Sahabat Beda Agama
Hidup di negeri yang majemuk seperti Indonesia, perbedaan latar belakang itu soal biasa. Anak-anak muda berikut ini membuktikan, perbedaan latar belakang suku, agama, dan bahasa tidak jadi penghalang untuk menjalin persahabatan.
Khoizuron Syakira, mahasiswi Jurusan Desain Interior Fakultas Arsitektur, Desain dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya terlahir dari ayah dan ibu yang bersuku Madura. Ia kebetulan bersahabat dengan seorang teman bersuku Dayak.
Icha tahu, pada 2001 warga beretnis Madura dan Dayak pernah terlibat konflik berdarah di Kalimantan. Meski tak mengalami sendiri konflik itu, ia tahu betapa mengerikannya pertikaian berlatar perbedaan etnis. Karena itu, ketika Icha dan sahabatnya tahu latar belakang etnis masing-masing, mereka kaget.
“Ia berkata, kita mestinya musuhan ya,” tutur Icha mengawali cerita tentang persahabatannya dengan teman kuliahnya.
Pada awalnya ia merasa khawatir melihat gadis Dayak yang ia sebut berwatak keras dan pemberani itu. “Semua orang termasuk kakak angkatan pun ia lawan. Ia juga jago main basket dan aktif di banyak kegiatan,” jelas Icha tentang temannya itu.
Icha mengaku agak khawatir melihat keberanian kawannya itu. Ia sempat berpikir bagaimana nantinya menjalani empat tahun masa perkuliahan bersama gadis itu. Seiring perjalanan waktu, Icha kemudian menjadi lebih tahu kepribadian temannya. “Ternyata dia baik, orangnya memang berwatak keras tapi hatinya baik sekali. Dia juga membantu aku menyelesaikan tugas kuliah,” tambahnya.
Relasi di antara keduanya makin akrab setelah Icha mengajaknya ke Madura untuk melihat beberapa tempat wisata termasuk makan bebek sinjay yang tersohor. “Kata teman saya, ternyata Madura itu panas tapi indah,” kata anak bungsu dari empat bersaudara itu.
Kisah persahabatan lain yang mengharukan datang dari Riss Diana Revira Surga dan Gita. Keduanya berbeda agama, Diana muslim yang berhijab, sedangkan Gita penganut Kristen Advent. Persahabatan di antara mereka terjalin sejak keduanya kuliah di Jurusan Akuntansi Universitas Gunadarma Depok.
“Dulu kami satu indekos. Justru karena itu saya tahu cara hidup penganut Advent, misalnya dia ke gereja tiap Sabtu, lalu ada puasa juga. Dia tidak makan hewan yang hidup di dua alam,” urai Diana.
Sebaliknya Gita juga makin paham tentang agama Islam.Saat masih tinggal bersama di indekos, Diana dan Gita sering saling menemani. “Di bulan puasa, dia menemani aku sahur dan buka puasa. Kami bersama-sama keluar rumah membeli makanan. Ketika menjelang tidur, dia memejamkan mata, berdoa, nah aku harus diam,” katanya.
Belajar Adat
Pengalaman agak berbeda dialami Justinus Prawatyo, mahasiswa Jurusan Destinasi Pariwisata Sekolah Tinggi Pariwisata Bali. Tinggal di antara mayoritas warga Bali yang Hindu, membuat cowok yang punya panggilan Joe ini makin paham kehidupan orang Bali.
“Ternyata penganut Hindu Bali punya jam ibadah waktu tertentu misalnya jam 3 dan jam 9. Saat waktu itu tiba di kampung-kampung ada bunyi seperti bel bergemericing,” tutur cowok asal Jakarta ini.
Ia menikmati hidup di tengah warga Bali yang sangat menghormati penganut agama lain, misalnya dirinya yang beragama Kristen Katolik. Sahabatnya yang orang Bali kerap mengajak ke rumahnya. “Saya diajak ikut upacara potong gigi atau peresmian pura keluarga. Ada khotbah juga dan isinya sejuk di hati,” kata Joe.
Satu-satunya yang sampai sekarang ia belum pahami adalah bahasa Bali. Sebagai anak muda yang berbahasa ibu bahasa Indonesia, telinga dan lidahnya belum bisa memahami bahasa Bali.
Hidup di lingkungan berbeda juga dialami Odilio Erly Susanto. Tumbuh di Purwokerto, pernah bersekolah di Seminari Mertoyudan Magelang dan SMA Pius Tegal, ia kini kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang.
Sebelumnya, dia juga punya banyak teman berbeda suku dan kepercayaan, tetapi mereka umumnya punya kebiasaan dan pandangan yang hampir sama. Namun, di lingkungan kuliah perbedaan itu kian tajam dan kentara, mulai dari cara berpikir, cara berbicara, sampai cara pandang dalam menghadapi persoalan.
"Sebagai orang Jawa, saya terbiasa menghadapi orang yang bicara memutar dan berbelit-belit hanya untuk menyatakan tidak suka. Sementara, beberapa teman keturunan Tionghoa misalnya, enteng saja berbicara langsung. Itu membuat saya kaget," ujar Odi.
Dia juga terkejut manakala teman-teman keturunan Tionghoa menganggapnya tak bisa diajak berdiskusi apalagi berbisnis. Bahkan, ketika dia membuka usaha pun dia dingggap mendapat sokongan dana dari orang lain, bukan sebagai pemilik usaha.
Begitu pula dalam hal finansial seperti memberi utang. Odi sering memberi utang kepada orang lain karena menilai orang tersebut sedang membutuhkan bantuan. Dia tidak meributkan waktu pengembalian dan jumlah uang yang dikembalikan.
"Sebaliknya, teman-teman keturunan Tionghoa saya mengganggap utang bagian dari bisnis sehingga waktu pengembalian dan bunganya mereka hitung juga. Semua harus jelas,"ucap Odi.
Begitulah, alih-alih mencari-cari perbedaan, mereka berusaha mencari persamaan, yakni keinginan untuk bersahabat. (TIA)