Kumandang Lantang Lagu Lama di Hodgepodge Festival
Oleh
Herlambang Jaluardi
·5 menit baca
Pada era ketika mencicipi lagu baru semudah menggeser jempol seperti sekarang, lagu-lagu lama masih terus berkumandang. Tembang-tembang itu seperti enggan hilang, mencoba mencapai keabadian. Festival musik memanggungkannya. Di Hodgepodge Superfest 2019, Sabtu hingga Minggu (1/9/2019) lalu, sambutan pada lagu lama terasa riuh.
Coba tengok aksi band rock The Used dari AS pada Sabtu malam menjelang Minggu. Tiga dari empat lagu pertama yang mereka bawakan kali itu dicuplik dari album In Love and Death terbitan 2004, atau lima belas tahun lalu. Kuartet ini langsung tancap gas dengan lagu ngebut “Take It Away” dari album itu. Lagu kedua adalah “The Bird and Worm” keluaran 2007.
Respons penonton makin menggila pada lagu hits “All That I’ve Got”. Penonton di depan panggung utama itu rata-rata berusia 30-an, rentang umur yang sama dengan para anggota band yang pernah dilabeli beraliran “emo” ini. Pada lagu “Blood on My Hands” (2009), debu di lapangan rumput mengering di arena Allianz Ecopark, Ancol, Jakarta Utara itu makin menguar tebal karena penonton lari-larian mengitari circle pit.
“Ayo, aku tahu kalian masih ingat caranya merenggangkan barisan, buat lingkaran, berputar-putar layaknya hardcore show,” pinta vokalis Bert McCracken. Maka itulah yang terjadi. Pemandangan seperti itu sangat jamak di pentas musik underground, tapi agak jarang terjadi di festival besar ragam genre macam itu.
Aliran “emo” yang melekat pada The Used pernah jadi fenomena musik arus utama di paruh awal dekade 2000-an, setelah lama bergerilya di kancah “bawah tanah”. Bangunan musiknya amat terpengaruh dari warna punk dan hardcore. Tapi liriknya cukup berbeda. Mereka mengisahkan hal-hal personal yang kelam seperti kesedihan, keputusasaan, penolakan, atau urusan emosional lainnya.
Tema kelam itu diekspresikan vokalis Bert dengan teriakan kasar, sementara banyak band serupa lainnya—yang lebih tenar—dengan vokal bersih. Maka tak heran, The Used dicap sebagai salah satu penerus subgenre screamo, sebuah gaya yang dipercaya sudah ada sejak dekade 1990-an. Jonathan Dee dari The New York Times pernah menulis, sebutan “screamo” juga “emo” jadi bahan olok-olok di kalangan mereka sendiri saking populernya.
Bert pernah bilang, istilah screamo adalah julukan yang mempermudah pemasaran label rekaman, juga pengelompokkan di rak toko musik. “Kami adalah band hardcore,” ujarnya lantang malam itu.
Baiklah. Memperdebatkan genre mungkin sudah tidak penting lagi. Penonton datang bukan untuk menunjukkan siapa yang paling emo, atau siapa yang paling hardcore. Mereka menyemut di depan panggung itu karena ingatan akan lagu-lagu The Used.
“Lagu The Used ini jaman aku SMA banget, masa-masa kelam, tuh, hahaha,” kata Reno Pamungkas (34), penonton dari Bintaro, Tangerang Selatan. Rambutnya pendek biasa, bukan gaya “poni lempar” seperti kebanyakan “anak emo” masa itu. “Masa kelam” dia imbuhi dengan tawa, tak lagi sedih, maupun marah. Lagu favoritnya, “Buried Myself Alive” tak lagi jadi pengiring ratapan, melainkan luapan nostalgia.
Amarah
The Used adalah penampil utama di hari pertama. Sedangkan di hari kedua, bintang yang paling ditunggu adalah Prophets of Rage. Mereka adalah band baru, umurnya baru tiga tahun. Tapi, enam personelnya adalah orang-orang lama. Separuhnya adalah mantan anggota band protes paling terkenal, Rage Against The Machine (RATM), yaitu Tom Morello (gitar), Brad Wilk (drum), dan Tim Commerford (bas). Bagian vokal—tepatnya rap—diisi B-real dari grup Cypress Hill, dan Chuck D dari Public Enemy. Seorang lagi adalah DJ Lord yang juga pernah di Public Enemy. Komposisi itu menyiratkan bahwa mereka memainkan corak rap-rock/metal.
Supergrup itu mengeluarkan album debut pada 2017. Isinya ada 12 lagu. Di Jakarta mereka main hampir dua jam, mengusung sekitar 16 lagu. Tapi cuma ada empat lagu yang dicuplik dari album debut itu, yaitu “Unfuck The World”, “Made with Hate”, Hail to the Chief”, dan “Living on The 110”. Sisanya? Lagu hits dari band asal masing-masing. Lagu dari RATM paling mendominasi.
Setelah membuka dengan lagu “Prophets of Rage” milik Public Enemy, band ini memulai katalog lama RATM dengan “Testify” dan melanjutkan dengan “Guerilla Radio”. Energi makin memuncak kala mereka memainkan lagu-lagu dari album perdana RATM yang dilepas tahun 1992, semacam “Know Your Enemy”, dan “Take the Power Back”. Sesungguhnya, pertunjukan ini seperti menyimak album kompilasi “the best of” RATM, tanpa vokalis aslinya, Zack de la Rocha.
Kerumunan merespons lagu-lagu itu dengan kepalan tangan kiri mengudara, seperti sedang mengikuti aksi demonstrasi tapi dengan agenda pembangkangan global. Tom, yang masih mempertontonkan aksi bermain gitar layaknya disc jockey itu mengenakan topi merah bertuliskan “Make Indonesia Rage Again”, memelesetkan jargon kampanye Donald Trump. Di ujung set, ketika lagu “Killing in the Name” layar memampangkan besar-besar slogan “Make Jakarta Rage Again”.
Amunisi utama grup itu, diakui Tom dalam sebuah wawancara dengan Asbury Park Press, adalah katalog lagu-lagu protes RATM, yang mendapat ruang (kembali) di tengah kebijakan-kebijakan janggal Donald Trump. “Aku tak bisa hanya duduk berkomentar di Twitter ketika Trump terpilih. Ada 20 kiloton energi rock n roll di lagu-lagu RATM yang bisa berbicara lebih lantang di era sekarang (rezim Trump), daripada di masa pemerintahan Clinton,” kata penggagas grup itu.
Di Jakarta, energi besar itu dirayakan kerumunan dengan karcis di atas Rp 650.000 untuk dua hari. Kerapuhan masa lalu seperti pada lagu-lagu The Used, dan kemarahan pada penguasa dari Prophets of Rage bersisihan dengan keriangan pesta pada lagu lawas seperti “Malam ini Indah” dan “Bebas” dari rapper Iwa K. Ragam kesan itu jamak muncul di festival musik, apalagi di festival bernama “hodgepodge” ini yang artinya adalah “campur aduk”.
Melengkapi keragaman itu, penyelenggara Java Festival Production juga menyisipkan berbagai talenta baru. Dua yang menonjol adalah grup Superorganism dan The Japanese House dari Inggris, juga Phony Ppl dari Brooklyn, AS.
Superorganism adalah grup yang “dipimpin” cewek mungil Orono Noguchi yang umurnya belum genap 20 tahun. Racikan musik pop dengan bunyi-bunyi dari gim bikinan mereka berpadu dengan persona vokalis utama Orono yang menggemaskan sekaligus judes. Janggal, tapi menghibur. Sedangkan Phony Ppl, seolah menjadi ruh bagi festival campur aduk ini karena mereka menyilangkan banyak genre: pop, disko, R & B, soul, funk, hip-hop. Penonton mereka tak sebanyak dua penampil utama tadi.