Resolusi, Ada yang Tercapai dan yang Tak Tergapai
Dari tahun ke tahun, menjelang pergantian tahun, sebagian orang biasa bikin resolusi. Ada yang yang mematok target lulus sidang skripsi, ikut wisuda, punya gebetan baru, menurunkan berat badan, sampai dapat beasiswa.
Tapi, tidak semua resolusi bisa diwujudkan. Ketika tahun berganti ternyata resolusi tinggal resolusi. Target ikut wisuda buyar, skripsi nggak rampung juga, berat badan malah naik terus, mendapat gebetan baru tinggal impian.
Mereka yang gagal memenuhi resolusinya mungkin kecewa. Tapi selalu ada pelajaran yang kita petik dari sebuah kegagalan. Yang gagal mungkin satu, tapi yang berhasil banyak.
"Saya bersyukur sebagian besar resolusi tahun 2018 tercapai. Satu yang belum, yakni punya pasangan hidup," kata Rezky Devi Ananti, mahasiswa Fakultas Ekonomi, Universitas 17 Agustus Semarang, Rabu (26/12/2018).
Rezky menilai, semua targetnya selama ini masih kuat unsur duniawinya, seperti mendapat pekerjaan menyenangkan, posisi dan gaji naik, serta dapat membantu kedua orangtuanya. "Tahun depan tentu saja saya ingin lebih baik lagi plus dapat pendamping, hidup he he," ujarnya.
Achmad Tegar Pribadi, mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta, juga bisa melewati tahun 2018 dengan perasaan lega. Resolusi dia untuk dapat IPK tinggi tercapai karena nilai ujian dia A semua. Bonusnya, target mendapat beasiswa juga tercapai.
"Sebagai bagian dari paket beasiswa selama setahun, saya mesti menjalani pendidikan ala militer di Akademi Militer di Magelang. Pengalaman seru karena mendapat teman dari seluruh Indonesia. Selain itu, saya dapat pacar, dia sesama penerima beasiswa dan kami menjalani pelatihan bareng," ucap Tegar riang.
Target lain yakni menjalani program magang di perusahaan media nasional. Namun, dia ada target lain yang lolos dari genggaman yakni kuliah selesai dalam waktu 3,5 tahun. Dia juga gagal memulai bisnis sendiri. "Jadi, semester depan saya akan rampungkan kuliah berikut skripsi dan segera bekerja atau mulai usaha," katanya.
Agak berbeda dengan Iqbal, mahasiswa program studi Pendidikan Sosiologi dan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Semarang. Dia terbiasa menjalani hidup cenderung santai dan mengalir apa adanya. Dia jarang membuat resolusi. Namun, ada sebagian keinginannya yang terwujud tahun 2018.
"Saya ingin lebih aktif dan melebarkan sayap ke berbagai jejaring komunitas dan kedua hal itu tercapai. Akan tetapi, ada yang dikorbankan yakni batal ikut KKN karena waktunya berbarengan dengan magang. Saya pribadi tidak menyesal karena dari jejaring komunitas itu pertemanan saya bertambah luas dan saya belajar merencanakan serta menyelenggarakan acara ," ujarnya.
Gagal ikut KKN tidak terlalu membuat dirinya kecewa. Yang kecewa justru kedua orangtuanya. Hal itu membuat Iqbal sedikit sedih. Mereka membandingkan Iqbal dengan teman-teman seangkatannya yang telah merampungkan KKN. Bagi mereka selesai KKN berarti lebih dekat dengan akhir studi.
Iqbal juga gagal mendaftarkan proposal skripsinya karena alpa membaca informasi waktu pendaftaran. "Pengumuman informasinya telat saya baca. Ada tiga mata kuliah tersisa dan pernah saya ambil tetapi waktu itu saya sering tidak masuk sehingga tidak lulus. Sementara urusan KKN serta skripsi saya kejar semester depan," ucap Iqbal yakin.
Mahasiswa lainnya, Ryan adi Putera dari jurusan Manajemen Komunikasi, Fakultas Ilmu Komunikasi, IISIP Jakarta juga gagal menyelesaikan studi pada 2018. Dia harus mengulang beberapa mata kuliah. "Saya beruntung tidak terlalu dikejar target oleh orangtua. Papa memberi saya kelonggaran karena tahu kemampuan saya dan tahu saya mengetahui apa yang terbaik buat saya. Hanya mama yang sibuk mengejar saya cepat selesai kuliah," ujar Ryan.
Selain itu, ambisi Ryan lain yang meleset adalah gagal masuk tim kumite karate. "Saya gagal karena stamina kurang. Saya sering begadang gara-gara aktif di kegiatan elektronik sport. Kalau sudah main, pasti lupa waktu. Padahal, besoknya latihan, otomatis stamina saya turun," ucap Ryan.
Menurut psikolog Adib Setiawan, pendiri Yayasan Praktik Psikologi Indonesia (YPPI) di Bintaro, Jakarta, resolusi itu perlu karena bisa memberikan motivasi. Jika motivasi untuk meraih keinginan tercapai pasti kita senang. Namun, mencapai resolusi itu juga tergantung potensi dan usaha si pelaku. Kalau dia pemalas dan suka menunda, resolusi apa pun pasti gagal.
"Jadi, jika resolusinya realistis, kemauannya kuat, tekun, usahanya giat, mustahil resolusinya buyar," kata Adib.