Selama Mesin Pintar Tak Bisa Melawan Preman...
Teknologi digital terus melakukan lompatan. Baru saja kita tercengang oleh kecerdasan buatan, sekarang kita harus bersiap menghadapi tantangan otomasi industri. Fenomena ini membuat sebagian anak muda optimistis, sebagian lagi pesimistis melihat masa depan.
Di sebuah pabrik besar di Jawa Tengah, mesin-mesin cerdas terus mencetak ribuan produk. Keluar dari mesin produksi, robot-robot memilah produk yang memenuhi standar dan mengemasnya. Produk yang telah dikemas selanjutnya diangkut forklift yang dijalankan oleh sensor ke gudang penyimpanan.
Selama satu-dua jam di pabrik itu, hanya ada seorang tenaga kerja yang sedang memeriksa mesin yang macet. Pabrik itu memberikan ilustrasi yang nyata bagaimana era Revolusi Industri 4.0 (revolusi industri tahap empat) telah hadir di sini. Revolusi 4.0 ditandai dengan otomasi yang melibatkan mesin dan kecerdasan buatan.
Teknologi baru ini di satu sisi memberi harapan, di sisi lain membuat banyak orang khawatir, terutama jika mesin-mesin cerdas itu akan mengambil alih sebagian besar pekerjaan manusia. Kekhawatiran itu tertangkap dalam survei Litbang Kompas di kalangan anak muda yang umumnya lebih akrab dengan teknologi digital. Hasil survei yang digelar pada 1-2 Desember 2018 itu, menunjukkan, 72,3 persen anak muda khawatir dengan masa depannya akibat disrupsi teknologi digital.
Dari responden yang khawatir, 58,8 persen berpendapat, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan akan semakin ketat. Sisanya, khawatir jika semua aspek kehidupan berbasis pada teknologi digital, hidup kita akan diatur oleh mesin pintar. Hanya 27,7 persen responden yang mengaku tidak khawatir dengan masa depannya. Alasannya, mereka merasa punya kemampuan untuk memetik keuntungan yang ditawarkan teknologi baru.
Survei diikuti 430 responden berusia minimal 16 tahun di 15 kota di Indonesia yang dipilih secara acak, dengan tingkat kepercayaan 95 persen.
Di antara anak muda yang khawatir dengan disrupsi teknologi digital adalah Alan (27), mahasiswa jurnalistik sebuah perguruan tinggi swasta di Palembang. Ia merasa tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk bersaing dengan anak muda lainnya untuk mendapatkan pekerjaan di era digital. Ia mengaku tidak mendalami teknologi digital dan belum memiliki rencana di masa depan.
Sebaliknya, Arif Nain (28) yang tinggal di ujung utara Indonesia justru begitu optimistis menghadapi masa depan di era serba digital. Ia bercerita, di kampungnya Desa Sepempang, Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, internet baru masuk tahun lalu dan kualitas jaringannya semakin baik tiga bulan yang lalu. Sejak saat itu, ia rajin mengunggah video pendek dan foto-foto Natuna yang instagramable ke media sosial. Dari situ, ia bisa menggaet wisatawan domestik maupun mancanegara untuk datang ke Natuna.
“Dulu banyak yang tanya, Natuna itu Indonesia apa Malaysia? Sekarang mereka bertanya, bagaimana cara ke Natuna, he he,” kata Arif yang biasa dipanggil Naen, Senin (10/12/2018).
Sikap optimistis juga disampaikan Apolonia Ineru Bahali (26), anak muda dari Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur. Saat ini, ia bekerja sebagai kontributor sebuah stasiun televisi. Jika suatu suatu saat perusahaan tempatnya bekerja mati gara-gara disrupsi teknologi baru, ia berencana memanfaatkan kemampuannya membuat konten digital yang bisa dimonetasi.
Banyak peluang
Disrupsi teknologi--ketika teknologi baru menggeser teknologi lama berikut tatanan yang mapan--dalam sejarahnya memang selalu memacu harapan sekaligus memicu kecemasan. Banyak orang memprediksi, di masa depan sebagian pekerjaan manusia, terutama yang bersifat rutin dan berpola--akan diambil alih oleh mesin cerdas. Namun, pekerjaan yang melibatkan kreativitas, ide, emosi, empati, dan etika tidak akan tergantikan oleh mesin.
Selain itu, era digital juga menyediakan peluang-peluang baru bagi bagi anak muda yang punya keahlian khusus di bidang teknologi internet atau konten kreatif. Peluang itu ditangkap oleh Henry Jufri, anak muda yang hanya sekolah sampai Kelas IV SD. Dulu ia bekerja sebagai kuli panggul di Pelabuhan Soekarno-Hatta, Makassar, Sulawesi Selatan. Kini, ia menjadi pengembang gim dan aplikasi.
Ia mengaku baru mengenal internet tahun 2012 di warnet dekat rumahnya. Dia langsung takjub melihat kecanggihan internet, terutama mesin pencari Google. Ia pun mengetik kalimat pertamanya di laman Google, "cara menghasilkan uang dari internet".
Google memberi banyak jawaban, salah satunya adalah menjadi bloger. Henry pun belajar membuat blog, belajar mengoptimalkan mesin pencari atau SEO, belajar digital marketing, dan membaca aneka buku tentang internet. Dua tahun kemudian, ia sudah menjadi blogger dan mendapat penghasilan pertama dari Google sebesar 100 dollar AS.
Ia semakin terpacu mengoptimalkan internet dan mulai melirik dunia gim. Ia belajar mengembangkan gim dari komunitas dan tutorial di internet. Berkali-kali ia gagal, hingga akhirnya berhasil. Ia kini telah menghasilkan 400-an gim dan aplikasi. Dari situ ia mencetak uang mulai jutaan hingga ratusan juta rupiah.
Di Tangerang Selatan, Banten ada seorang tukang vermak jins bernama Sumarno yang kini beralih profesi sebagai youtuber. Konten akun youtube-nya Jamblang Studio masih berkaitan dengan profesi lamanya, yakni tutorial cara menjahit dan membuat pola baju atau celana. Akun itu sekarang memiliki 41.000 pengikut dan telah menghasilkan uang.
Mesin vs preman
Berbekal keyakinan bahwa tidak semua pekerjaan akan diambil alih mesin, Melki (23), lulusan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta, berani menatap masa depannya. "Di era digital, toh masyarakat masih tetap membutuhkan petani atau nelayan," ujar Melki yang berencana suatu saat akan pulang ke Pamekasan, Madura untuk menggarap empat hektar ladang pertanian miliki orangtuanya.
"Saya mau menjadi petani, tetapi petani yang modern dan memanfaatkan teknologi. Saya akan mengatur pola tanam komoditas, menggunakan internet untuk tahu harga komoditas, dan memanfaatkan jaringan untuk memotong peran tengkulak."
Ia yakin rencananya akan berhasil. Hambatan yang akan menghadangnya, menurut Melki, bukan teknologi, melainkan sepak terjang tengkulak yang beraksi seperti preman. "Tapi preman hanya bisa dihadapi oleh manusia. Apakah mesin pintar itu bisa mengatasi premanisme? Kalau bisa, saya mungkin tak akan pernah bermimpi untuk bertani. Serahkan saja semuanya pada mesin pintar."
Transisi
Sosiolog FISIP Universitas Gadjah Mada Arie Sujito menilai, wajar jika banyak orang--termasuk anak muda--ada yang optimistis dan pesimistis menghadapi disrupsi teknologi. Pasalnya, kita masih berada di fase transisi. Ketika kita masih tergagap-gagap menjalani revolusi tahap tiga, kita sudah harus melangkah ke revolusi tahap empat.
Arie melihat, banyak anak muda yang sudah melangkah ke era teknologi baru, namun kebanyakan belum sanggup mentransmisikan teknologi ke dalam kultur dan cara pandang baru. "Sebagian baru memonetisasi teknologi dan menggunakan teknologi monetisasi. Akibatnya kalau sudah banyak uang bingung karena tidak punya mimpi lain yang lebih besar."
Kultur dan cara pandang baru yang bisa dikembangkan, menurut Arie, misalnya mengaitkan kegiatan ekonomi dengan misi-misi sosial. Hal ini sudah mulai dilakukan oleh anak muda yang menjadi usahawan sosial. Jika gerakan ini terus membesar, hasilkan akan sangat luar biasa. Kesejahteraan akan semakin terbagi ke banyak orang. (JAL/TRI/VDL/BSW/LITBANG KOMPAS).