Kenaikan harga tiket pesawat sejak Desember 2018 dan tidak kunjung turun mendekati Lebaran ini membuat sejumlah mahasiswa di perantauan galau. Keinginan pulang kampung untuk bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, teman sekampung, hingga tetangga terganjal faktor finansial. Tak mampu lagi mereka mudik dan terpaksa menghabiskan waktu jauh dari orang tua.
Meski sedih kehilangan momen istimewa, mereka tak ingin larut dalam kekecewaan. Mereka berusaha mengatasi dan mengurangi kesedihan dengan berbagai cara. Kehilangan momen penting seperti itu malah membuat mereka sangat menghargai kebersamaan, berusaha lebih giat untuk belajar dan menabung serta berhemat, plus belajar menjadi dewasa kesempatan tak bisa mudik mungkin saja terulang lagi ketika kelak mereka bekerja, kuliah lagi, atau menikah dan tinggal di kota dan negara lain.
Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Diponegoro Semarang, Mega Laura Lubis (19), sedih karena untuk pertama kalinya ia tak merayakan Idul Fitri bersama keluarganya di Medan, Sumatera Utara.
"Sedih banget tak bisa pulang Lebaran ke Medan. Harga tiket pesawat pulang pergi bisa sampai Rp 4 juta atau lebih. Selain itu, jika mudik pun juga hanya sebentar di sana karena harus segera balik ke kampus untuk ujian akhir semester," kata Mega.
Mega menuturkan, harga tiket pesawat sebelum Desember 2018 dari Yogya ke Medan antara Rp 900.000 hingga Rp 1,2 juta per orang. Mulai Desember 2018, pada hari biasa saja harga tiket pesawat rute yang sama antara Rp 1,8 juta sampai Rp 2,3 juta per orang sekali terbang.
"Sangat berat jika harus mengeluarkan ongkos begitu tinggi. Lebih sedih lagi, masa libur hanya 10 hari karena kami akan ujian. Masa libur panjang ada setelah masa ujian. Saya pikir, tanggung kalau pulang sebelum Lebaran," ucap Mega menabahkan hati.
Walau menetap di rumah kos sejak awal kuliah, Mega sulit membayangkan dia tetap harus tinggal di kos dan merayakan Lebaran sendirian. Rumah kosnya dihuni banyak mahasiswa, tetapi mereka semua akan mudik dan pergi dari kos selama libur Lebaran.
"Banyak penghuni kos dari kota lain di Pulau Jawa. Mereka juga tak mudik seperti saya, tetapi mereka semua pergi ke rumah kerabat yang lebih dekat agar mereka agar dapat berlebaran bersama saudara. Begitu pula dengan teman-teman dari luar Pulau Jawa yang beruntung memiliki kerabat di kota-kota di Pulau Jawa," ucap Mega galau.
Dia pun berpikir keras agar tak berlebaran di rumah kos sendirian tanpa sanak saudara. Mega memilih ke Jakarta untuk ke rumah sahabatnya semasa SMA yang dekat seperti saudara. Mega pun dapat tersenyum karena dia mampu membeli harga tiket kereta api kelas ekonomi Semarang-Jakarta seharga Rp 100.000 per orang pada 1 Juni.
"Beli yang murah karena ingin berhemat guna membantu mengurangi beban mamah untuk membeli tiket pulang ke Medan sehabis ujian nanti. Liburan semester yang lebih lama," ujar Mega yang mengaku tak bisa berlama-lama jauh dari mamahnya.
Menurut si bungsu dari dua bersaudara ini, jika harus realistis dia lebih memilih membayar uang kuliah tunggal sebesar Rp 5 juta per semester ketimbang membeli tiket pesawat seharga minimal Rp 4 juta pp. Dia berharap agar harga tiket pesawat lebih terjangkau. Apalagi dia enggan naik transportasi darat dan laut.
"Sejak awal berniat kuliah di Jawa, tahu risikonya bakal jauh dari keluarga. Namun, ini tahapan untuk bekerja nanti yang rencananya di Jakarta. Artinya, harus siap jauh dari keluarga,"ucap Mega tegar.
Bermobil patungan
Mahasiswa program studi Pengembangan Masyarakat Islam di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Tangerang Selatan, Banten, Abdul Basyid Nasution mulai kuliah di kampus itu sejak 2014. Dia meninggalkan kampung halamannya di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Setiap menjelang Lebaran, tak pernah dia absen mudik.
"Jangan sampai Lebaran tidak bisa pulang kampung. Tidak afdol jika tidak minta maaf ke orang tua secara langsung. Lagi pula, suasana Lebaran di kampung lebih menyenangkan," kata Basyid.
Begitu harga tinggi tak kunjung turun, Basyid rela tidak naik pesawat dan memesan tiket bus seharga Rp 600.000 per orang. Dia telah membayar uang muka sebesar Rp 200.000.
Beberapa hari kemudian, teman kuliahnya menelepon. Basyid mendapat tawaran mudik bareng naik mobil bersama lima mahasiswa UIN lainnya. Mereka masing-masing hanya perlu membayar Rp 250.000 untuk patungan membeli BBM.
"Sepertinya lebih seru mudik bareng teman. Saya tertarik dan ingin tahu seperti apa perjalanan selama tiga hari sampai ke tujuan. Rela uang muka akhirnya hangus," kata Baysid optimistis.
Walau bakal capek dan waktu tempuh perjalanan lebih lama, Basyid tetap bahagia bisa mudik. Terbayang sudah dia ikut takbiran keliling kampung pada malam penutup Ramadhan dan esoknya setelah sholat Id dapat memohon maaf langsung ke ayah ibunya.
Lain halnya dengan Sonya Prameswari yang setiap tahun rutin berlebaran di Desa Rama Puja, Kecamatan Raman Utara, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung. Biasanya, dia dan keluarganya ramai-ramai naik mobil dari Cibinong, Bogor menuju Pelabuhan Merak, Banten. Kemudian naik kapal feri dan dari Bakauheni perlu waktu sekitar empat jam tiba di desa tujuan.
"Setahu saja, ongkos kapal feri juga naik, tetapi demi bisa mudik ya kami rela. Para saudara yang sudah mencoba tarif baru dan tol baru menginformasikan, waktu tempuh dari Bakauheni ke tujuan lewat jalan tol kini lebih singkat, hanya 1,5 jam," ujar Sonya antusias.
Bagi dia, perjuangan mudik selalu banyak cerita. Dia tak sabar bakal rama-ramai mudik bersama semua saudaranya. menikmati makanan bekal saat berbuka, dan bertemu kakek neneknya di desa. "Walau sering pulang kampung, tetap saja momen Lebaran sungguh istimewa," ujarnya senang. (ELN/TIA).