agus Salim Banyuwangi.
“Kami menjual nilai. Cara itu sekaligus untuk menjaga ekslusivitas barang kami,” jelas Febriana. Untuk membuat karya yang selalu segar dan khas, lima anak milenial Osing berusia 23-25 tahunan menjadi tim kreatif di perusahaan itu. Mereka membuat aneka tulisan, gambar dan model kaus yang perminggu selalu baru.
Peminat kaus khas Osing baik di Osing Deles maupun Byek mayoritas anak muda. Hari itu, dua wisatawan asal Bali, Hasbi (24) dan Andy Dwi Asmara (24) nampak asyik memilih kaus di Osing Deles. “Saya mau cari kaus kasual yang bisa dipakai nongkrong. Selain itu kaus bisa menjadi biukti kami pernah ke Banyuwangi,” ujar Hasbi. Senada dengan Hasbi, Andy juga menjadikan kaus sebagai bukti pernah ke Banyuwangi. Oleh karena itu ia mencari kaus dengan tulisan khas Banyuwangi.
Idola remaja
Kalau Osing Deles sudah punya usaha dalam skala besar, Byek milik tiga sekawan Akbar Wiyana (26), Aditya Catur Ginanjar dan Onky Reno Pangestu. Mereka mulai membuat lalu menjual kaus berbahasa Osing tahun 2016. Kaus produksi distro yang berada di kawasan Bakungan Banyuwangi itu menjadi idola terutama siswa SMA dan mahasiswa. “Mereka pangsa pasar terbesar kami, karena itu kami harus pandai membaca seleranya,” tutur Akbar.
Byek yang memproduksi sendiri kaus dan pengerjaan sablon di Banyuwangi lebih memilih gambar, warna kaus dengan tulisan simple. Warna dasar hitam dan putih masih menjadi favorit pembeli, tetapi mereka juga membuat kaus warna hijau, krem muda atau biru muda.
“Warna yang tidak umum justru dicari pembeli. Kadang-kadang saya tidak paham, tapi ya itulah tren pasar. Kalau soal tulisan, ada yang suka peribahasa begini, atau Byek saja,” lanjut alumnus Jurusan Akuntansi Universitas Negeri Malang itu sambil menunjuk kaus bertulisan Klemben is klemben, Roti is Roti. Bengen ya bengen, Saiki ya Saiki.
Selain memberi tulisan di dada, Byek membuat kaus bergambar wajah khas lelaki Osing lengkap dengan udheng, atau penjelasan tentang asal kata Osing dalam bahasa Belanda. Permintaan pasar yang lumayan besar membuat Byek akhirnya juga membuat tas dan topi bertulisan Byek. Harga kaus, topi dan tas berada di kisaran Rp 90.000 sampai Rp 125.000. Sekalipun menyediakan penjualan daring tetapi distro ini membatasi produksi tiap model sehingga pembeli sering harus berebut membeli produk mereka. Pembelinya selain dari Banyuwangi, terutama juga dari Bali dan Kalimantan.
Peminat kaus berbahasa Osing yang tak pernah surut membuat Akbar dan kawan-kawannya senang. “Tujuan kami mengenalkan bahasa Osing ke masyarakat luas dan membuat orang Osing bangga kepada dirinya sendiri, setidaknya mulai kelihatan,” kata Akbar.