Jangan Takut, Ini Cuma Film Horor
Film horor berupaya mengusik akal sehat manusia. Teror itu bisa muncul dari makhluk jadi-jadian, arwah penasaran, bahkan bayangan diri sendiri. Walau menyeramkan, orang-orang tetap suka. Mungkin karena teror di luar film lebih menakutkan.
”Mereka serupa dengan kita. Mereka berpikir seperti kita. Mereka tahu di mana kita berada…. Mereka tidak akan berhenti hingga membunuh kita atau kita membunuh mereka,” ucap Adelaide Wilson di film Us (2019).
Adelaide (Lupita Nyong’o) bersama suaminya, Gabe Wilson (Winston Duke), serta dua anaknya, Zora (Shahadi Wright Joseph) dan Jason (Evan Alex), harus menghadapi teror ketika mereka tengah liburan keluarga. Pada suatu malam, vila yang mereka tempati didatangi empat sosok yang amat mirip mereka.
Kunjungan mendadak itu jelas bukan bertujuan ramah-tamah belaka. Keempat sosok yang memakai baju montir warna merah menyala itu memaksa masuk rumah. Setiap mereka membawa gunting. Itulah teror yang harus mereka hadapi, juga ”harus” dilahap penonton hingga film usai.
Keempat sosok itu bukan hantu atau dedemit yang bangkit dari kematian. Mereka lebih mirip seperti bayangan masing-masing keluarga Wilson. Bayangkan, ada bayangan dirimu, atau kopian dirimu, tapi bertindak tak sesuai keinginanmu, justru mengancam membunuhmu.
Keempatnya berupaya bertahan hidup dari serangan mereka. Sialnya, ”bayangan” itu tak hanya milik keluarga Wilson. Kota pantai di Santa Cruz, California, tiba-tiba diserang ”bayangan” masing-masing warganya. Suasananya kacau-balau.
Itulah kengerian yang hendak dipaparkan sutradara dan penulis naskah Jordan Peele lewat film terbarunya ini. Film ini seperti berbeda dengan kebanyakan film horor lainnya, yang umumnya menghadirkan hantu ataupun arwah penasaran sebagai pangkal ketakutan.
Peele merongrong kenyamanan penonton dengan adegan upaya pembunuhan. Ada banyak kekerasan di sini. Warna merah darah bercipratan di mana-mana. Untungnya, efek suara yang dipakai tak terlalu bikin kaget. Gambar dan naskah yang kuat adalah muasal kekagetan itu. Bertahanlah sampai film berakhir, ada kejutan besar di sana.
Di bioskop-bioskop saat ini juga sedang tayang film Pet Sematary. Ini adalah film gubahan dari novel bikinan masternya horor, Stephen King. Dulu, film berjudul sama pernah dibikin tahun 1989. Film itu sukses besar sampai dibuatkan sekuelnya yang keluar tahun 1992.
Kelebihan film ini, seperti biasa tergambar dalam karya Stephen King, maupun sutradara Kevin Kölsch dan Dennis Widmyer adalah tumpuannya pada logika. Mitos yang tersisip di bawahnya berperan sebagai pengutak-atik akal sehat. Menarik, bukan?
Tokoh Dr Louis Creed (Jason Clarke) dan istrinya, Rachel (Amy Seimetz), berpola pikir kekotaan. Rasionalitas mereka harus berhadapan dengan logika pedesaan, yang diwakili Jud Crandall (John Lithgow). Anak pertama pasangan itu, Ellie (Jeté Laurence), adalah penyambung dua dunia beda kutub itu.
Upaya menyambungkan kedua kutub itu menciptakan ketegangan yang sering mengejutkan. Kejutan semacam itulah yang disukai orang.
Kehidupan sesudah kematian yang disuguhkan film ini bermula dari kematian kucing kesayangan keluarga Creed bernama Church. Kucing malang yang mati misterius itu dimakamkan Jud di sebuah perbukitan sakral. Tak lama sesudahnya, Church ternyata kembali ke rumah dengan perangai berbeda.
Plot film ini mudah ditebak. Kematian Church membawa kematian-kematian lain, yang lalu ”dibangkitkan” kembali. Mereka ”hidup lagi” menjadi makhluk mengerikan.
Kejahatan serius
Film horor lainnya yang kami tonton pekan ini adalah produksi dalam negeri berjudul Sunyi (2019). Ini adalah remake dari film Korea berjudul Whispering Corridors produksi 1998.
Walau bersumber dari film asing, rasanya isu yang diusung film besutan sutradara Awi Suryadi ini menggejala di sekitar kita. Pesan dari film ini jelas: perisakan atau bullying adalah kejahatan serius, dan itu terjadi di sekolah-sekolah.
Bullying adalah horor tersendiri. Dalam film, kengerian itu ditambah lagi dengan kemunculan hantu-hantu di SMA Abdi Bangsa. Alex Pranoto (Angga Yunanda) adalah murid baru di sekolah yang katanya bergengsi itu.
Di balik keberhasilan sekolah mencetak alumni yang sukses, ada kebiasaan plonco yang dianggap sebagai tradisi. Itu menakutkan, bukan? Lebih menakutkan lagi adalah ”ketidakberdayaan” kepala sekolah menghentikan kebiasaan itu.
”Sebenarnya saya tidak setuju dengan kegiatan ini (plonco) ini. Tapi ini sudah tradisi. Awasi saja, jangan sampai kelewatan,” begitu kira-kira yang disampaikan Ibu Kepala Sekolah kepada guru olahraga yang mendampingi siswa senior ”menindas” murid baru. Ngeri banget. Ada kegiatan yang menggencet siswa baru, tapi didampingi guru.
Film ini berlatar tahun 2000. Entah apa alasannya pembuat film menetapkan tahun itu sebagai latar waktu. Mungkin hendak memberi pesan bahwa perploncoan dengan kekerasan fisik sudah tak terjadi lagi sekarang. Betulkah?
Kengerian nyata itu seperti diabaikan naskah. Kematian janggal dua siswa tak diusut dengan benar—setidaknya enggak ada adegan yang menunjukan itu. Alih-alih mengupas isu kekerasan di sekolah, penonton justru dibuat terkaget-kaget dengan kemunculan para hantu: lewat efek suara, juga tata rias. Hantunya buruk rupa, jauh dari gambaran seluruh siswa-siswi sekolah yang semuanya ganteng dan cantik dan kurus.
Jangan mengharapkan ada ending yang mencengangkan seperti film Us. Di sini, hal-hal dibuat hitam-putih, yang baik mengalahkan yang jahat. Jadi, enggak usah maksa nonton sampai akhir kalau memang ada keperluan lain.
Penonton film-film horor ini banyak juga. Film besutan Awi Suryadi lainnya, Danur 2: Maddah tahun 2018, adalah salah satu yang terlaris. Film itu menarik 2,5 juta penonton. Ada empat film hantu-hantuan lain di tahun 2018 yang mencetak angka di atas satu juta penonton adalah Jailangkung 2, Sabrina, Kuntilanak, dan Sebelum Iblis Menjemput.
Selain Sunyi, ada banyak film horor yang mengantre jadwal tayang pada tahun ini. Beberapa di antaranya adalah #Malam Jumat The Movie, Arwah Noni Belanda, Pocong The Origin, Sekte, dan film impor The Curse of Weeping Woman.
Kenapa, sih, orang-orang pada suka nonton film horor?
”Saya dari kecil udah biasa melihat hal-hal gaib karena ternyata memang turun dari orangtua. Saya baru menyadarinya ketika kelas 4 SD. Dari situ saya mulai menyukai hal-hal seperti itu,” kata Rainer Harari Wijaya, pelajar berumur 16 tahun ini.
Rainer mungkin belum nonton film Sunyi. Sebab, dia bilang lebih suka film horor luar negeri daripada yang diproduksi di Indonesia. Alasannya, film produksi luar negeri dia anggap punya jalan cerita yang bagus dan terasa lebih nyata.
Namun, ada juga yang terpaksa nonton film horor walaupun sebenarnya penakut. Nuha Mufidah, mahasiswi, adalah salah satunya. Dia emoh nonton film horor sendirian karena sering terbayang adegannya.
”Saya nonton (horor) kalau diajak pacar, atau teman yang enggak enak menolaknya,” katanya. Betul juga, sih. Apa pun filmnya, pacaran di bioskop memang asyik. He-he-he.…
Rasa penasaran
Fenomena anak milenial suka nonton film horor, di mata psikolog klinis Dinastuti banyak berkait dengan pola marketing lewat media sosial yang begitu gencar dan keinginan remaja serta dewasa muda melihat sesuatu yang tren agar tak ketinggalan isu dan disebut kudet (kurang update).
Dalam pandangan Dinastuti, bisa jadi selama film bisa memunculkan rasa penasaran baik dari berita atau marketing apa pun genrenya pasti akan banyak yang tertarik menonton. Apalagi strategi marketing saat ini termasuk media sosial menentukan jumlah penonton. ”Usia penonton sepertinya terkait sasaran marketing juga,” ujar Dinastuti yang mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya Jakarta ini pada Selasa (16/4/2019).
Ia menambahkan, umumnya remaja dan dewasa muda tidak hanya tertarik menonton film horor, tetapi apa pun yang sedang tren di kalangan mereka, yang referensinya kebanyakan dari media sosial. ”Mereka menonton film yang sedang tren kemungkinan karena tidak mau ketinggalan informasi (=FOMO atau fear of missing out, kudet=kurang update), karena butuh diterima oleh lingkungan dan tidak mau terkucilkan,” lanjutnya.
Soal reaksi di dalam bioskop yang acap kali jejeritan (ini umum dilakukan oleh penonton cewek), saat menonton, menurut Dinastuti, barangkali juga bisa jadi bahan diskusi dan isi media sosial mereka nanti, walau hal itu tak hanya untuk film horor.
Di sisi lain, ia menduga, mungkin ada juga yang menjadikan menonton film horor sebagai ajang uji nyali karena penilaian positif dari lingkungan agar dianggap berani atau keren. ”Itu mereka butuhkan sebagai bagian dari cara mereka bergaul dan mencari jati diri,” tambah Dinastuti.
Dan kemungkinan lain, ada orang yang memang menonton film horor untuk rekreasi atau hiburan karena memang suka dan bisa menikmati ketegangan yang dihasilkan. Saat merasa ketakutan, biasanya detak jantung meningkat dan muncul adrenalin, yang bagi sebagian besar orang bisa jadi semacam reward atau hal yang positif dari menonton film horor. (*)