Kumamoto yang Mulai Bangkit
Serupa, tetapi tak sama; sebuah frasa yang muncul apabila kita berbicara dari segi geografis tentang Indonesia dan Jepang. Sama-sama berada di wilayah Ring of Fire atau jalur rangkaian gunung berapi, Jepang kerap menghadapi bencana alam, seperti gempa dan tsunami, dengan frekuensi yang tinggi.
Akan tetapi, hal itu tidak menyurutkan orang Jepang untuk membangun negaranya, termasuk dari segi pertanian yang telah menjadi sektor penting bagi pembangunan ekonomi nasional Jepang.
Pada Agustus 2018 , saya mendapat kesempatan untuk magang di salah satu perusahaan pertanian terbesar di Jepang bernama Kinouchi Farm. Pertanian ini berlokasi di Kumamoto, sebuah prefektur yang terletak di tengah Pulau Kyushu.
Kumamoto memiliki julukan ”Hi no Kuni” atau ”Negara Api” karena letaknya di kaki Gunung Aso. Berpenduduk 741.000 jiwa, Prefektur Kumamoto terkenal dengan sistem pengelolaan air tanah terbaik di dunia, peringkat pertama dalam penghargaan United Nations Water Best Practice Awards.
Menariknya lagi, Prefektur Kumamoto menduduki peringkat kedua berdasarkan sensus penduduk sebagai kota yang memiliki jumlah petani terbanyak di Jepang.
Sebagian besar luas lahan di Kumamoto digunakan sebagai lahan pertanian demi menyokong pertanian Jepang yang didominasi komoditas pangan dan hortikultura. Ditambah dukungan luasan 20 persen lahan yang dijadikan sebagai kawasan hutan lindung, keduanya dirancang oleh pemerintah setempat sebagai sinergi antara pertanian dan alam.
Bangkit kembali
Saat pertama kali mendarat di Kumamoto, Juli 2018, wilayah ini sedang menggalakkan revitalisasi daerah seusai dilanda gempa hebat berkekuatan magnitudo 7 pada 16 April 2016. Bencana itu melumpuhkan infrastruktur dan lahan pertanian. Sebagian warga Kumamoto terpaksa mengungsi ke prefektur lain. Akibatnya, daerah ini minim sumber daya manusia.
Membangun daerah yang dilanda gempa bukan perkara mudah. Dua tahun terakhir, pemerintah daerah Kumamoto dan warganya bekerja sama membangun kembali roda perekonomian, utamanya di ranah pertanian. Kumamoto menggagas metode penanaman secara hidroponik dengan menggunakan teknologi pertanian terpadu dan sistem greenhouse tahan gempa.
Dukungan pemerintah pusat yang menerapkan beberapa strategi dalam membangun kembali pertanian di Kumamoto juga tidak main-main. Dukungan itu diwujudkan dalam beberapa program, seperti program dukungan finansial berupa investasi modal pertanian, pembangunan irigasi terpadu yang melibatkan banyak tenaga ahli, serta birokrasi peminjaman sarana pertanian yang sangat mudah, yang diprakarsai Japan Agriculture Cooperatives (JA) sebagai badan dari pemerintah untuk distribusi bantuan pertanian.
Antusiasme warga
Selain dukungan dari pemerintah, saya juga kagum terhadap antusiasme warga lokal untuk membangun kembali Kumamoto. Mental kerja keras dan semangat warga untuk bangkit kembali terlihat sangat luar biasa.
Rekan kerja saya di Kinouchi Farm, misalnya, Kotaro (34), mengatakan, rata-rata jam kerja yang dia habiskan per hari adalah 16 jam, itu di luar istirahat.
”Bekerja selama 16 jam tentu sangat melelahkan. Akan tetapi, ketika kita telah mencapai titik akhir kegiatan (panen), rasa lelah itu terbayar seluruhnya dan ada rasa bangga terhadap diri sendiri (perasaan membawa sumbangsih di ranah pertanian),” ujar Kotaro.
Selain antusiasme warga lokal, perusahaan-perusahaan pertanian di Kumamoto juga mempromosikan ranah pertanian kepada generasi muda agar mereka tertarik berkecimpung membangun kembali daerah itu.
Sejumlah perusahaan pertanian melakukannya dengan cara membuka peluang magang musim panas bagi mahasiswa Jepang ataupun internasional.
Kinouchi Farm, tempat saya magang, merupakan salah satu perusahaan yang turut serta merangkul mahasiswa dari berbagai latar belakang dan negara untuk ikut terlibat membangun pertanian di Kumamoto.
Menurut Direktur Kinouchi Farm Susumu Murakami, keterlibatan generasi muda yang antusias dalam kegiatan pertanian menjadi salah satu faktor penting untuk membangkitkan kembali pertanian di Kumamoto.
”Agar dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional, tentunya partisipasi dari generasi muda akan sangat diperlukan dalam mempertahankan serta meningkatkan produksi dari pertanian itu sendiri,” ujar Murakami.
Semangat gotong royong membangun Kumamoto pascabencana juga diperluas dengan meningkatkan nilai produk-produk hasil pertanian. Ambil contoh pada komoditas buah-buahan asal Kumamoto.
Selain mendistribusikan buah matang, produk olahan dari buah, seperti selai dan manisan, juga diproduksi menggunakan merek ala Kumamoto. Proses agroindustri dalam skala besar ini meningkatkan keuntungan perusahaan lokal Kumamoto rata-rata 300 persen per tahun.
Sinergi antara pemerintah, perusahaan, dan antusiasme masyarakat untuk bangkit kembali membangun daerahnya pascabencana merupakan hal luar biasa yang bisa dipelajari dari warga Jepang.
Hal itu terlihat, antara lain, dari banyaknya perusahaan di Kumamoto yang membuka peluang bagi anak muda internasional untuk magang.
Kesempatan bagus ini bisa diambil oleh mahasiswa dari Indonesia untuk mendulang pengalaman dan belajar langsung dari Jepang. Tak ada salahnya untuk dicoba, bukan?
Syifa Nabila, Mahasiswa Jurusan Agroteknologi Universitas Padjadjaran