Yang Muda Yang Beraksi
Di sela kegiatan belajar, mengerjakan PR, juga bergaul, sejumlah pelajar bergulat dengan kamera membuat film yang keren. Tidak hanya bercerita dengan baik, tapi juga memiliki pesan yang kontekstual. Dari film, pelajar-pelajar di seantero negeri ini menggelorakan kreativitas dan nilai kebangsaan.
Kamera menampilkan seorang bocah duduk melantai memakai sepatu, siap ke sekolah. Sepulangnya, si bocah mengaji, atau bermain gim di rumah. Lalu, penonton dibawa ke cerita dia bermain wayang, dan pentas. Begitu penggalan film dokumenter pelajar ini.
Gibran Maheswara, bocah enam tahun, adalah nama tokoh yang diceritakan. Bukan Gibran Rakabuming anak Presiden Joko Widodo, meski keduanya sama-sama berasal dari Solo, Jawa Tengah. Gibran yang menjadi tokoh utama ini adalah siswa kelas 1 SD. Saat pengambilan gambar, dia malah masih siswa taman kanak-kanak.
Berbeda dari rekan seumurnya, Gibran menggemari wayang. Dia telah berlatih menjadi dalang sejak umurnya tiga tahun lebih beberapa bulan. Anak pasangan Agus Setiawan dan Fitri Handayani menggemari wayang, dan telah menjadi pendalang cilik. Meski begitu, Gibran tetap beraktivitas seperti anak-anak lainnya, sekolah, bermain, dekat dengan dunia digital, dan lainnya.
Keseharian Gibran ditampilkan dalam film dokumenter berdurasi 10 menit. Dengan memakai narator, dan wawancara dengan sang ayah, kisah Gibran diceritakan. Dari sekolah, hingga pentas. Kecil-kecil jadi dalang. Begitu kira-kira inti ceritanya yang ingin disampaikan. Inspiratif.
Film dokumenter ini adalah buatan pelajar SMKN 9 Surakarta. Enam orang siswa bekerja sama membuat film untuk pertama kali dengan memanfaatkan peralatan sederhana dan seadanya.
Jovani LP Christian (17), sutradara film, menceritakan, pembuatan film bukanlah sesuatu yang mudah. Syuting dilakukan sejak pertengah Mei, atau hampir enam bulan lamanya. Awalnya, mereka ingin membuat film tentang Sanggar Sarotama, yang mengajar anak-anak untuk mendalang. Setelah beberapa waktu, mereka mendapati Gibran, yang telah menyukai wayang sejak umur dua tahun.
“Kami lalu ganti skenario, fokus ke Gibran. Tapi kan tidak mudah ngambil gambar anak-anak. Nggak mau kalau lihat kamera,” cerita Jovani, akhir November lalu, di Jakarta. Dia dan rekan-rekannya akhirnya bersiasat, dan berusaha mengambil hati Gibran. Mengajak anak-anak lain bermain, dan berusaha untuk dekat secara personal dahulu.
Kami lalu ganti skenario, fokus ke Gibran. Tapi kan tidak mudah ngambil gambar anak-anak. Nggak mau kalau lihat kamera.
Bermodal dua kamera, Canon 3400D milik Jovani dan Canon 600D pinjaman, mereka mulai mengambil gambar. Selepas pulang sekolah, tim yang juga terdiri dari Imanusrin Firdhausi A, Ayu Siti Masyari, Krishana Ekka Angela, Anggita Cahya Ramadani, dan Desti Sripraka ini, mendatangi sanggar, atau rumah Gibran. Mereka dibimbing oleh guru mereka, Sapto Sayoga.
Mereka mengambil gambar apa yang dilakukan oleh si bocah ‘ajaib’ itu, tanpa ada skenario. Dari berangkat ke sekolah, bermain bola bersama teman, mengaji, atau sekadar santai di rumah. Tidak lupa tentunya saat latihan di sanggar, dan pentas. Total ada 250 Giga Byte rekaman video yang dikumpulkan, dikurasi, disusun, hingga menjadi film berdurasi 10 menit.
“Kami memang tidak ada skenario, pokoknya apa keseharian Gibran itu yang kami ambil. Nah Karena mau ngambil pentas, kai harus nunggu sampai ada jadwal pentas. Kan gak mungkin nyetting pas pentas, butuh biaya berapa tuh,” cerita Jovani.
Suatu waktu, dia diinfokan jadwal pentas Gibran di suatu lokasi. Dia segera ke sana bersama rekannya untuk mengambil gambar. Karena Hanya diberitahu nama kampungnya, dia sibuk mencari keramaian.
“Pas ketemu yang ada panggung, kami masuk. Eh ternyata kondangan, ha ha,” cerita Jovani terbahak.
Pas ketemu yang ada panggung, kami masuk. Eh ternyata kondangan, ha ha...
Pengalaman-pengalaman seperti itu membuat dia dan rekannya mengerti arti kerjasama, menyatukan ide, juga saling menghargai. Dari situ, lahirlah karya yang ingin menunjukkan anak muda sekarang tetap mengharga budaya dan sejarahnya, tetapi tidak ketinggalan dengan perkembangan teknologi.
Usaha mereka terbayar tuntas. Film ini diganjar dua penganugerahan berturut-turut. Semuanya dari Kemendikbud. Terakhir, akhir November lalu, mereka memenangi lomba Gelar Karya Film Pelajar kategori film dokumenter.
Berlatar budaya
Film juga menjadi media bagi siswa-siswi SMKN 1 Anjatan, Indramayu, Jawa Barat, untuk menarasikan budaya setempat. Lewat film, anak-anak di sekolah ini mengambangkan kekayaan budaya, kreatifitas dan kemampuan aktualisasi.
Anastasya Wulandari (16), siswi kelas X ini menceritakan, baru saja ikut akting dalam film pertamanya. Dia Berperan sebagai seorang ibu-ibu tukang rumpi di film besutan kakak kelasnya di Jurusan Broadcasting. Film itu berjudul Topeng.
Bermain dalam film membuatnya deg-degan sekaligus semangat. Kesukaannya dengan kamera dan Dunia film mempunyai saluran. Meski tidak berminat terjun di dunia peran, dia bercita-cita menjadi kameran handal.
“Dari dulu suka foto, tertarik sama kamera. Pengennya jadi kameramen terkenal nanti,” tuturnya. Sebuah kamera DLSR tidak lepas dari genggamannya.
Imam Maulana, Kaprodi Jurusan Broadcasting, sekaligus pembimbing Anastasya dan rekan-rekannya, menuturkan, murid-murid begitu antusias membuat film dengan alur yang profesional. Mulai dari mencari ide, membuat naskah, produksi, hingga pascaproduksi. Apalagi, salah satu tugas akhir saat menginjak kelas XII adalah membuat karya film.
Beberapa tahun terakhir, tambah Imam, tema besar yang dibuat siswa adalah budaya lokal. Dari seni tari, musik, hingga dangdut diembat. “Kami dari tahun 2007 di sekolah sudah mulai bikin film. Tapi waktu itu belum ada jurusan Broadcasting. Kami berharap ke depan siswa-siswa dari sini menjadi orang di balik layar produksi. Menjadi tenaga terampil dengan spesialisasi khusus,” jelas Imam.
Pesan cinta
Pesan cinta tanah air juga dikaryakan lewat film oleh pelajar SMK Syubanol Waton, Magelang. Sebuah film berjudul Peci Ireng (peci hitam) menjadi karya mereka. Film ini menceritakan seorang siswa bernama Bambang. Saat membersihkan kamar, di asrama, dia mendapat sebuah kain merah putih penuh debu. Hatinya bergejolak. Sebab, merah putih bukan sekadar kain, tetapi penuh makna.
“Kami ingin menampilkan kisah kebangsaan seorang santri. Karena selama ini santri diidentikkan dengan aksi teror, atau hal lain yang tidak menunjukkan cinta tanah air. Kami ingin mengubah itu, lewat Peci Ireng. Peci yang dipakai semua pemimpin bangsa,” tutur Ahmad Farhan Azmi (17), sutradara film, merangkap director of photography.
Film dipilih menjadi sarana untuk menyebarluaskan narasi itu, jelas Ahmad, Karena merupakan media yang gampang dicerna dan diakses oleh generasi muda. Terlebih, generasi millenial seperti saat ini, sangat sering mengakses internet untuk mencari hiburan atau informasi. Ahmad dan rekan-rekannya berusaha mengisi hal itu.
Usaha mereka juga tidak gampang. Dengan akifitas padat di asrama, para siswa Kelas XII ini memanfaatkan waktu kosong. Setelah belajar hingga shalat Dhuhur, dan mengaji sampai pukul 14.00, mereka hanya memiliki sekitar dua jam waktu untuk mengambil gambar. Sebab, sore hingga pukul 21.00, mereka ada kegiatan lagi.
“Terus gak boleh keluar asrama. Jadi syutingnya di sekitar sekolah. Adegan upacara juga kami ambil pas upacara beneran, he he,” kata Ahmad.
Proses editing mereka lakukan di atas pukul 21.00 hinnga lewat tengah malam. Kerja keras mereka dianugerahi film terbaik untuk kategori fiksi di Gelar Karya Film Pelajar Kemendikbud 2018. Lewat film mereka bergerilya menyuarakan kretifitas dan kebersamaan.