Survei: Tugas Kuliah Jadi Sumber Utama Stres di Kalangan Mahasiswa
Kondisi tertekan karena banyak tugas dan persoalan hidup dapat terjadi pada siapa saja, termasuk mahasiswa. Hidup sebagai mahasiswa memang banyak yang menyenangkan, tetapi tetap saja ada hal yang membuat perasaan khawatir dan kesal pun jadi bertunas.
Kondisi stres bisa mulai dari urusan tugas kuliah yang seolah tak habis-habis, kewajiban magang tetapi belum ada lembaga atau perusahaan yang menerima, keharusan menyelesaikan tugas akhir, ujian yang datang lagi dan datang lagi, ditambah urusan asmara, hingga urusan keluarga. Hal lain, karena khawatir akan pekerjaan, tidak mendapat pekerjaan setelah lulus kuliah nanti.
Keadaan ini jelas dapat membuat seseorang tertekan dan jika berlanjut akhirnya memicu stres. Hal itu juga berarti tidak ada orang yang kebal terhadap stres. Menghadapi stres ini umumnya mahasiswa belum tahu bagaimana mengurangi dan akhirnya mengatasinya.
Simak catatan hasil jajak pendapat Kompas pada 21-22 Juni, sebanyak 86,8 persen dari 646 mahasiswa yang dimintai pendapatnya melalui telepon pernah stres. Bahkan, 37 persen di antaranya sering mengalami situasi yang membuatnya depresi.
Stres pada mahasiswa biasanya tak jauh-jauh dari urusan yang berkaitan dengan tuntutan akademis dan ketidakpastian tentang masa depan. Dua dari lima responden mengatakan, banyaknya tugas kuliah, galau memikirkan hasil ujian, dan masalah yang berhubungan dengan dosen merupakan hal yang paling sering membuat stres. Tugas kuliah dengan tenggat mepet plus dosen killer bisa membuat kepala serasa mau pecah, yang ujung-ujungnya menimbulkan stres.
Pengalaman Danang Seloaji, mahasiswa Jurusan Ilmu Politik pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang, mulai semester III, dirinya punya banyak masalah. Perkara dengan dosen, pelajaran yang susah karena tertinggal banyak materi, hingga permasalahan pribadi seperti kisah cinta.
”Pernah berhasil mengerjakan tugas, tetapi belum dinilai. Malah kertasnya hilang. Padahal, itu tugas penting,” ucap Danang.
Jadi momok
Hal lain yang memicu stres adalah urusan skripsi. Tugas akhir bagi mahasiswa sebagai salah satu syarat kelulusan ini kerap kali menjadi momok yang membuat mahasiswa stres hingga depresi. Pernah ada kasus mahasiswa sampai bunuh diri karena tak kunjung selesai mengerjakan skripsinya. Sebanyak 20 persen responden mengaku stres gara-gara tugas yang satu ini.
Salah satunya, Sarah Mogi atau Momo, mahasiswa semester VI Jurusan Front Office, D-3 Perhotelan International Hotel Management School Solo. Saat ini Momo hanya tinggal menyusun tugas akhir dan menunggu sidang kelulusan.
Kala kuliah, Momo pernah ikut on the job training (OJT) di semester V dan berkesempatan mengikuti pelatihan di Hotel Rimba Jimbaran, Bali, pada bagian front office sebagai guest relation officer, reservation trainee, dan front desk agent. Sebagai mahasiswa Jurusan Front Office, dia harus punya ijazah perhotelan di darat dan perhotelan di kapal. Kuliah untuk ijazah perkapalan ini dia ambil saat OJT di Bali.
Ketika akan berangkat untuk OJT, Momo mengalami stres parah yang membuat kepalanya serasa ingin meledak. Kegiatan OJT perlu banyak tenaga, seperti observasi langsung ke lapangan untuk mendapat banyak data dan informasi, kemudian ikut kuliah tambahan untuk meraih ijazah perkapalan pukul 07.00 hingga 17.00 pada akhir pekan, plus tugas presentasi materi-materi perkuliahan.
Ketidakpastian tentang masa depan, terutama masalah pekerjaan setelah lulus, juga menjadi sumber paling mengkhawatirkan mahasiswa. Lulusan perguruan tinggi dan punya gelar sarjana tak menjamin mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan. Hal ini yang membuat sekitar 21 persen responden stres. Apalagi data tingkat pengangguran terbuka yang dirilis Badan Pusat Statistik pada Februari 2019 menunjukkan lulusan diploma dan universitas paling banyak menganggur, yaitu 13,13 persen, ketimbang lulusan tingkat pendidikan lainnya. Kekhawatiran akan masa depan ini dirisaukan 22,3 persen responden sebagai penyebab stres. Sementara masalah keuangan dan pertemanan hanya sebagian kecil menjadi pemicu stres.
Masalah manajemen waktu sangat penting bagi mahasiswa agar tidak terjebak stres berkepanjangan. Hampir 30 persen responden menyebutkan tidak bisa mengatur waktu yang menyebabkan mereka menjadi stres. Takut gagal dan takut mengecewakan orangtua juga menjadi faktor penyebab stres di kalangan anak muda. Sebanyak 36,9 persen menyatakan pendapat demikian dalam jajak pendapat.
”Kadang bingung bagaimana membagi waktu dan memprioritaskan yang mana,” ujar Momo kala tertimbun seabrek tugas, harus ikut kewajiban kuliah tambahan, dan magang.
Reaksi dan aksi
Reaksi stres juga bermacam-macam. Mayoritas responden mengaku cepat marah, sedih berkepanjangan, tidak bisa ngapa-ngapain karena bad mood, sampai akhirnya menjadi sakit. Namun, ada sekitar 18 persen yang menanggapinya dengan biasa-biasa saja karena mungkin tidak mau terlalu memikirkannya. Meski stres, dibawa santai saja. Mencari kesibukan seperti berkebun, berolahraga, atau melakukan aktivitas keagamaan dan kegiatan sosial dapat menjadi solusi mengatasi stres. Sebanyak 43,5 persen responden memilihnya untuk melupakan masalah yang sedang dihadapi.
Persis seperti reaksi Danang yang tidak menemukan solusi dari semua masalah dan memilih bersenang-senang manggung di kafe bersama teman-teman bandnya. Dia kadang hanya bisa meluapkan emosi kepada siapa pun yang mengganggu dan tidak sependapat dengannya. Keadaan ini pun akhirnya sering membuatnya sakit, sering pusing, dan mual terus-menerus.
Sebagian lagi memilih untuk melakukan relaksasi dengan bermeditasi atau menenangkan diri dengan memperdalam ibadah. Sebanyak 15,6 persen responden meyakini, dengan mengubah sikap, berpikiran positif, akan membantu mengatasi stres. Curhat, meluapkan segala permasalahan kepada keluarga atau teman, juga hal yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban pikiran.
Tiap kali tertekan dan stres, Momo lebih suka mengurung diri di kamar, menenangkan pikiran dan perasaan. Dia juga memilih tidak ke kampus dan menghindari bertemu banyak orang. ”Tidak berminat melakukan apa pun,” ujar Momo. Karena sering absen, nilainya ikut terpengaruh.
Sementara ada sekitar 6 persen responden yang memilih untuk mencari hiburan dengan menonton film atau main game, juga traveling, untuk menghilangkan penat dan meredam stres yang melanda. Banyak cara dilakukan untuk mengatasi stres. Yang penting, jangan sampai stres dipelihara menjadi berkepanjangan dan justru menimbulkan masalah baru.
”Sekarang, tiap kali lelah urusan kuliah, saya pergi mendaki gunung bersama teman-teman, lantas saling membicarakan masalah guna mengurangi beban pikiran dan menjadi lebih rileks. Cara lain, tidur seharian agar badan dan pikiran lebih segar,” ungkap Momo. (MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS/*)