Mau Makan Sehat, tetapi Isi Kantong Mahasiswa Pas-pasan
Jika ditanya seperti apa makanan yang sehat dan bergizi, mahasiswa umumnya bisa menjawab dengan lancar dan benar. Namun, kalau ditanya apakah sudah makan makanan sehat dan bergizi setiap hari, rata-rata mereka menggelengkan kepala.
Oleh
Ellok Dyah Messwati
·5 menit baca
Jika ditanya seperti apa makanan yang sehat dan bergizi, mahasiswa umumnya bisa menjawab dengan lancar dan benar. Namun, kalau ditanya apakah sudah makan makanan sehat dan bergizi setiap hari, rata-rata mereka menggelengkan kepala.
Ada banyak faktor yang membuat mahasiswa dan anak muda tidak mengonsumsi makanan sehat bergizi setiap hari. Faktor utamanya sih—terutama mahasiswa yang indekos—karena uang saya yang dimilikinya pas-pasan. Selain itu, sebagian besar mahasiswa indekos tidak mungkin memasak makanannya sendiri setiap hari dan lebih bergantung pada makanan warung dan makanan instan.
Lingga Tiara, mahasiswi Jurusan Usaha Perjalanan Wisata Angkatan 2018 Sekolah Tinggi Pariwisata Trisakti, Jakarta, menceritakan, setiap hari ia selalu membeli makanan dari luar. Kalaupun masak sendiri, paling yang dimasak adalah mi instan. Maklum, Lingga ini mahasiswa yang tinggal di tempat indekos.
Lingga mengaku mengerti konsep makanan yang sehat, yakni mengandung karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin yang cukup. Selain itu, orang tidak boleh makan berlebihan. ”Lauk, misalnya, hanya untuk teman makan nasi saja, dan itu tidak banyak,” ujarnya.
Meski tahu konsep tentang makanan sehat, ia mengaku tidak pernah memperhatikan kandungan makanan yang ia santap. ”Saya makan sesuai mood saja. Ukurannya juga sesuai kebutuhan saja,” ujarnya.
Lingga biasanya makan besar sekali atau dua kali sehari jika tinggal di tempat indekos. Jika sedang di rumah orangtua, ia bisa makan berapa kali saja setiap lapar.
Kalau di rumah cenderung masak sendiri. Kadang-kadang saja kami membeli makanan jadi.
Reza Vivin Takririyah, mahasiswi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Angkatan 2018 Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, juga mengaku paham tentang makanan sehat, yakni mengandung gizi yang seimbang, yakni mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan lemak. Porsinya pun tidak lebih dan tidak kurang.
Ia tahu karbohidrat menjadi sumber energi utama dan bisa diperoleh dari beras, gandum, jagung, dan lain-lain. Lemak juga sebagai sumber energi, tetapi lebih bersifat cadangan. Ia tahu protein berfungsi untuk meregenerasi sel-sel yang rusak, selain itu meningkatkan kerja otak. Vitamin berfungsi meningkatkan kekebalan tubuh, serta mineral untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi.
Namun, sebagai mahasiswa yang tinggal di tempat indekos, ia tidak selalu bisa makan makanan sehat. Maklum, kantong mahasiswa indekos seperti dirinya sering kali isinya setipis ATM. ”Paling seminggu sekali saya beli buah dan susu. Kalau makanan sehari-hari biasanya cuma mengandung satu unsur makanan saja, misalnya telur. Sayur pun jarang makan,” katanya.
Karena tinggal di tempat indekos, Reza sering membeli makanan dari rumah makan. Kadang ia masak sendiri jika ingin menghemat agar sebagian uangnya bisa dialokasikan untuk menutup kebutuhan kuliah yang cukup besar.
Vivian Melyan, lulusan Jurnalistik Angkatan 2014 Universitas Multimedia Nusantara, Serpong, Tangerang, mengaku kualitas makanan yang ia santap sehari-hari lebih terjamin karena ia masih tinggal bersama orangtua. ”Kalau di rumah cenderung masak sendiri. Kadang-kadang saja kami membeli makanan jadi,” katanya.
Makanan sehat, menurut Vivian, adalah makanan yang tidak banyak mengandung minyak dan MSG. Selain itu, komposisi gizinya seimbang. ”Jadi ada karbohidrat, lemak, mineral, dan vitamin. Misalnya ada nasi, lauk seperti tempe, sayur hijau, dan ada buah. Kalau menurut saya, jika makan berat lebih baik diiringi air putih saja, jangan dengan minuman manis, seperti es teh manis,” ujar Vivi.
Isi piringku
Terkait soal makanan sehat, dokter spesialis gizi Nurul Ratna Manikam dari Departemen Ilmu Gizi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia menjelaskan, konsep gizi seimbang yang diajarkan dulu adalah empat sehat lima sempurna. ”Sekarang konsep itu sudah berubah menjadi apa isi piringku,” ujarnya.
Untuk setiap kali makan, lanjut Nurul, isi piring makan kita dibagi dua, yakni setengahnya terdiri dari sayur dan buah. Setengah lainnya berisi nasi dan lauk pauk. Nasi, bagi remaja, cukup tujuh sendok makan. Lauk satu-dua macam saja. Sebaiknya saat makan nasi tidak dicampur dengan mi karena keduanya sama-sama karbohidrat sehingga komposisi makanan menjadi tidak seimbang.
Jika buah-buahnya dirasa mahasiswa harganya cukup mahal, bisa diganti dengan sayur-mayur yang harganya lebih murah. ”Ada, kok, buah yang murah, seperti pepaya dan pisang yang tidak tergantung musim. Kita juga tidak perlu minum susu setiap kali makan,” tambah Nurul.
Lebih baik mahasiswa datang ke warteg, makan nasi, sayuran, misalnya sayur bening dan lauknya tempe, tahu atau telor daripada makan mi instan yang diproses di pabrik. Itu lebih berisiko karena ada pengawet.
Menurut Nurul, saat ini banyak orang, termasuk mahasiswa, cenderung mengonsumsi makanan yang praktis, seperti mi instan yang mengandung banyak garam. Selain itu, masyarakat doyan betul makan gorengan yang mengandung lemak tinggi. Makin tidak sehat lagi karena masyarakat kerap menyantap atau meminum makanan kemasan yang mengandung gula tinggi. Makanan yang mengandung gula tinggi dapat meningkatkan risiko diabetes.
Nurul menyarankan agar mahasiswa tidak mengonsumsi mi instan dengan kornet. ”Lebih baik mahasiswa datang ke warteg, makan nasi, sayuran, misalnya sayur bening dan lauknya tempe, tahu atau telor daripada makan mi instan yang diproses di pabrik. Itu lebih berisiko karena ada pengawet. Makanan yang diproses biasanya mengandung natrium atau garam yang tinggi yang meningkatkan risiko kanker dan hipertensi atau darah tinggi,” katanya.
”Jajan bakso boleh saja, tapi jangan terlalu sering. Saat makan bakso lebih dengan nasi atau lontong, bukan dengan mi. Lebih baik lagi kalau jajannya buah-buahan,” lanjutnya.
Saat berkumpul dengan teman-teman di kafe sembari minum kopi dan mengerjakan tugas kuliah, mahasiswa biasanya mengonsumsi kopi dengan susu manis yang bergula tinggi. Saran Nurul sebaiknya meminta kopi dengan susu rendah lemak dan tidak perlu menambahkan gula ke dalam kopi.
”Di kafe-kafe itu juga biasanya dijual bermacam snack, kue, roti, dan kentang goreng. Daripada makan snack yang manis, seperti roti atau cake atau makan kentang goreng, sebaiknya langsung makan besar saja. Makan snack seperti itu membuat berat badan naik atau obesitas,” ujar Nurul.