Lampiaskan Marahmu!
Sakit hati bawaannya marah. Diputusin pacar bawaannya kesal. Banyak hal yang bisa membuat kita marah, emosi memuncak. Wajar sih. Akan tetapi, bagaimana kita melampiaskannya.
Ada yang langsung mencaci maki, membanting barang, dan sebagainya. Tetapi, ada cara yang lebih elegan dari sekadar menarik napas panjang, berdiam sesaat, dan sebagainya. Beda orang, beda cara melampiaskan kemarahan.
”Biasanya kalau saya, sih, sasaran pelampiasannya ke samsak (sand sack, karung pasir). Pukul-pukul sampai capek sendiri. Habis itu rasanya lega,” ungkap Daru Pradityo Fadjari (23), mahasiswa Jurusan Bisnis Universitas Prasetiya Mulya. Kebetulan dia ikut berlatih muaythai. Jadi kemarahannya dilampiaskan sembari berlatih.
Penyebab kekesalan, lanjutnya, bisa karena kalah main gim atau gara-gara kecewa terhadap sesuatu. Dia justru merasakan suatu ketika kekesalannya datang bersamaan waktunya dengan latihan muaythai.
”Pernah pas lagi latihan, mitra berlatih jadi cedera karena saya agak gila-gilaan menyerang dia,” katanya menyesal. Saat itu dia ingin melampiaskan kekesalan. Beruntung teman berlatihnya bisa memaklumi emosi Daru saat itu.
Selain itu, dia juga kerap melampiaskan kesesakan hatinya dengan berteriak keras-keras. ”Habis itu rasanya lega,” ucapnya.
Main piano
Wulan Dwiputri (21) memilih menenangkan diri dengan bermain piano. Mahasiswi Jurusan IT Bina Nusantara, Jakarta, ini menjadi merasa relaks dan hilang kesalnya seusai bermain piano. ”Kan suka, tuh, berantem sama pacar terus jadi kesal sendiri.
Ya, mending lari ke piano. Dengar suara piano rasanya jadi enak, lupa dengan kekesalan,” ujar Wulan, Senin (26/11/2018).
Cewek itu lebih memilih lagu klasik. Namun, dia terkadang bermain piano suka-suka hati, asal pencet, eksperimen sendiri, dan tahu-tahu malah menciptakan sepotong lagu.
Wulan yang sejak kecil suka bermain piano itu pun akhirnya bisa merasakan kemarahan dan kekesalannya terasa sirna. Malah tergantikan oleh perasaan adem sekaligus bangga terhadap diri sendiri karena bisa bikin lagu. Ada kebanggaan tersendiri yang lahir justru di saat hati terasa gundah gulana.
Sementara Lulu Fitriana (21) memilih kegiatan mewarnai untuk menumpahkan rasa kesal ataupun amarahnya. Mahasiswi Jurusan Akuntansi Indonesia Banking School ini kerap merasa kesal sendiri jika tugas kuliah menumpuk. Padahal, itu biasanya salah dirinya sendiri, tidak bisa mengatur waktu dengan baik.
”Jadi, sebetulnya marah sama diri sendiri,” kata Lulu. Beruntung ia mempunyai hobi mewarnai gambar. Kegiatan kreatif ini memerlukan konsentrasi sehingga secara otomatis bisa sejenak melupakan kekesalan yang dialami.
Biasanya dia menghabiskan waktu selama 30 menit hingga satu jam untuk mewarnai. Kalau sudah selesai, ada perasaan puas karena merasa sudah membuat karya seni. ”Seru, lho, memadukan warna-warna supaya kelihatan indah,” kata Lulu.
Setelah merasa lega dan relaks, Lulu mengaku lebih bisa menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Sirnanya kekesalan membuat kerja otaknya terasa lebih encer.
Peluang bisnis
Di antara banyak cara melampiaskan kemarahan dan kekesalan itu ternyata malah ada yang memanfaatkannya untuk bisnis. Temper Clinic di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, menyediakan sarana untuk melampiaskan kemarahan seseorang. Temper Clinic didirikan trio Masagus Yusuf Albar (Eron), Yanuarius Gavin Purwanto, dan Sherly Budi Kusuma.
Berbekal pengalaman iseng jalan-jalan ke luar negeri, Eron menyebut bisnis anger room alias ruang (untuk) melampiaskan kemarahan ini akhirnya diperkenalkan di Jakarta.
”Baru akhir Agustus lalu, kami bertiga sepakat untuk bikin bisnis ini. Kami sengaja sediakan berbagai fasilitas atau perangkat yang bisa dihancurkan untuk melampiaskan kemarahan.
Daripada marah-marah di jalan, kami ingin ’stop vandalisme’, menghancurkan fasilitas umum malah bisa merugikan diri sendiri dan membahayakan orang lain,” ujar Eron.
Klinik ini juga terbuka untuk mereka yang sekadar mencari kesenangan. Ide pendirian klinik ini tak lebih untuk menyediakan wadah penyaluran kemarahan di ruang tertutup yang terjaga keamanannya. Idenya berangkat dari kekesalan dan kemarahan yang akhir-akhir ini semakin mudah terlihat.
Kemarahan itu muncul akibat hal sepele, seperti menghadapi kemacetan lalu lintas, pekerjaan yang menumpuk, dan dikejar deadline, hingga banyaknya masalah pribadi, terutama terkait dengan percintaan. Bisa juga karena di kantor melihat bos, sepertinya enggak bisa kerja dan cuma main perintah.
Sejumlah paket ditawarkan untuk menggunakan ruang tersebut. Misalnya, pelanggan diberi waktu 10-15 menit untuk menghancurkan 10-20 botol untuk dipecahkan, dibanting sebagai sasaran kemarahan. Paket lain juga tersedia, seperti televisi atau monitor komputer dan mesin printer. Ya, semua disediakan untuk dihancurkan.
Mendengar terobosan bisnis ruang katarsis bagi kemarahan yang diciptakan anak-anak muda, pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, menyebut semakin canggih saja pemikiran anak-anak muda. Pasar memang berubah begitu cepat. Gaya hidup terus bermunculan sehingga antara kebutuhan dan keinginan yang dahulu terselubung kini mulai terungkap.
Rhenald mencontohkan kebutuhan terhadap esteem economy dahulu tidak terungkap. Kini, dengan adanya big data dan kamera digital, eksistensi manusia ada di dunia kamera dan ditangkap oleh media sosial, seperti Facebook dan Instagram.
Karena inovator tahu model bisnisnya, maka itu ”dibeli” masyarakat global dengan harga nol rupiah, tetapi pengusaha mendapatkan uang dari sumber lain.
”Pokok masalahnya adalah model bisnisnya. Apakah konsumen mau membeli pada harga yang ditawarkan? Sama seperti jasa penerbangan, kebutuhan ada untuk traveling. Lantas bagaimana kebutuhan untuk anger? Saya kira sama saja. Ada banyak titik simpul yang mungkin ditemukan dan bisa dibaca pengusaha akan adanya needs,” papar Rhenald.
Kemungkinan sekarang banyak orang lebih leluasa mengungkapkan kemarahan dibandingkan dengan masa lalu, yaitu di dunia maya. Padahal, kata Rhenald, di dunia riil mereka harus bertopeng, mengendalikan diri, dan sebagainya dalam berperilaku nyata.
Namun, intinya manusia membutuhkan katup pelepasan, coach yang siap mendengarkan dan membuka sumbatan-sumbatan jiwa dan mengarahkan apa yang harus dilakukan.
Menurut Rhenald, bukan sekadar membuka katup belaka. Sebab, mungkin juga banyak yang kesulitan mengeluarkan tekanan-tekanan yang dirasakannya.
Kalian masih mau marah dan butuh pelampiasan? Ruang kreatif masih begitu terbuka, tanpa harus merugikan diri sendiri dan orang lain. (OSA/*)