Hiburan Ringan Ada di Genggaman
Menonton film di bioskop memberi sensasi tersendiri yang tak tergantikan: ruang gelap, tata suara menggelegar, dan jadwal pemutaran yang ketat. Sementara menonton lewat jaringan internet (streaming) memunculkan kecanggihan teknologi, mulai dari rekomendasi judul sesuai kebiasaan, hingga melilbatkan penonton ke dalam alur cerita.
Black Mirror: Bandersnatch adalah film yang sedang diperboncangkan banyak orang sekarang ini. Film yang diproduksi dan ditayangkan di jaringan Netflix ini baru ditayangkan mulai 28 Desember silam. Bisa jadi, Bandersnatch adalah inovasi termutakhir di jagat perfilman masa kini.
Sejatinya layanan film streaming memungkinkan penontonnya untuk berinteraksi. Penonton bisa memilih film yang hendak disimak. Selain itu, penonton juga bisa menentukan penggunaan bahasa, baik audio maupun teks dialog (subtitle) sesuai keinginan. Penonton juga leluasa menentukan jeda (pause), dan melanjutkan lagi tanpa perlu mengingat di menit keberapa tayangan dihentikan. Semua sudah diatur sistem.
Nah, film Bandersnatch ini istimewa. Ia hendak mengikat interaksi penonton lebih jauh dari urusan tersistem itu. Film produksi Inggris ini memungkinkan penontonnya untuk menentukan sendiri alur ceritanya.
Sepanjang film, kita disodori berbagai pilihan. Setiap pilihan mengandung konsekuensi masing-masing, yang berdampak pada jalinan cerita. Serunya lagi, kita cuma punya waktu sepuluh detik untuk menentukan pilihan. Jadi, seperti yang sudah diperingatkan di awal film, jangan jauhkan remote control dari jangkauan.
Beberapa pilihannya terkesan remeh-temeh, dan seolah nggak terlalu penting untuk terlalu dipikirkan. Seperti di menit-menit awal film, penonton diminta menentukan kaset apa yang sebaiknya diputar di Walkman Stefan si tokoh utama. Pilihan kaset itu akan jadi obrolan pada menit-menit berikutnya.
Metode seperti itu mengingatkan kita pada beberapa buku cerita tentukan-sendiri-petualanganmu. Penulis Intan Paramadita pernah memakai cara ini dalam novel teranyarnya Gentayangan: Pilih Sendiri Petualangan Sepatu Merahmu (2017). Sejumlah gim video juga memakai cara ini.
Cara interaktif seperti itu boleh saja dianggap sebagai bumbu untuk menarik minat penonton. Tapi, kalau dipikir-pikir, metode interaktif ini sebenarnya sejalan dengan cerita filmnya.
Bikin frustasi
Stefan, diperankan Fionn Whitehead, adalah seorang programmer pengembang gim video. Berlatar tahun 1984, Stefan sedang menyusun permainan terbarunya yang diadaptasi dari buku bermetode pilih-sendiri-petualanganmu berjudul Bandersnatch. Proposal proyek itu diterima oleh perusahaan pengembang gim Tuckersoft yang dikepalai Mohan Thakur (Asim Chaudry).
Di perusahaan itu pula, Stefan bertemu dengan programmer idolanya, Colin Ritman (Will Puolter). Alih-alih bekerja di kantor Tuckersoft, Stefan yang penyendiri, memilih mengerjakan proyek itu di rumah yang ia tinggali bersama ayahnya. Di sinilah konflik itu dimulai.
Semakin tekun Stefan mengerjakan proyeknya, dia terlarut di dalamnya. Dia terjebak dalam pusaran pikiran yang ia ciptakan sendiri di kepalanya. Ditambah lagi, Stefan punya trauma masa kecil dengan sang ayah. Dia punya isu kesehatan mental.
Stefan harus membuat pilihan-pilihan untuk mengurai masalahnya. Hal itu sejalan dengan penonton yang “dipaksa” membantu Stefan menentukan pilihan. Dengan remote control di genggaman tangan, penonton mengawasi semesta film, dan punya kuasa menentukan nasib tokoh-tokoh di dalamnya. Ini menyenangkan sekaligus agak mengerikan.
Nuansa pengawasan semacam ini pernah diimajinasikan oleh penulis George Orwell dalam novel terkenalnya berjudul 1984. Agaknya bukan kebetulan kalau Charlie Brooker dan David Slade (penulis dan sutradara) memilih latar waktu film ini di tahun 1984.
Normalnya, satu alur film ini akan selesai dalam waktu sekitar 90 menit. Namun, pembuatnya merancang lima skenario akhiran (ending) film. Penonton yang penasaran bisa mundur ke titik-titik tertentu pencabangan alur, yang ditandai tawaran pilihan. Rasa penasaran itu berpotensi menjebak penonton ke adegan yang berulang. Awas, salah-salah pilih, kita malah jadi terjebak di labirin cerita, seperti halnya Stefan yang frustasi dengan proyeknya.
Romansa masa kini
Bandersnatch adalah sempalan dari rangkaian film serial Black Mirror. Serial ini pertama kali mengudara di tahun 2011 dan kini telah memasuki musim keempat. Setiap episode di serial ini berdiri sendiri, tidak dalam rangkaian cerita panjang berkesinambungan. Namun, setiap episodenya punya nuansa serupa, yaitu kengerian yang mungkin ditimbulkan dari kecanggihan teknologi.
Episode “Hang the DJ” di musim keempat, contohnya. Episode itu menceritakan pasangan-pasangan yang dipertemukan lewat aplikasi kencan. Berdasarkan rating pengguna aplikasi, durasi kencan mereka ditentukan oleh kecerdasan buatan (artificial intelligence) yang tertanam di aplikasi itu.
Jadi, jika kisah percintaan klasik era Romeo dan Juliet, maupun Siti Nurbaya ditentukan oleh latar belakang keluarga, maka epos romansa di era informatika ini ditentukan oleh sistem algoritma. Mengerikan, bukan?
Kalau suka dengan “kengerian” di era informatika, bisa juga menyimak serial You (2018). Serial dengan 10 episode di musim pertama ini berkisah tentang penjaga toko buku bernama Joe Goldberg (Penn Badgley). Dia jatuh cinta, dan terobsesi, dengan konsumennya, Guinevere Beck (Elizabeth Lail). Joe memanfaatkan media sosial untuk memantau gerak-gerik Beck.
Film lainnya yang juga menonjol adalah The Night Comes for Us (2018) besutan sutradara Timo Tjahjanto. Film yang dibintangi, antara lain oleh Dian Sastrowardoyo, Julie Estelle, Joe Taslim, dan Iko Uwais ini bercorak aksi dengan sisipan adegan sadis. Ini adalah film Indonesia pertama yang diproduksi Netflix.
Tentu masih ada banyak banget judul film tersebar di beragam penyedia film streaming. Selain Netflix, ada Iflix, Hooq, Hulu, Viu, Maxstream, dan lainnya. Dengan kuota internet yang cukup, kita leluasa memilih tontonan yang kita mau. Namun, kalau sudah mulai jengah membuat pilihan menonton, ada baiknya kembali ke bioskop, karena pilihan filmnya jauh lebih sedikit.(HEI)