Arti Ketulusan Persahabatan
Persahabatan. Itu mungkin terdengar klise. Tapi bentuk hubungan antarmanusia semacam ini terasa lebih tulus, dan jujur tanpa tedeng aling-aling. Film-film berikut ini menggambarkan dengan baik hubungan antarsahabat tanpa memusingkan ras, orientasi seksual, apalagi pilihan politik.
“Jadi, kalau aku tak cukup hitam, dan aku tak cukup putih, dan aku tak cukup jantan, katakan padaku Tony, siapa aku?!” kata Don Shirley (diperankan Mahershala Ali), yang berkulit hitam kepada Tony Vallelonga (Viggo Mortensen), pria kulit putih keturunan Italia.
Dialog itu adalah salah satu momen paling dramatis di dalam film Green Book (2018), besutan sutradara Peter Farelly. Sebelumnya, Tony menggugat identitas Don karena sebagai seorang berkulit hitam, dia seharusnya akrab dengan musik-musik dari Little Richard, Sam Cooke, dan Aretha Franklin. Pada kenyataannya, Tony lebih hafal musik bercorak R & B, soul, dan doo-wop itu.
“Aku tahu siapa diriku. Aku tinggal di Bronx sepanjang hidup bersama ibu, ayah, saudara, dan kini ada istri dan anak. Sedangkan kamu, Mr Big Shot, hidup di istana, keliling dunia tampil untuk orang-orang kaya. Aku hidup di jalanan. Kamu duduk di singgasana. Ya, duniaku lebih hitam daripadamu,” sembur Tony.
Sindiran Tony itu membikin Don mencak-mencak. Dia menyuruh Tony menepikan mobil Cadillac DeVille yang ia supiri di sebuah malam pekat di pedalaman Lousiana. Don ngambek, dan keluar dari mobil hijau-kebiruan itu. Tony, yang merasa berkewajiban memastikan tur itu berjalan mulus, berusaha menerima kekesalan Don.
Aku tahu siapa diriku. Aku tinggal di Bronx sepanjang hidup bersama ibu, ayah, saudara, dan kini ada istri dan anak. Sedangkan kamu, Mr Big Shot, hidup di istana, keliling dunia tampil untuk orang-orang kaya. Aku hidup di jalanan. Kamu duduk di singgasana. Ya, duniaku lebih hitam daripadamu.
Drama di film itu berpusat pada hubungan dua laki-laki berkarakter kontras tersebut. Mereka hidup di era pemisahan berdasarkan warna kulit ada di titik didih. Pada dekade 1960-an itu, ada buku berjudul The Green Book yang berisi daftar restoran dan penginapan yang menerima kaum kulit hitam di seantero Amerika Serikat.
Don adalah seorang pianis dan komposer musik. Label rekamannya merancang tur bagi band Don Shirley Trio ke daerah pedalaman selatan Amerika Serikat. Tony, petugas keamanan di sebuah pub, disewa sebagai supir, sekaligus pengawal. Keduanya bertualang bareng dalam satu mobil selama delapan pekan, dipandu “buku hijau”; bukan Google Maps, maupun Waze.
Don ini bergelar Doktor, seorang ahli tak hanya di bidang musik klasik dan jazz, melainkan juga filsafat dan psikologi. Dia tak banyak omong. Gerak-gerik dan perkataannya tertata apik. Kesembronoan bisa merusak suasana hatinya. Dia juga seorang gay, walau tidak tergambar banyak dalam adegan.
Sementara itu, Tony adalah wujud dari hal-hal yang tidak dimiliki Don. Tony yang tegap itu berbicara ceplas-ceplos. Tata krama, termasuk dalam urusan makan, adalah hal yang jauh darinya. Dia bisa menghabiskan 26 hot dog dalam satu jam demi memenangi taruhan 50 dolar. Uang itu dia serahkan kepada Dolores, istrinya yang diperankan Linda Cardelllini sebagai uang belanja bulanan. Ya, Tony berkepribadian hangat, dan romantis.
Salah satu dialog yang banyak dikenang penonton adalah soal makanan itu. Tony mengenalkan pada Don bahwa memakan ayam goreng tanpa alat makan itu enak dan menyenangkan. Itu terjadi ketika mereka singgah di Kentucky, kota yang melekat di salah satu merek restoran ayam goreng itu.
Benturan-benturan karakter itulah yang menghidupkan film ini; menghibur, sekaligus mengharukan. Walau terlahir berbeda, Don dan Tony bisa bersekutu dengan baik. Mereka saling membela ketika salah satu dari mereka mendapat ancaman, baik fisik maupun verbal.
Cerita manis film ini adalah kisah nyata dua orang tersebut. Disebutkan di akhir film, mereka tetap bersahabat hingga akhir hayat—mereka meninggal di tahun 2013. Film ini dinominasikan di kategori bergengsi Best Picture di ajang Oscar tahun ini.
Pengasuh
Bernafas serupa dengan Green Book, saat ini juga sedang tayang film The Upside (2017) di jaringan bioskop nasional. The Upside juga menceritakan kisah persahabatan dua lelaki berbeda warna kulit. Bedanya, film The Upside lebih tradisional. Pria kulit hitam ada di kelas sosial yang lebih rendah.
Alkisah, jutawan Phillip Lacasse (diperankan Brian Cranston), penulis buku kiat bisnis rintisan, menderita lumpuh dari penyakit quadriphelgia. Dia membuka lowongan mencari pengasuh, yang bertugas untuk memindahkan dari kasur ke kursi roda, menyuapi makan, memandikan, dan banyak lainnya.
Salah satu pelamar itu adalah Dell Scott (Kevin Hart). Dell ini adalah kriminal kambuhan. Dia sedang menjalani masa percobaan. Oleh petugas pengawasnya, Dell diminta untuk memenuhi syarat pembebasan murni, yaitu dengan melamar kerja. Dengan gaya slebornya, Dell mendaftar di lowongan yang dibuka Phillip, sebagai syarat formalitas belaka.
Ternyata, sudah bisa diterka, Phillip kepincut dengan karakter Dell yang terbuka, dan terlihat gigih, meski belum sekalipun berpengalaman sebagai pengasuh. Untuk mengasuh anak dan istrinya saja Dell tidak becus. Tapi upah dari kerjaan itu sangat menggiurkan.
Phillip, yang hidupnya bergelimang kemewahan tapi terpaku di kursi roda melihat “dunia lain” yang ceria berkat pengaruh Dell. Sebaliknya, Dell yang hidupnya berantakan jadi lebih perhatian kepada keluarga kecilnya setelah terbiasa mengasuh Phillip.
Film The Upside ini juga berdasarkan kisah nyata. Film besutan Neil Burger ini adalah remake dari film Perancis berjudul The Intouchables di tahun 2011.
Mungkin dua film itu bakal cocok bagi kalian yang haus kasih sayang menyongsong hari valentine, tapi tidak punya pasangan. Jangan sedih, persahabatanmu juga pantas dinikmati dan diperjuangkan.