Belanja secara daring bukan lagi hal asing bagi anak muda saat ini. Belanja daring begitu mudah dan banyak pilihan. Plus tawaran aneka diskon besar, ongkos kirim gratis, dan masih ditambah hadiah gratis pula. Godaan itu makin besar ketika selebritas idola mengiklankan produk tersebut.
Godaan belanja tidak hanya dari market place, tetapi juga dari media sosial, seperti Instagram, kemudian dari aplikasi ojek. Semua menawarkan kemudahan dalam pemesanan dan pembayaran serta pengantaran. Semua hal itu membuat kita pun lemah menahan diri. Sampai akhirnya pikiran selalu fokus dengan keinginan berbelanja. Saking tergila-gila belanja, tanpa sadar kita menghabiskan banyak uang yang sesungguhnya diperlukan untuk urusan lain.
Seperti pengalaman Widya Paramitha, mahasiswa semester VIII program studi Perbankan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dia mengaku mengenal belanja daring mulai kelas III SMA. Sejak kuliah, dia semakin giat mengintip toko daring. Dia bisa menghabiskan waktu enam jam hanya untuk bertanya jawab tentang benda yang ingin dia beli guna memastikan benda tersebut memang cocok untuk dirinya. Tak lupa dia membandingkan harga barang dengan di toko daring lainnya.
Menurut Mitha, dia paling hobi menelusuri informasi tentang pakaian, jilbab, make-up, dan produk perawatan kulit. ”Aku lebih suka cari di toko daring karena harganya lebih murah plus ada banyak promosi, seperti bebas ongkos kirim atau diskon. Lumayan menghemat,” ujarnya.
Penghematan Mitha kala berbelanja mulai dari Rp 5.000 hingga Rp 20.000. Bahkan, dia mengajak teman untuk berbelanja bersama sehingga makin hemat lagi mengingat dia masih mengandalkan uang jatah bulanan dari orangtuanya.
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah lainnya, Adji Dwi Saputra, mengaku dalam sebulan empat kali berbelanja daring. Dia pernah berbelanja aksesori komputer, kertas dinding, celana, baju, jaket, ikat pinggang, dan gantungan kunci. Barang termahal yang dibeli Adji adalah celana denim seharga hampir satu juta rupiah.
”Saya pilih toko fisik jika membeli barang mahal. Untuk menghindari kesalahan dan jika terjadi saya takut jika tidak bisa ditukar,” kata Adji yang mahasiswa jurusan pertambangan ini.
Sementara Refda Fachriza Malta, mahasiswa semester VI program studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung, lebih suka belanja daring karena dia tak suka mengobrol, termasuk dengan penjual. Dia lebih suka mencari tahu sendiri berbagai informasi barang keperluan kuliah dan hobi, seperti buku, kamera, tripod, video, dan aksesori. Untuk itu, dia biasanya rajin mengintip toko daring dua hari sekali selama beberapa jam.
Paling mahal dia menghabiskan uang Rp 12 juta untuk keperluan fotografi. Dia juga pernah kesal karena membeli barang bekas yang memiliki informasi bagus. Ketika itu, Refda membeli lensa bekas dan butuh servis Rp 400.000. Refda pun mengajukan komplain dan biaya servis diganti hanya Rp 300.000.
”Mahal memang, sejak itu saya mementingkan kualitas agar tak banyak urusan di belakangnya. Percuma beli murah jika akhirnya biaya yang keluar lebih banyak,” kata Refda yang kini punya tambahan penghasilan sebagai fotografer.
Kecanduan
Mereka bertiga menganggap diri mereka masih kuasa menahan diri sehingga tak sampai berlarut-larut belanja. Widya hanya memasukkan barang yang dia pilih ke daftar wishlist, tidak langsung membayar. Adji menghilangkan keinginan membeli barang dengan melihat kondisi keuangan. Kala uang sakunya menipis, dia tidak peduli dengan aneka diskon dan tawaran yang ada.
Orang yang keranjingan belanja daring antara lain terlihat dari dia sanggup menghabiskan waktu berjam-jam menjelajah toko daring. Dia juga senang berbelanja apa saja, termasuk barang tak perlu. Bahkan, dia sangat gembira kala berhasil membeli barang. Lama-kelamaan, kesukaan belanja tersebut melampaui kemampuan dia membayar dan akhirnya terjebak utang. Begitu terjebak utang, hubungan dengan keluarga juga dapat berantakan karena terseret masalah finansial.
Sering kali orang yang keranjingan berbelanja bertujuan mencari pelampiasan diri. Orang seperti ini biasanya punya kontrol diri rendah, tidak belajar dari pengalaman, dan suka pamer. Kecanduan belanja bukan hanya menghasilkan dampak finansial dan ekonomi, melainkan juga sosial dan psikologis.
Psikolog Teman Hati Konseling, Ajeng Raviando, mengatakan, banyak orang mengalami instant gratification, yakni menginginkan sesuatu entah barang atau jasa sekarang juga. Mereka tidak sabar menunggu dan tidak tahan menanti. Begitu pula dengan perilaku ketagihan berbelanja.
”Padahal, kita semua tahu, makanan instan tidak bagus untuk kesehatan. Sama dengan belanja cepat karena tidak ingin kehilangan diskon. Mereka yang kecanduan belanja tidak memikirkan apakah barang itu sangat perlu dan dibutuhkan atau tidak,” kata Ajeng.
Itu sebabnya dia menyarankan, cara jitu untuk menghentikan keinginan terus-menerus berbelanja adalah dengan berpikir ulang apakah benda itu sangat diperlukan. ”Paling tepat menghapus aplikasi belanja,” ujarnya. (*)