Kampanye "Sok Muda" Bukan Penentu Pilihan
Gaya berkampanye para kontestan untuk menarik perhatian generasi muda lumayan berhasil untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum mendatang. Namun, pemilih muda tidak mengacu pada materi kampanye untuk menentukan pilihan. Hal paling menentukan dalam menetapkan pilihan adalah rekam jejak dan kecenderungan pilihan orang tua atau keluarganya.
Kampanye bergaya muda yang sering kita temui seperti mengunggah materi kampanye dengan warna warni menarik ke media sosial, berswafoto dengan milenial, dan menciptakan lagu yang atraktif dengan menggaet artis muda. Populasi warga milenial memang sangat menggiurkan bagi konstestan yang akan bertarung pada Pemilu 2019.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memperkirakan ada sekitar 90 juta penduduk milenial, atau 34,45 persen dari total penduduk Indonesia. Tak heran, tidak sedikit para calon legislatif menampilkan citra sosok muda, kendati usia mereka berkata sebaliknya.
Sayangnya, upaya “sok muda” ini nyatanya mendapat respon terbelah dari 430 responden mahasiswa di 15 kota yang terekam dalam Jajak Pendapat Kompas Litbang ”Kompas” pada 1-2 Desember 2018. Separuh dari warga milenial menyukai gaya-gaya politisi yang “mendadak muda”. Bisa dari penampilannya, cara berkomunikasi, hingga hobi yang sama dengan anak muda.
Hasil jajak pendapat, 44,4 persen tidak suka cara-cara merebut suara milenial seperti ini. Pendapat kaum muda juga terbelah dalam menanggapi pentingnya upaya bergaya muda dilakukan para caleg.
Kesan muda pun tidak serta-merta menjamin keberterimaan caleg di kalangan milenial. Hasil jajak pendapat ini menunjukkan sekitar empat dari sepuluh responden muda menyatakan bahwa caleg berusia muda akan mempengaruhi pilihan mereka. Sekitar sepertiga responden muda lain berpendapat sebaliknya.
Inti jurus itu, caleg yang bisa mengenal, dekat dan memahami kebutuhan warga milenial akan lebih berpeluang merebut suara dari kelompok ini. Para caleg itu, menurut sekitar empat dari 10 responden, harus mendengarkan dan memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan generasi ini.
Setelah membangun kedekatan, program yang menarik juga bisa menjadi jalan masuk memikat pemilih muda yang terbiasa dengan informasi kreatif. Sejalan dengan itu pula, ciri anak muda zaman “now” tidak bisa jauh dari teknologi juga menjadi media ampuh untuk menyebarkan konten kreatif kampanye.
Tidak tertarik
Erfan Eke Lamawato, mahasiswa Program Studi Jurnalistik , Fakultas Ilmu Komunikasi, Universitas Media Nusantara, Tangerang berpendapat, gaya kampanye mendekati kaum milenial penting karena tahun depan pemilih pemula dan pemilih muda berjumlah jutaan.
"Lumayan penting karena mereka ingin menggaet suara kaum milenial. Makanya mereka perlu menyesuaikan diri. Ada perubahan pola pikir pemilih ketimbang dulu ketika belum ada media sosial," Eke, Senin (3/12/2018).
Dia yakin, calon wakil rakyat yang tidak mengikuti perkembangan zaman bakal ditinggal pemilih. Eke berpendapat, seorang pemimpin harus mampu menjangkau semua lapisan masyarakat agar dapat masyarakat dapat menilai yang paling baik.
Namun, saat ini masih banyak dari kaum muda justru tidak tertarik mengikuti perkembangan politik nasional saat ini. Mereka memang melihat baliho dan poster para konstetsan di tempat umum. Mereka juga mengetahui masa kampanye, berita di media massa, bahkan perdebatan antar konstestan di media sosial. Namun, semua itu tak menarik bagi mereka.
Amelia Ananda Putri, mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, IISIP Jakarta, mengatakan, sah-sah saja calon wakil rakyat memilih gaya berkampanye sesuai selera karena itu bagian dari strategi dia berkampanye. Akan tetapi, dia ingin agar calon wakil rakyat tidak mengeluarkan jurus kampanye hitam.
"Apa pun gaya dan cara calon wakil rakyat, tidak akan memengaruhi pilihan saya nanti. Alasannya, saya sudah menentukan pilihan dari sekarang. Pertimbangan saya lebih melihat performa dan kinerja si calon. Rekam jejak jauh lebih menentukan," kata Amelia.
Dia juga tidak terpengaruh dengan omongan orang lain bahkan pilihan keluarganya. Amelia tidak percaya dengan kontestan pemilu yang berapi-api omong besar saat berkampanye.
"Saya pilih yang bukan omdo (omong doang) dan latar belakangnya kuat. Kinerja selama ini, menjadi bukti kuat dia mampu menjalankan visi dan misinya," ujar Amelia.
Mahasiswa program studi Jurnalistik UMN lainnya, Yudisthira Swarabahana juga menilai sangat wajar jika para calon wakil rakyat mengincar suara kaum muda. Mereka yang tidak punya gaya kampanye yang dekat dengan kaum milenial, pada pemilu tahun depan mungkin akan gagal.
"Populasi pemilih muda dan pemilih muda sangat banyak. Lumrah jika semua mengincar suara mereka. Calon wakil rakyat harus mengedepankan visi misi mereka dan punya program yang jelas. Tambah pembahasan tentang substansi, bukan bicara gimmick melulu," kata Yudis tegas, Jumat (30/11/2018).
Menurut dia cara paling efektif dan mengena adalah lewat youtube. Para mahasiswa itu tegas menolak kampanye yang norak seperti menjatuhkan lawan plus menipu.
Pengamat politik LIPI, Wasisto Jati menilai, kampanye bergaya sok muda belum terbukti efektif. Para calon mengusung ideologi sedangkan kaum milenial lebih peduli dengan apa yang terjadi di sekitar mereka sehari-hari.
"Kamu muda sangat prihatin dengan isu keseharian seperti lapangan kerja terbatas, ruang publik menyusut, ketimpangan dalam banyak hal. Mereka bukan generasi yang peduli dengan isu politik," kata Wasisto.
Bergaya muda menurut Wasisto masih hanya simbol politik semata. Sama sekali tidak menyentuh substansi. Milenial dipandang sebagai strategi politik, bukan generasi muda.
Menggaet suara anak muda jaman sekarang memang bisa dibilang gampang-gampang susah. Bergaya “Sok Muda” belum tentu dipilih kalangan milenial, sementara bekal usia muda pun tak cukup meraih simpati mereka. Jadi, caleg seperti apa yang akan kamu pilih?
(TIA/**/MB. Dewi Pancawati/Litbang Kompas)