Beda Pendapat, tetapi Tetap Bersahabat
Perbedaan itu hal biasa dalam pergaulan sehari-hari. Kita pasti akan menemukan orang dengan pemikiran, karakter, dan pilihan yang boleh jadi sangat berbeda. Meski berbeda, toh, kita tetap bisa bersahabat. Bagaimana bisa?
Pemilihan Umum 2019 telah digelar dengan lancar dan aman. Ketegangan akibat perbedaan pemikiran dan pilihan politik kini mulai mencair. Yang tadinya musuhan sudah baikan lagi.
Hal itu antara lain dialami Efraim Mbomba, mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2015 Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, dan Robertus Dicky Armando, mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2014 Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Ketika masa kampanye calon presiden dan partai yang mengaduk-aduk emosi itu berlangsung, kedua sahabat itu sempat bersitegang. Efraim berpendapat, capres Joko Widodo merupakan sosok yang paling tepat memimpin bangsa ini. Pokoknya, Pak Jokowi enggak ada kurangnya, deh. Sementara itu, Dicky berpendapat capres Prabowo Subianto lebih oke jika memimpin Indonesia.
Jangankan soal pemimpin bangsa, perbedaan pendapat yang lumayan heboh biasa terjadi dalam forum diskusi. Ridho Taufik Kurniawan, mahasiswa Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, menceritakan, ketika organisasinya menggelar rapat untuk menentukan tema acara sebuah lomba, peserta rapat memiliki pendapat yang berbeda-beda. Di situlah terjadi perdebatan, bahkan beberapa peserta saling menyalahkan pendapat mereka.
Untuk mengatasi perbedaan, semua pendapat akhirnya dijadikan satu dan dicarikan jalan tengahnya. ”Dengan begitu, tidak ada lawan ataupun kawan hanya karena perbedaan pendapat. Sebagai organisasi, kita mesti satu jiwa. Itu yang membuat organisasi menjadi sukses,” ujar mahasiswa penerima Beasiswa Unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018 itu.
Menurut Taufik Kurniawan, yang paling penting sebelum mengeluarkan pendapat, kita berpikir matang agar tidak terjadi salah paham. Jika lawan bicara tidak menerima pendapat kita, kita mesti menjelaskan lagi sejelas mungkin apa yang kita maksud. Jika tetap berbeda, terimalah perbedaan tersebut sebagai sesuatu yang wajar. Berbeda pendapat juga penting, kok, untuk merangsang agar ide-ide kita berkembang.
Ketegangan tidak hanya terjadi akibat perbedaan pendapat atau pemikiran, tetapi juga karakter pribadi. Hal ini terjadi di antara dua sahabat, Nabilla dan Natasha, yang sama-sama kuliah di Universitas Bunda Mulia (UBM), Jakarta, tetapi jurusannya berbeda.
Menurut Natasha, sahabatnya, Nabilla, adalah orang yang lebih mementingkan dirinya sendiri. Dia juga pribadi yang sangat cuek. ”Cuek sebodo amat, yang penting dia enggak rugi,” kata Natasha, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi UBM. Natasha merasa karakter Nabilla sangat berbeda dengan karakter pribadinya yang selalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan.
Sebaliknya, Nabilla berpendapat, Natasha ialah orang yang boros. Berbeda sekali dengan Nabilla yang tidak boros. ”Cara pikir dan cara bicara kami juga berbeda,” kata Nabilla, mahasiswi Jurusan Hospitality Pariwisata UBM, dan Natasha.
Tetap bersahabat
Meski karakter mereka berbeda, mereka tetap menjalin persahabatan. Semua perbedaan yang ada ternyata tidak membuat mereka terpisah, bermusuhan, menjauhkan diri satu sama lain, tetapi justru membuat persahabatan mereka kian erat.
Menurut Natasha, perbedaan pendapat dan sikap bisa terjadi karena semua orang memiliki persepsi. ”Karena sebagai manusia, semua orang mempunyai persepsi masing-masing. Kami berdua juga pasti mempunyai persepsi yang berbeda-beda, jadi harus saling menerima perbedaan atau bersikap toleran dengan perbedaan,” kata Natasha.
Pendapat serupa disampaikan Nabilla. Buat dia, bersahabat itu berarti harus mau menerima kekurangan atau perbedaan satu sama lain. ”Dan yang terpenting saling mengerti, saling sayang satu sama lain, itu sudah cukup,” ujar Nabilla.
Sementara bagi Efraim dan Dicky, persahabatan adalah persahabatan dan pilihan politik adalah pilihan politik. ”Mendiskusikan ide yang mendasari sebuah pilihan politik dengan sahabat merupakan jenis persahabatan yang bermutu,” ucap Efraim. Efraim menambahkan, Indonesia ke depan akan dipimpin oleh anak muda seperti dirinya dan sahabatnya, Dicky. Karena itu, sejak muda mereka harus bersatu untuk membawa perubahan ke depan.
Saling menghargai
Psikolog remaja Adib Setiawan dari Yayasan Praktik Psikolog Indonesia (YPPI) mengatakan, apa yang diharapkan seseorang belum tentu dia mendapatkannya. Apa yang saat ini dianggap benar, pada waktu yang akan datang belum tentu benar. Pemikiran terus berkembang.
”Rasa kasih sayang sesama manusia lebih penting sehingga bisa saling menghargai. Berbeda pilihan adalah hal yang wajar dan yang penting saling menghormati dan menghargai,” kata Adib.
Adib menyarankan mahasiswa agar aktif di organisasi kemahasiswaan supaya pandangan pribadi bisa diuji lewat diskusi sesama mahasiswa. Jika seorang mahasiswa mempunyai pandangan yang bisa memengaruhi yang lain, mahasiswa itu bisa menjadi pemimpin mahasiswa. Pemimpin mahasiswa biasanya dipilih yang rasional, humoris, cerdas, mudah bergaul, dan tidak emosional.
Jika debat sesama mahasiswa, dia akan mewakili kelompok sehingga kematangan emosi dan pribadi akan diuji di organisasi yang digelutinya. ”Jangan berdebat atas nama individu tanpa organisasi. Organisasi akan membuat matang secara emosional,” katanya.
Jika terjadi perbedaan pandangan atau sikap yang begitu dalam, ujar Adib, segala perbedaan bisa didamaikan lewat komunikasi. Bagi mereka yang berada di sekitar dua sahabat yang sedang bertikai karena berbeda pandangan ataupun sikap, sebaiknya mereka mendengar dari kedua belah pihak.
”Ketika seseorang mengungkapkan keinginannya, jika sudah dikomunikasikan, maka membuat lega. Dengarkan pihak-pihak yang berbeda pendapat, komunikasikan dan cari jalan tengah,” ucap Adib Setiawan. (LOK)