Memburu Sneaker Brand Lokal dan Luar yang Semakin Diminati
Sneaker tak hanya digemari sebagai alas kaki yang keren, modis, nyaman, dan casual. Sneaker juga tak sekadar sepatu, tetapi juga gaya hidup, bahkan kini jadi investasi yang menggairahkan anak-anak muda.
Pecinta dan pemburu sneaker tumpah ruah di salah satu ajang yang ditunggu-tunggu yakni Jakarta Sneakers Day (JSD). Sejak dibuka di hari pertama di Atrium Hall, Senayan City, Jakarta, pengunjung selalu tampak antri. Tak mudah untuk bisa sampai di lantai 6 Senayan City sebagai pintu masuk JSD 2019 pada Kamis-Minggu (8-10/2/2019). Hal ini menjadi bukti jika pencinta dan pemburu sneaker memang selalu penasaran dengan tren sneaker yang ditawarkan di Indonesia.
Ajang JSD 2019 yang mengambil tema "The Rise of Sneaker Culture" jadi menarik karena banyak menghadirkan sneaker dengan merk lokal atau local brand. Pada Kamis (8/2/2019), antrian yang mengular terlihat mencolok di depan booth Compass. Demi mendapatkan koleksi Compass Bravo yang hanya diproduksi 100 pasang, sebagai kolaborasi Compass dengan influencer Brian Notodihardjo atau akrab disapa Bryant.
Kebangkitan sneaker di Indonesia, bukan hanya dari pengguna dan pecinta sneaker atau sneakerhead yang membeludak. Kebangkitan budaya sneaker ini pun menumbuhkan peluang baru, munculnya brand lokal yang memproduksi sneaker lokal, salah satunya di Bandung. Permintaan sneaker pun tumbuh yang membuka peluang munculnya retailer maupun penjual resale, termasuk dari kalangan mahasiswa.
Rama Febriansyah, mahasiswa Universitas Diponegoro, Semarang, beruntung bisa memburu sneaker di ajang JSD karena bertepatan dengan jadwal libur kuliah. Rama memburu koleksi sneaker merk VAST dan Compass karena sedang digemari. Tak disangka, dia dapat give away atau undian berhadiah sneaker Saucony.
Menurut Rama, dia rajin berburu sneaker, karena melihat peluang bisnis yang bagus. Dia menyebut dirinya sebagai pendatang baru. “Sneaker yang limited edition digemari, termasuk yang lokal seperti Compass. Lumayan kan bisa dapat keuntungan Rp 100.000 saja, sudah bisa nambah uang jajan. Kalau yang laku banyak, berarti kan uang tambahan banyak,” kata Rama yang berjualan di IG @Godspeed.id.
Sementara itu, M Helmy, karyawan di Jakarta, mengaku suka sneaker karena bagian dari fashion. “Saya suka fashion, ya baju dan sepatu. Di JSD, memang fokus untuk mencari sneaker yang keren,” ujar Helmy yang berbelanja tiga pasang sneaker dengan total sekitar Rp 2,5 juta. Dia sudah punya 10 pasang sneaker.
Pilihan sneaaker yang semakin beragam, termasuk dari local brand, membuat pengunjung semakin banyak pilihan. Mau harga ratusan ribu rupiah, namun tetap dengan kualitas dan model yang oke, hingga yang harga jutaan rupiah, tersedia. Brand-brand luar negeri seperti Nike,misalnya, masih menjadi incaran utama dalam acara ini.
Menabung
Tobi, mahasiswa Universitas Atama Jaya yang tinggal di Serpong, Tangerang Selatan, mengaku rajin hadir di JSD untuk berburu model sneaker terbaru. Dia mematok budget sekitar Rp 2 juta untuk belanja.
Tobi mengaku sangat menyukai brand Puma. “Model sepatu Puma memiliki ciri khas tersendiri dari sepatu impor yang lain. Saya datang ke acara JSD ini membudgetkan sekitar Rp 2 juta, nabung dari uang jajan. Memang tidak terlalu besar untuk ukuran penggila sneakers. Saya kan masih mahasiswa, jadi uang masih terbatas,” tutur Tobi.
Siswa MAN 4 Jakarta, Bahtera, mengatakan dia menyisihkan uang jajan sejak tahun lalu untuk membeli sneaker di JSD. “Tadinya nggak terlalu tertarik dengan sneaker. Karena liat kakak gemar sneaker dan pernah ke acara seperti ini, saya jadi tertarik. Tapi orang tua bilang, kalau untuk beli koleksi pribadi, harus dari uang tabungan sendiri,” ujar Bahtera yang membeli sepasang sneaker merk Puma seharga Rp 1,3 juta.
Padahal, Bahtera sudah punya tiga pasang snekaers, termasuk dari merk Nike tipe Jordan. “Dipakainya untuk jalan-jalan,” kata Bahtera.
Selera sneaker tiap orang memang berbeda. Hilman, karyawan IT di daerah Kuningan, Jakarta, mengaku dia penggemar berat Nike. Hilman menyebut dirinya dengan sebutan “Nike minded”. Tak tanggung-tanggung, Hilman rela menghabiskan uang sebesar Rp 5 juta untuk setiap acara seperti ini.
“Brand utama yang saya incar dalam acara ini pastinya Nike. Saya memang sangat suka nike karena memang modelnya bagus dan beragam,” ujar Hilman.
Ajang JSD penuh dengan tawaran menarik model sneaker dan pernak-perniknya yang mampu meruntuhkan hati pecinta sneaker . Ada banyak booth untuk cuci mata hingga menemukan model sneaker yang pas di hati dan di kaki, baik untuk dipakai sehari-hari maupun untuk menambah koleksi yang bernilai investasi.
Berburu sneaker idaman hati tak mesti dari booth. Di arena JSD juga nampak sejumlah orang yang membawa sneaker di atas kotak sepatu sambil berkeliling. Mereka menawarkan sneaker dengan model dan edisi terbatas yang sudah dipakai, bahkan ada yang baru, yang bisa ditawar. Banyak di antaranya mahasiswa yang kemudian mencari peluang dari berjualan secara daring di instagram.
Kakak-beradik Terrence Ersada yang kuliah di Taiwan dan adiknya Delon Arihta Cendera yang kuliah di China menjajal JSD di hari pertama untuk menjual sneaker koleksi mereka. Delon yang awalnya memulai jualan sneaker secara daring lewat akun IG @psy.kicks.id berhasil membujuk kakaknya untuk jualan di JSD.
“Jualannya harus muter-muter, nggak boleh diam di satu tempat. Saya Cuma ikut aja adik sama sepupu. Pas kebetulan pulang ke Jakarta karena rayain Imlek kemarin. Ternyata seru juga,” kata Terrence.
Untuk resale di JSD tahun ini, Delon membawa snekaer Adidas Ultra Boost LTD Gold yang dibeli di Taiwan seharga Rp 3,5 juta. Sepatu ini belum pernah dipakai. Lalu, ada juga sneaker Adidas Rick Owens Runners Black yang dibeli langsung dari Italia, yang baru dua kalidi pakai, dan dilepas di kisaran Rp 4,5 juta.
“Saya memang suka sneaker, sekalian untuk invest juga. Lumayan untuk nambah uang jajan. Kadang-kadang harga ritel lebih murah lho dari resale, apalagi kalau koleksinya terbatas. Tapi kadang, yang kita kira bisa mahal resale-nya jadi turun, tidak ada value, karena ternyata restock,” ujar Delon.
Kebangkitan budaya sneaker memang nyata di Indonesia. Influencer dan desainer yang berkolaborasi dengan Compass, Bryant, mengatakan produk lokal dengan harga murah, kualitas ok, yang tidak kalah dr produk luar, sudah banyak. Harga yang ditawarkan pun ada yang di bawah Rp 500.000, terjangkau bagi banyak kalangan.
Bryant merasa bangga karena hanya dalam waktu 1 jam 20 menit, sneaker yang didesainnya kerja sama dengan Compass, sudah sold out di hari pertama. Satu pasang sneaker yang didesain dengan selera Bryan yang suak dengan model army, dijual seharga Rp 368.000.
“Perkembangan sneaker sudah pesat, apalgi di Jakarta. Dari brand luar berkembang dan yang lokal juga tak kalah. Memakai sneaker itu kayak cermin dari diri sendiri. Saya beli atau makai sneaker yang sesuai dengan kita, seperti menunjukkan identitas kita yang sebenarnya. Sekarang ornag suka denganmodel yang simple dan bisa dipakai sehari-hari,” kata Bryant.
Pecinta sneaker tak hanya berhenti dengan membeli sneaker. Pernak-pernik lain mulai dari tali sepatu, alat pembersih sepatu, dan pernak-pernik cantik lainnya juga diburu. Termasuk pula meng-custom snekaer yang dibeli.
Jonathan Toya, desainer dari Never Too Lavish Hard, mengatakan banyak pecinta snekaer yang meminta agar sneaker kesayangan mereka di-custom atau dilukis. “Ada yang minta dilukis wajah, atau kartun kesayangan,” kata Jonathan.
Jonathan menyebut umumnya pemilik sneaker Nike Air Jordan yang suka dengan tawaran custom. Ada yang minta diganti dengan kulit ular atau ada yang dilukis. Tak murah untuk jasa ini, dari kisaran Rp 3,5 juta hingga Rp 6 juta, sesuai custom yang diinginkan.
“Sepatu sudah mahal, tetap aja ingin dibuat beda. Begitulah pecinta sneaker saat ini,” ujar Jonathan. (*)