Sebuah pesan siar tentang penerimaan guru tidak tetap berseliweran dari satu grup ke grup perbincangan lain di aplikasi pesan instan, Senin (17/12/2018). Pesan itu menginformasikan adanya penerimaan guru dengan Surat Keputusan Gubernur, lengkap dengan gaji bulanan, dan tunjangan. Isi pesan menganjurkan orang untuk segera mendaftar lewat sebuah alamat surat elektronik.
Ardi (26) tertarik dengan informasi itu. Setelah ia simak, ia gembira tapi juga was-was mendapatkan pesan itu. Di satu sisi dia curiga informasi itu tidak benar, tetapi di sisi lain dia berharap pesan itu benar. Ia pun berusaha memeriksa kebenaran pesan itu.
Ia pun menanyakan informasi itu kepada rekannya yang bekerja di Dinas Pendidikan setempat. Informasi yang pertama dia dapatkan adalah kemungkinan besar itu adalah berita bohong. Namun, dia tetap berharap agar informasi itu benar. Dia baru yakin informasi itu bohong setelah mendapat banyak konfirmasi.
“Saya sudah terbiasa dapat berita bohong atau informasi tidak akurat. Lebih baik tahu kalau itu tidak benar daripada kena tipu,” tutur guru honorer di Sulawesi Selatan yang tahun sebelumnya gagal dalam penerimaan CPNS.
Apa yang dilakukan Ardi memang akumulasi dari berbagai kejadian. Dia tidak ingin gampang percaya dengan pesan berantai di media sosial. Apalagi ada data yang memperlihatkan, sekitar 800.000 berita bohong tersebar dalam satu tahun lewat dunia maya.
Ami Wati (19), mahasiswi UIN Walisongo Semarang, Fakultas Dakwah dan Komunikasi ini juga pernah memercayai informasi yang yang disebarkan oleh seseorang. “Tanpa pikir panjang ikut-ikutan nge-share ke media sosial. Semuanya dianggap sudah benar. Padahal karena hal itu, seseorang yang tidak bersalah bisa terlihat bersalah,” kata Ami.
Belajar dari pengalaman itu, ia berusaha mengecek kebenaran sebuah pesan yang belum jelas kebenarannya. Caranya dengan memperbanyak literasi dan melek media sehingga tidak asal percaya dan membagi berita ke sana kemari,” ucapnya.
Cosmas Canarios (19), mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti menceritakan, saat ini dia selalu berusaha berprasangka baik terhadap sesuatu dan memeriksa kebenaran kabar sebelum disebar. Hal itu sangatlah penting untuk mencegah misinformasi dan termakan berita bohong.
“Bahkan ini adalah bagian dari ajaran agama. Jangan mudah terbawa perasaan terhadap kabar yang mengagetkan, cobalah untuk tenang dan menggunakan akal.
Klasifikasi
Berita bohong, bahkan berita benar yang tidak tepat, bisa memakan korban dari segala jenis umur. Asal berita tiba lewat berbagai medium, terutama gawai, maka informasi itu melesap bersama preferensi seseorang.
Penelitian dari Stanford University medio 2016 lalu menemukan, generasi digital native atau generasi yang lahir di zaman digital, mudah terpengaruh apapun berita di dunia maya. Padahal, generasi ini dianggap fasih dengan teknologi digital.
Penelitian yang dilakukan selama 18 bulan dan melibatkan 7.804 responden dari siswa sekolah menengah hingga mahasiswa di ASmenunjukkan, 80 persen responden dari sekolah menengah gagal membedakan konten berita dengan konten iklan di media. Mereka menyangka konten iklan adalah sebuah berita.
Tidak hanya itu, hampir empat dari 10 siswa sekolah menengah percaya bahwa kerusakan fasilitas nuklir di Fukushima, Jepang, membuat bunga menjadi aneh. Hal itu diperoleh dengan menunjukkan sebuah foto bunga di situs berbagi foto. Padahal, foto tersebut tidak menunjukkan sumber dan lokasi foto.
Di tingkat SMA, responden dihadapkan pada tes melihat sumber berita. Mereka diperlihatkan dua sumber berita yang asli dan yang mirip. Hasilnya, 30 persen di antaranya beragumen bahwa akun palsu jauh lebih bisa dipercaya karena memiliki sejumlah elemen yang mendukung.
“Hal ini mengindikasikan, bahwa siswa ini lebih melihat konten daripada sumber berita. Meski mereka fasih dengan media sosial, tapi mereka tidak menyadari hal dasar untuk memverifikasi sumber berita,” tulis peneliti, seperti disadur dari laman ed.stanford.edu.
Laras Sekarasih, dosen Psikologi Sosial Universitas Indonesia menjelaskan, bias informasi bisa terjadi pada semua kalangan umur.Setiap orang dengan preferensi masing-masing cenderung senang dengan informasi yang sesuai preferensinya.
“Informasi yang begitu banyak ini membuat orang lupa untuk memverifikasi. Apalagi kalau informasi itu sesuai dengan prasangka atau keyakinan awal. Tapi juga sebaliknya. Mereka akan marah jika informasi yang diterima tidak sesuai preferensi,” tutur Laras.
Tidak ada cara lain, tambah Laras, orang harus meningkatkan kemampuan literasi media, sadar akan informasi, dan mau mengevaluasi kualitas dari informasi yang diperoleh, agar mereka tidak tersesat.